Drama War Tiket Coldplay dan Sifat Kompulsif Masyarakat Indonesia
Kolom

Drama War Tiket Coldplay dan Sifat Kompulsif Masyarakat Indonesia

Maraknya calo tiket sampai rentannya penipuan penjualan tiket konser. Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap mengenai hal ini, misalnya mencontoh yang dilakukan Taiwan.

Bacaan 9 Menit
Ardhiyasa Suratman (kiri) dan Kelvin Aditya Pratama (kanan). Foto: Istimewa
Ardhiyasa Suratman (kiri) dan Kelvin Aditya Pratama (kanan). Foto: Istimewa

Magnet grup band asal Inggris, Coldplay yang akan menggelar konser di Jakarta, Indonesia pada 15 November 2023 terasa kuat sekali. Bisa dilihat dari perburuan tiket yang dijual promotor resmi Coldplay di Jakarta yaitu PKEntertainment dan Third Eye Management (TEM). Banyak orang rela menghabiskan waktu, pikiran, tenaga dan uangnya untuk melakukan war tiket dalam membeli kategori tiket yang diinginkan agar dapat menonton anggota alumni University College London tersebut.

Tiket termahal Ultimate Experience konser Coldplay seharga Rp11 juta, terjual habis dalam kurun waktu hitungan menit saja, disusul dengan kategori tiket lainnya. Pembeli tidak segan-segan menguras tabungan, agar mendapatkan tiket band kesayangan mereka. Pasca pembelian tiket yang telah dinyatakan sold out oleh promotor, kita melihat berbagai ekspresi pembeli yang bermacam-macam. Banyak calon pembeli yang gagal mendapatkan tiket, membagi pengalaman penuh emosinya dalam mendapatkan tiket. Banyak juga yang terlihat begitu bahagia setelah sukses mendapatkan tiket. Bahkan ada orang tua calon pengantin menjadikan tiket Coldplay sebagai mahar pernikahan anaknya. Sungguh sebuah fenomena campur aduk yang menarik untuk menjadi perhatian.

Menurut Edwards E. A, dalam penelitiannya Development of a new scale for measuring compulsive buying behavior. Financial Counseling and Planning, 4(1), 1993, hlm. 67–84, telah mendefinisikan bahwa perilaku pembelian kompulsif sebagai bentuk abnormal belanja dan pengeluaran dimana konsumen yang menderita dorongan yang sangat kuat, tidak terkendali dan kronis untuk belanja dan menghabiskan uang, belanja kompulsif secara karakteristik mengurangi perasaan negatif dan kecemasan. Perilaku pembelian kompulsif untuk mendukung artis idola di Indonesia merupakan sesuatu yang cukup unik, karena Indonesia merupakan negara berkembang dimana penduduknya masih berpenghasilan dibawah rata-rata, namun sanggup untuk menggelontorkan uangnya untuk membeli barang yang bukan merupakan kebutuhan dasar.

Baca juga:

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pasar utama konser atau pertunjukan musik di Indonesia adalah kelompok masyarakat berpengeluaran teratas. Saat BPS melakukan survei pada 2021, responden dari kelompok 20% masyarakat berpengeluaran teratas yang menonton konser dalam tiga bulan terakhir proporsinya mencapai 52,43%. Sementara, 40% masyarakat pengeluaran menengah dan 40% masyarakat pengeluaran terbawah yang menikmati pertunjukan musik proporsinya lebih sedikit, seperti terlihat pada grafik di atas. Dari segi usia, mayoritasnya berasal dari kelompok usia 16-30 tahun dengan proporsi 56,18%. Sedangkan kelompok usia 45-59 tahun proporsinya 44,11%, dan usia 60 tahun ke atas hanya 33,55%.

Dari data di atas kita dapat melihat bahwa dalam menonton konser didominasi oleh anak muda usia 16-30 tahun. Ditambah dengan era bonus demografi yang ada di Indonesia dimana 69% penduduk Indonesia masuk ke dalam kategori usia produktif pada Juni 2022, menjadi kombinasi untuk membuat antusias tinggi pembelian tiket yang dalam hal ini adalah tiket pertunjukan Coldplay.

Alhasil fenomena ini menjadi ladang basah bagi para calo tidak bertanggung jawab. Mereka membeli dan menjual kembali tiket dengan harga yang melebihi harga asli. Calo ini tahu, ada aspek psikologi yaitu sifat kompulsif dan juga perasaan cemas yang timbul karena sesuatu yang menarik dan menyenangkan sedang terjadi atau sering kita dengar sebagai fomo (Akronim dari “Fearing of Missing Out”). Lalu calo tersebut membeli tiket tidak hanya satu dua tiket saja, mereka membeli dalam jumlah banyak setelah itu akan dijual kembali melewati harga normal. Mereka tahu bahwa tiket tersebut akan tetap laku meskipun dinaikan berkali-kali lipat.

Alurnya, calo membeli melalui laman pembelian resmi kemudian muncul di berbagai platform media sosial seperti instagram, facebook, twitter, tiktok dan lainnya. Mereka menunggu penggemar mengontak calo tersebut dan terjalin komunikasi transaksi jual beli tiket. Tentu, oknum tiket untung besar karena harga tiket melalui cara tersebut dijual dengan harga lebih tinggi dari harga aslinya.

Parahnya, tidak hanya calo saja, penjualan tiket konser Coldplay juga rentan penipuan. Penulis melihat bahwa skema yang dilakukan dari tiap penipuan berkedok penjualan tiket konser ini selalu sama dan cenderung sangat sederhana. Hingga kini sudah banyak orang menjadi korban dan melaporkan penipuan tersebut kepada polisi karena mereka tertipu tiket Coldplay. Berbagai kalangan telah menjadi korban dalam penipuan ini, penipuan ini tidak melihat latar belakang pendidikan, umur, maupun status sosial. Modus penipuan beraneka ragam, contohnya dengan menggunakan jasa penitipan alias jastip membeli tiket konser. Pola pembelian seperti ini rentan bernasib kurang baik. Pembeli justru tidak mendapatkan tiket asli. Modus lain, oknum meminta KTP dan foto calon pembeli dan itu rawan penyalahgunaan data pribadi.

Menurut hemat penulis, penipu konser untuk saat ini menurut hukum positif di Indonesia dapat dikenakan beberapa ketentuan. Pertama, Pasal 45A Jo. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua, Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Cara yang dilakukan oleh calo tiket konser merupakan cara klasik yang cara pembuktiannya dapat lebih mudah ditelusuri, namun regulasi di Indonesia belum mempunyai peraturan hukum yang tegas mengawal transaksi jual beli tiket konser musik khususnya. Peraturan yang ada hanya mengatur pelarangan tiket palsu, yaitu di dalam KUHP Pasal 263 ayat (1) dan (2).

Semakin berkembang, terdapat pula oknum segelintir individu atau kelompok yang memanfaatkan kemampuan mengolah program komputer untuk mendapatkan tiket lebih mudah dan lebih banyak menggunakan algoritma yang mereka kuasai. Setelahnya akan dijual dengan harga tinggi kepada calon pembeli, sama seperti cara calo dan penipu tiket.

Meskipun Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim) telah bergerak untuk melakukan penyelidikan, penyelidikan tersebut bersumber dari laporan korban yang merasa ditipu. Penipu tersebut memang dapat ditelusuri, namun permasalahan telah terjadi dari akarnya dan penipuan lewat metode transfer seperti yang terjadi pada umumnya hanya merupakan “penipuan tradisional” memanfaatkan sifat kompulsif dan kelengahan dari korban. Namun, untuk calo dan oknum ahli komputer belum terdapat hukum positif yang mengatur terkait perbuatan yang mereka lakukan. Pemerintah dalam hal ini harus bertindak lebih “cerdas” lagi untuk memburu oknum ahli komputer dan penipu dengan melakukan langkah-langkah preventif karena hal ini berpeluang membuka lubang yang lebih besar lagi. Pengaturan pidana yang ada sekarang dalam praktiknya terkesan mudah sekali diakali oleh para oknum.

Dalam hal ini dapat dikatakan, hukum terlampau belum ada atau terlambat dalam merespon perubahan yang ada di masyarakat. Calo, penipu tiket konser, dan para oknum ahli komputer telah membuktikan bahwa mereka dapat memanfaatkan peluang dengan sangat baik dalam meraup untung yang sebesar-besarnya. Sayangnya, kegiatan yang mereka lakukan merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan secara nilai-nilai di masyarakat karena merugikan banyak orang.

Mengutip perkataan Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Fungsi dan Perkembangan Hukum, Bandung: PT Alumni, 2002, hlm. 8, hukum yang baik adalah hukum yang berkembangan dengan masyarakat. Sang tokoh mengatakan bahwa terkait peranan hukum tidak boleh menunjukan kelesuan (malaise) dalam pembangunan. Mochtar menjelaskan bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak bisa dilepaskan dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Dalam hal ini hukum tidak boleh kalah dengan adanya perkembangan terobosan yang dikembangkan oleh oknum untuk menodai nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Indonesia dapat belajar dari Taiwan dalam menjaga perkembangan budaya dan industri kreatif di negaranya. Legislatif Yuan pada tanggal tahun 2019 telah meloloskan “Development of the Cultural and Creative Industries Act” atau “Cultural Act”, yaitu sebuah undang-undang yang mengharuskan pelaksanaan evaluasi dampak terhadap budaya sebagai bagian dari proses peluncuran kebijakan, hukum dan proyek berskala nasional. Penerbitan undang-undang ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi keragaman budaya, serta hak masyarakat dalam menjalani kehidupan berbudaya. Undang-undang ini juga sesuai dengan pelaksanaan ketentuan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Deklarasi Universal United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tentang Keragaman Budaya, dan Konvensi tentang Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya. 

Dalam Pasal 6 Cultural Act, kita dapat melihat keseriusan pemerintah Taiwan dalam melakukan terobosan pembaruan hukum dalam budaya dan industri kreatif yang sesuai dengan kebutuhan yang ada, yaitu: “The central Competent Authority shall formulate a development policy for Cultural and Creative Industries and review and revise the policy every four years for the Executive Yuan’s approval so as to be the policy basis to promote the development of Cultural and Creative Industries. The central Competent Authority shall, in conjunction with the central authority in charge of the end enterprise concerned, establish a statistical scheme on the Cultural and Creative Industries and publish annual report on Cultural and Creative Industries every year.”

Dalam pasal tersebut, Kementerian Kebudayaan Taiwan (MOC) setiap empat tahun sekali akan menggelar rapat nasional di bidang budaya, untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan budaya. Evaluasi empat tahunan tersebut menghasilkan peraturan yang dibutuhkan sesuai dengan perubahan masyarakat. Dalam perkembangannya, Eksekutif Taiwan mengusulkan Rancangan Amandemen “Cultural Basic Act” untuk menghukum calo tiket pertunjukan musik yang menjual tiket dengan harga lebih tinggi dari aslinya.

Kabinet menyetujui amandemen Amandemen “Cultural Basic Act” pada rapat kabinet pada bulan April 2023 dan akan merujuk RUU tersebut ke Badan Legislatif untuk dibahas. Amandemen “Cultural Basic Act” selanjutnya disahkan oleh kabinet Taiwan, peraturan tersebut nantinya akan melarang oknum atau calo membeli tiket dan menjual lagi lembaran tiket dengan harga tinggi. Di bawah aturan yang diusulkan, mereka yang ketahuan menjual kembali tiket untuk acara budaya di atas nilai nominal atau harga jual kembali yang ditentukan dapat menghadapi hukuman mulai dari 10 hingga 50 kali lipat dari harga asli setiap tiket yang mereka coba jual. Pemerintah Taiwan akan menjatuhkan hukuman penjara maksimal tiga tahun dan denda membayar NT$3 juta (tiga juta New Taiwan Dollar). Termasuk juga kepada orang-orang yang menggunakan informasi dan metode yang menyesatkan termasuk algoritma online, menggunakan "scalper bots" dan perangkat lunak jenis lain untuk mengambil tiket secara online dalam jumlah besar untuk dijual kembali

Amandemen tersebut juga menetapkan bahwa pemerintah daerah dapat meminta bantuan polisi untuk menyelidiki jaringan calo. MOC juga akan menyerahkan rencana untuk menggunakan nama asli konsumen saat membeli tiket dan mengembangkan platform yang didedikasikan untuk menjual kembali dan memperdagangkan tiket. Kabar gembiranya dari aturan itu adalah pemerintah memberikan mereka yang melaporkan calo akan diberikan hingga NT$100.000 atau hingga 20% dari jumlah denda pelaku sebagai hadiah.

Menurut penelusuran yang dilakukan, amandemen undang-undang tersebut muncul dua bulan setelah girl groupBlackpink mengadakan dua konser di Kota Kaohsiung, Taiwan, pada tanggal 18 dan 19 Maret 2023, ketika tiket yang dijual oleh calo melonjak hingga 40 kali lipat dari harga aslinya menjadi masing-masing NT$400.000. Sebelumnya, boybandSuper Junior juga mengadakan dua konser November 2022 lalu dan melihat harga tiket yang dijual kembali naik hingga 17 kali lipat dari harga aslinya. Amandemen tersebut dilakukan di tengah lonjakan jumlah acara seni dan budaya setelah pencabutan pembatasan COVID-19 yang membuat penonton konser reguler kehilangan tiket.

