Dua Ahli Setuju Periodisasi Jabatan Hakim MK Dihapus
Berita

Dua Ahli Setuju Periodisasi Jabatan Hakim MK Dihapus

Melihat praktek di sejumlah negara. Ingin disamakan dengan masa jabatan hakim agung.

ASH
Bacaan 2 Menit
Dua ahli yang dihadirkan pemohon, M. Asrun dan Nelman Kusumah memberikan keterangan via video conference, Selasa (13/1). Foto: Humas MK
Dua ahli yang dihadirkan pemohon, M. Asrun dan Nelman Kusumah memberikan keterangan via video conference, Selasa (13/1). Foto: Humas MK
Pengujian Pasal 22  UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatasan masa jabatan hakim konstitusi kembali disidangkan di Gedung MK, Rabu (13/1). Kini, pemohonnya mengajukan dua ahli yakni pengacara konstitusi Andi M. Asrun dan Dosen Fakultas Hukum Univeritas Khairun Ternate, Nelman Kusuma.

Andi Asrun dalam keterangannya menyatakan Pasal 22 UU MK --yang mengatur periodisasi masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun-- tidak sejalan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Jabatan hakim MK tak ubahnya seperti jabatan ad hoc, seperti jabatan komisi negara atau jabatan hakim ad hoc yang memiliki masa jabatan lima tahun.

“Setiap 5 tahun ada seleksi ulang hakim ad hoc Pengadilan Tipikor tanpa memperhatikan apakah pendaftar baru atau incumbent. Aturan itu bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” ujar Andi Asrun saat memberi keterangan melalui video conference di Universitas Khairun Ternate Maluku, Rabu (13/1).

Karena itu, menurutnya aturan periodisasi masa jabatan hakim MK seharusnya dihapus dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan UUD 1945. Menurutnya, periodisasi masa jabatan hakim konstitusi seharusnya disamakan dengan masa jabatan hakim agung. Keduanya, sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sejajar.

“Kesejajaran ini seharusnya terlihat dalam pengaturan struktur dan organisasi termasuk masa jabatan hakimnya,” lanjutnya.

Periodisasi masa jabatan hakim MK, kata dia, berimplikasi munculnya praktik rekrutmen calon hakim konstitusi yang berbeda dengan proses sebelumnya. Misalnya, hakim MK dari DPR yang akan mengakhiri masa jabatan lima tahun pertama cukup menanyakan dan berkonsultasi kepada DPR apakah akan memperpanjang masa jabatan lima tahun berikutnya.

“Ini pernah terjadi saat Jimly (Asshiddiqie) dan Akil Mochtar memperpanjang masa jabatan periode kedua. MA juga pernah memperpanjang Maruarar Siahaan tanpa melalui seleksi ulang seperti yang berlangsung saat ini. Padahal, praktik perpanjangan masa jabatan hakim MK itu memiliki pijakan hukum,” kata dia.

Nelman punya pandangan senada. Dia mengatakan seharusnya masa jabatan hakim konstitusi disamakan dengan masa jabatan hakim agung. “Penormaan Pasal 22 UU MK yang digugat sangat tepat karena ada perbedaan masa jabatan hakim agung dan hakim MK,” kata Nelman.

Menurut dia sejumlah negara-negara di dunia tidak mengenal masa jabatan hakim secara periodik, tetapi langsung 12 tahun hingga pensiun, bahkan hingga seumur hidup. Misalnya, Austria masa jabatan hakim konstitusi dimulai sejak dilantik hingga usia pensiun 75 tahun. Di Jerman masa jabatan hakim konstitusi selama 12 tahun sesudahnya tidak dapat dipilih kembali.

“Armenia, Belgia, Irlandia, Swedia, Denmark, Argentina tidak mengenal jabatan hakim konstitusi bersifat periodik termasuk Amerika yang jabatan hakim MA tidak terbatas,” kata dia.

Alumni FH Universitas Muhammadiyah, Riyanti, mempersoalkan Pasal 22 UU MK terkait pembatasan masa jabatan hakim konstitusi. Pasal 22 UU MK menyebutkan masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk sekali masa jabatan berikutnya. Pemohon menilai ketentuan tersebut menimbulkan perlakuan berbeda antara masa jabatan hakim konstitusi dengan hakim agung, padahal keduanya lembaga yang setara.

Pemohon menilai norma Pasal 22 UU MK tidak selaras dengan Pasal 23 ayat (1) UU MK yang mengatur hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila telah berusia 70 tahun, sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Karena itu, pemohon meminta MK memberi penafsiran konstitusional, bahwa Pasal 22 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “masa jabatan Hakim MK sejak mengucapkan sumpah pelantikan sampai memasuki usia pensiun yakni berusia 70 tahun.”
Tags:

Berita Terkait