Draft Aturan Turunan UU Cipta Kerja Ditargetkan Rampung Akhir November
Berita

Draft Aturan Turunan UU Cipta Kerja Ditargetkan Rampung Akhir November

Seluruh RPP dan RPerpres akan dipublikasikan pada akhir November atau awal Desember. Kemudian, pemerintah akan meminta masyarakat memberikan masukan untuk penyempurnaan aturan turunan UU Cipta Kerja.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Menteri Koordinator dan Perekonomian, Airlangga Hartarto. Foto: RES
Menteri Koordinator dan Perekonomian, Airlangga Hartarto. Foto: RES

Seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) yang terlibat dalam penyiapan peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, saat ini terus melakukan akselerasi pembahasan dan penyelesaian 44 peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terdiri dari 40 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan 4 Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres).

Kemenko Perekonomian bersama-sama dengan 19 K/L yang menjadi penanggung jawab sektor dari 44 Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja, secara intensif terus melakukan pembahasan antar K/L mengejar waktu penyelesaian dari draft RPP dan RPerpres. Saat ini, sudah ada 30 peraturan pelaksanaan (27 RPP dan 3 RPerpres) yang di-upload di Portal UU Cipta Kerja (https://uu-ciptakerja.go.id/).

Menurut Menteri Koordinator dan Perekonomian, Airlangga Hartarto, seluruh RPP dan RPerpres akan selesai pada akhir November atau awal Desember 2020. Seluruh draf RPP dan RPerpres akan dipublikasikan ke publik sehingga masyarakat bisa memberikan masukan untuk menyempurnakan RPP dan RPerpres tersebut.

“Pemerintah menargetkan pada akhir November atau awal Desember 2020, seluruh RPP dan RPerpres yang memerlukan masukan dari masyarakat atau publik, sudah bisa di-upload dan diakses masyarakat melalui Portal UU Cipta Kerja, sehingga masyarakat bisa memberikan masukan untuk penyempurnaan RPP dan RPerpres tersebut,” kata Airlangga dalam pernyataan tertulis, Senin (23/11). (Baca: Pentingnya Peran Pemda untuk Mengimplementasikan UU Cipta Kerja)

Sejauh ini, masih ada 14 peraturan pelaksanaan (13 RPP dan 1 RPerpres) yang masih belum di-upload ke Portal UU Cipta Kerja, terutama yang masih dalam proses harmonisasi dan sinkronisasi substansinya antar K/L. Memang tidak semua RPP yang substansinya memerlukan masukan dari masyarakat, seperti misalnya RPP mengenai Penetapan Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi, yang pokok-pokoknya sudah ditetapkan di UU Cipta Kerja dan Pemerintah tinggal menetapkan ke dalam PP.

Khusus RPP yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan (4 RPP), saat ini masih dilakukan pembahasan di Tim Pembahas Tripartit Nasional. Sedangkan RPP terkait dengan NSPK Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian, saat ini subtansi RPP telah selesai dibahas dan sedang dilakukan sinkronisasi antar K/L dan asesmen terhadap konsistensi pengaturan perizinan di masing-masing sektor, untuk menghindari tidak sinkronnya kebijakan.

Sementara, untuk RPP di sektor keagamaan, yang terkait dengan pengaturan mengenai Ibadah Haji dan Umrah, Kemenko Perekonomian sedang mengkoordinasikan pembahasan bersama-sama dengan Kementerian Agama, Asosiasi/Forum Asosiasi dan para Pelaku Usaha penyelenggara ibadah haji khusus dan umrah.

Sedangkan RPerpres yang terkait dengan pengaturan usaha di bidang penanaman modal, sedang dilakukan sinkronisasi pengaturan alokasi Bidang Usaha untuk UMK dan Kemitraan dengan Pelaku Usaha Menengah dan Besar. RPerpres ini akan sejalan dengan RPP yang mengatur mengenai kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMKM dan Koperasi yang telah selesai disiapkan RPP nya dan di-upload di Portal UU Cipta Kerja.

“Rancangan Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal atau yang kita kenal sebagai Daftar Prioritas Investasi (DPI), saat ini sedang dilakukan sinkronisasi agar sejalan dengan RPP lainnya, seperti RPP yang terkait dengan UMKM dan Koperasi, agar seimbang antara kebutuhan mendorong investasi dengan perlindungan dan pemberdayaan UMKM,” terang Airlangga.

Adapun yang terkait dengan RPP Perdagangan dan RPP Perindustrian, sudah dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi proses bisnis antara kedua sektor, agar terpadu dan terintegrasi dalam pelaksanaannya di lapangan. Saat ini masih menunggu proses finalisasi hasil harmonisasi untuk dituangkan ke dalam RPP Perdagangan dan juga di RPP Perindustrian.

Sedangkan yang berkaitan dengan penyelesaian RPP KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas), saat ini Kemenko Perekonomian sedang mengharmonisasikan berbagai skema insentif dan kemudahan, dengan kondisi empirik pelaksanaannya di lapangan pada saat ini, terutama terkait dengan perlakuan perpajakan, kepabeanan dan cukai (insentif fiskal), serta berbagai kemudahan perizinan dan insentif non-fiskal.

Melihat perkembangan penyiapan peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang sangat progresif ini, Pemerintah sangat yakin target waktu penyelesaian yang ditetapkan dalam UU Cipta Kerja, yaitu 3 bulan sejak diundangkan akan dapat dicapai, dengan tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan seluruh Stakeholder untuk memberikan masukan dalam penyusunan dan pembahasannya.

“Pemerintah optimistis akan dapat menyelesaikan semua Peraturan Pelaksanaan ini tepat waktu, dengan tetap membuka kesempatan yang cukup luas kepada masyarakat untuk memberikan masukan dalam penyelesaian seluruh RPP dan RPerpres aturan turunan UU Cipta Kerja,” jelasnya.

Sebelumnya, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin, menilai membentuk peraturan turunan ataupun perubahan aturan terdampak menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah di tengah rendahnya legitimasi UU Cipta Kerja. Apalagi, UU Cipta Kerja itu membatasi pembentukan peraturan turunan hanya dalam waktu maksimal tiga bulan. Dia ragu dengan pendeknya jangka waktu itu, sejumlah aturan turunan dapat diproses secara transparan, partisipatif dan akuntabel.

Dia melihat praktik penyusunan PP ataupun Perpres selama ini memerlukan waktu yang lama. Setidaknya lebih dari satu tahun. “Penentuan waktu paling lama tiga bulan untuk membentuk banyaknya peraturan turunan tersebut sangat tidak realistis,” ujarnya.

Pembuatan aturan pelaksana dalam kurun waktu yang pendek berpotensi justru menimbulkan persoalan tumpang tindih regulasi. “Proses penyusunannya pun tak ideal. Semestinya, dimulai melalui tahapan perencanaan pembentukan PP dan Perpres atau program penyusunan terlebih dahulu sebagaimana diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.”

Belum lagi, kata peneliti Senior Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia ini, proses harmonisasi juga menjadi tantangan besar dalam pembentukan/perubahan aturan turunan eksisting dari 76 UU terdampak. Mulai harmonisasi vertikal ke berbagai undang-undang terkait, maupun horisontal ke PP maupun Perpres yang bersinggungan. Bila prosedur tahapan proses tak dilakukan dengan baik, besar kemungkinan implementasinya di lapangan bakal terhambat.

“Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki tugas melakukan harmonisasi perlu menyiapkan prosesnya bisa berjalan dengan baik, termasuk melibatkan berbagai pihak dalam proses ini,” saran dia. 

Dia mengungkapkan sering terjadi macetnya proses pembahasan peraturan turunan UU. Salah satunya, tak ada kesepahaman atau masih adanya ego sektoral antar kementerian/lembaga dalam penyusunan aturan turunan UU berupa PP maupun Perpres. Karena itu,jangka waktu 3 bulan untuk membentuk PP dan Perpres UU Cipta Kerja terkesan memaksakan proses pembentukan peraturan. “Alhasil, ketiadaan partisipasi masyarakat bakal menjadi korbannya.”

Menurutnya, meski pemerintah bakal meminta masukan masyarakat dalam pembuatan aturan turunan, menjadi persoalan tak ada jaminan masukan bakal diakomodir. Sebab, keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan diakomodirnya masukan masyarakat memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembuatan UU sampai dengan aturan turunan guna memenuhi aspek formalitas semata.

Tags:

Berita Terkait