Melihat latar belakang terbentuknya amandemen undang-undang tersebut, pemerintah Taiwan membuktikan bahwa mereka merespon cepat segala hal yang mengganggu ekonomi kreatif di negaranya. Lewat pelajaran penjualan tiket Coldplay, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) diharapkan dapat pula mencontoh dan menerapkan pengaturan seperti itu di Indonesia sebagai strategi jangka panjang dalam menjaga iklim ekonomi kreatif di Indonesia. Tujuannya adalah memberikan sanksi yang tegas kepada calo, penipu tiket, dan juga oknum ahli komputer.

Indonesia dapat berkaca juga dari negara tetangga Malaysia dalam mengawasi calo tiket. Kementerian Komunikasi dan Digital Malaysia memanggil Live Nation Malaysia, promotor konser Coldplay yang akan berlangsung di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, pada 22 November 2023. Pemanggilan promotor itu karena tiket konser sudah habis terjual, namun pemerintah Malaysia mendapati harga tiket konser Coldplay di sejumlah platform online dijual di atas Rp100 juta (seratus juta rupiah).

Harga yang dibanderol melalui calo tersebut menjadi berlebihan dan membuat pihak pemerintah Malaysia memperhatikan perlunya batasan atau ketentuan tertentu yang dikenakan promotor ketika menjual tiket konser. Salah satunya dengan penjualan tiket konser Coldplay di luar situs resmi untuk segera dihapus. Mereka juga akan mengambil tindakan yang diperlukan sesuai hukum yang ada. Apabila terdeteksi maka calo tiket akan dibawa ke pengadilan untuk diambil tindakan yang tepat. Selanjutnya, pemerintah Malaysia akan membahas dalam rapat kabinet berikutnya terkait dengan permasalahan ini.

Sebagai rencana jangka pendek, apa yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital Malaysia dapat juga dilakukan oleh Kemenparekraf yaitu dengan turut serta mengawal berlangsungnya penjualan tiket dan mengambil tindakan tegas dalam menahan gempuran calo tiket. Sempat beredar bahwa Menparekraf, Sandiaga Uno, menyarankan bahwa solusi dari penjualan dari tiket Coldplay ini dengan mengadakan konser selama 2 hari, namun Penulis melihat hal tersebut bukan merupakan jawaban karena tidak ada jaminan pada konser hari kedua para oknum yang tidak bertanggung jawab akan menjalankan cara yang sama apabila memang metode dan sistem penjualan hari kedua masih menggunakan cara yang sama.

Pihak promotor juga dalam hal ini meskipun sebagai entitas bisnis yang wajar dalam mencari keuntungan, harus bersikap proaktif dalam memutus rantai penipuan. Hal ini juga tentunya sebagai strategi jangka panjang agar ke depan banyak musisi-musisi atau penampil papan atas lainnya nyaman berkunjung dan menyelenggarakan konser di Indonesia. Intinya, harus terdapat pola yang kolaboratif antara eksekutif dan juga promotor untuk mencari solusi bersama, tidak boleh lengah dengan permainan yang diberikan oleh para oknum.

Indonesia merupakan negara yang konsumtif dan merupakan pasar besar di Asia bahkan dunia, jangan sampai potensi ini tidak dapat dimanfaatkan secara positif terhadap perkembangan industri kreatif di Indonesia. Pasar memang dapat diciptakan namun pasar harus dikontrol oleh pemerintah agar terkendali. Aturan saja tidak cukup dan diperlukan keterlibatan pemerintah memberantas calo-calo tiket konser nakal dengan contoh rujukan kepada cara pemerintah Taiwan dan juga Malaysia. Kehadiran pemerintah dan ketegasan perangkat hukum sangat dibutuhkan karena perputaran uang di pagelaran musik sangat besar. Apabila hal ini tidak ditanggulangi secara serius, negara akan membiarkan dan memperkaya sindikat-sindikat tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan sifat masyarakat Indonesia yang kompulsif. Sampai akhirnya, kita akan menonton fenomena ini menjamur dan menjadi parasit dalam industri kreatif di Indonesia.

*)Ardhiyasa Suratman S.H., dan Kelvin Aditya Pratama, S.H., adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait