DPR Usul Perpanjang Waktu Masa Perbaikan Kesalahan Teknis RUU
Revisi UU PPP:

DPR Usul Perpanjang Waktu Masa Perbaikan Kesalahan Teknis RUU

Meski belum diputuskan, perpanjangan perbaikan kesalahan teknis dalam RUU yang telah disetujui diusulkan menjadi 14 hari kerja atau 18 hari kerja. Ini berkaca dari banyaknya kesalahan teknis saat pembentukan RUU Cipta Kerja bila hanya diperbaiki dalam waktu 7 hari kerja.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pembahasan Revisi Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) antara Badan Legislasi (Baleg), pemerintah, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terus berlangsung secara maraton. Terdapat banyak daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dibahas. Antara lain soal waktu perbaikan naskah selepas sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) disetujui bersama antara DPR dan pemerintah.

Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan pengalaman dalam pembuatan dan pasca persetujuan bersama RUU tentang Cipta Kerja menjadi UU No.11 Tahun 2020 menuai banyak protes dan kritik masyarakat. Antara lain akibat banyaknya kesalahan teknis, mulai adanya perbedaan jumlah halaman, hingga salah ketik.  

“Ini pengalaman kita terlalu banyak sering kita harus menandatangani perubahan-perubahan kesalahan-kesalahan seperti ini,” ujarnya dalam rapat Pantia Kerja (Panja) RUU PPP di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (8/4/2022) kemarin.

Pandangan Supartaman merespon Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) No.140 ayat 1A yang menyebutkan, “Yang dimaksd kesalahan teknis antara lain, ayat yang tidak lengkap, rujukan pasal ata ayat yang tidak tepat, salah ketik dan/atau judul, nomor urut bab, bagian pasal ayat atau butir yang bersifat tidak substansial”.

Bagi Supratman, tanggung jawab terhadap redaksional sebuah RUU menjadi ranah DPR setelah sebuah RUU telah disetujui bersama dalam paripurna. DPR diberikan waktu 7 hari kerja untuk memeriksa dan memperbaiki naskah bila adanya kesalahan teknis penulisan. Setelah batas waktu 7 hari kerja, DPR menyodorkan draf RUU yang telah disetujui menjadi UU ke pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU 12/2011.

Pasal 72 ayat (1) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama”.

Waktu 7 hari itulah digunakan DPR untuk memeriksa ulang draf RUU yang telah disetujui bersama dalam rapat paripurna bila terdapat kesalahan teknis. Tapi bagi Supratman, waktu 7 hari dianggap tidak mencukup dalam memeriksa ulang RUU yang telah diparipurnakan. “Kenapa tidak kita tambahkan, tidak 7 hari agar pemerintah tidak repot, karena ini tugas kita, tugas utama DPR. Jangan kita repot-repotkan pemerintah dong,” ujarnya.

Menurutnya, angka 14 hari atau 18 hari kerja menjadi ideal. Hanya saja perlu disepakati berapa tambahan hari kerja dalam memeriksa ulang kesalahan teknis dalam naskah RUU yang telah disetujui dalam paripurna. Baginya, DPR tak boleh melakukan kesalahan teknis redaksional, penulisan, apalagi salah rujuk pasal atau ayat dalam naskah RUU.

“Supaya tidak ada lagi pelanggaran, pemerintah kirim surat ke kita untuk perbaikan redaksional. Setuju ada waktu 30 hari presiden untuk diundangkan. Kenapa kita tidak tambah waktu kita untuk perbaikan. Minimal 14 hari,” usulnya.

Mendegradasi DPR

Anggota Panja RUU PPP, Bukhori merasa tergelitik dengan DIM No.140 ayat 1A. Dia berpandapat menjadi tidak nyaman dengan salah rujuk pasal, apalagi bab dikategorikan sebagai bagian kesalahan teknis. Semestinya DPR sebagai pembentuk UU tidak melakukan kesalahan teknis selepas sebuah RUU disetujui dalam paripurna, untuk kemudian disodorkan ke pemerintah.

Baginya, rumusan definisi “kesalahan teknis” dalam DIM yang diusulkan pemerintah malah mendegradasi fungsi DPR. Secara tak langsung kerja DPR dianggap kerap melakukan kesalahan teknis. Menurutnya, kesalahan masa lalu (dalam pembentukan naskah RUU Cipta Kerja, red) melegitimasi dengan kinerja saat ini dan membebankan masa mendatang. Karena itu, perlu penataan aturan yang baik dan benar.

“Nah yang masa lalu, Allah Subhanahu Watta Ala sudah mengampuni itu. Tapi kemudian, ini menata masa depan. Jadi menurut saya, redaksi ini mendegradasi DPR itu sendiri, karena itu tidak boleh,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu sependapat dengan menambah slot waktu dalam perbaikan naskah RUU yang telah disetujui dalam paripurna. “Karena itu kita setuju cari slot, kalau memang tidak cukup waktu, janganlah membahas UU tergesa-gesa, memang mau dikejar apa?” ujarnya.

Anggota Baleg, Intan Fauzi berpandangan usulan perubahan soal kesalahan teknis tak sebatas yang bersifat teksis penulisan substansial, tapi juga tidak substansial. Menurutnya, bila diatur secara rigid, malah membatasi hanya sebatas kesalahan penulisan. “Jadi kita buka yang dimaksud kesalahan penulisan yang tidak bersifat substansial,” ujar politisi Partai Amanat Nasional itu.

Merespon Bukhori dan Intan, Supratman prinsipnya menyetujui usulan tersebut. Supratman menegaskan usulan tersebut bakal dibawa ke tim perumus (Timus) dengan penambahan frasa tidak substansial. “Tapi kita berharap ini tidak terjadi (kesalahan teknis, red) dengan memberi waktu yang cukup bagi DPR. Sehingga jauh lebih memudahkan kerja di pemerintahan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait