DPR Usul Hakim Agung Diuji Lima Tahunan
Utama

DPR Usul Hakim Agung Diuji Lima Tahunan

Sebagai masukan DPR dalam revisi UU MA.

ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto : SGP
Gedung Mahkamah Agung. Foto : SGP

Masih segar dalam ingatan, putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung yang melepaskan mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan dari dakwaan korupsi. Putusan PK menganulir vonis terpidana korupsi sebesar Rp396 miliar di tingkat kasasi yang diganjar hukuman 15 tahun dan denda Rp50 juta.

Putusan PK ini menjadikan kepercayaan publik pada sistem peradilan Indonesia makin merosot. Sehingga Komisi III DPR mengusulkan pada MA untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi hakim agung tiap lima tahun.

Hal itu dilakukan sebagai jembatan untuk membatasi masa jabatan hakim agung yang saat ini diduduki hingga pensiun. Demikian usulan dalam rapat Panja Revisi UU Mahkamah Agung di Gedung DPR, Kamis (5/9).

Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin menegaskan usulan tersebut muncul setelah rapat internal komisi. Menurutnya pembatasan masa jabatan diperlukan agar tiap hakim agung mawas diri dalam membuat putusan perkara. Diharapkan putusan hakim agung memenuhi rasa keadilan masyarakat.

“Selama ini kita disalahkan karena kita yang melakukan fit and proper test,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Anggota Komisi III dari F=Partai Hanura Syarifudding Sudding menambahkan gagasan uji kepatutan dan kelayakan tersebut agar dimasukkan KY pada revisi UU MA. Pensiun hakim agung pada usia 67 tahun memungkinkan selama bertugas tidak ada kontrol.

Adanya uji kelayakan secara reguler nantinya dapat digunakan untuk evaluasi kerja selama lima tahun terakhir, tanpa melalui Komisi Yudisial. Jikalau tidak lulus uji kelayakan dan kepatutan, DPR dapat mencopot dari jabatan hakim agung. “Ini perlu untuk memperbaiki kinerja lembaga MA,” paparnya.

Sudding juga menyayangkan belakangan banyak hakim agung yang berusan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Sudding menyebut hakim agung Andi Abu Ayub Saleh yang menjalani pemeriksaan penyidik KPK terkait putusan kasasi MA kasus penipuan atas nama terdakwa Hutomo Wijaya Ongowarsito. Akibatnya dapat mencoreng wajah MA secara kelembagaan.

Selain itu, Sudding melanjutkan,  jabatan Ketua MA seharusnya tak hanya dipilih oleh kalangan internal. Tetapi DPR pun dapat memberi masukan dan menentukan ketua MA dari sejumlah hakim agung. Namun Sudding menegaskan, hal tersebut masih sebatas usulan sepanjang tidak melanggar konstitusi.

Terpisah, Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar menyilakan DPR mewacanakan gagasan tersebut. KY, kata Asep memahami kegundahan DPR atas situasi peradilan yang kian karut marut. Atas dasar itulah kemudian muncul gagasan melakukan evaluasi secara reguler terhadap hakim agung terpilih.

Kendati demikian, Asep berpendapat jikalau gagasan tersebut dilakukan, mesti mengedepankan prinsip transparan, partisipatif dan akuntabel. “Agar proses tersebut berjalan secara fair dan obyektif, sehingga tujuan besarnya untuk menjaga kualitas dan integritas bisa tercapai,” ujarnya melalui pesan pendek kepada hukumonline.

“Apabila mau melakukan evaluasi reguler seperti itu tentunya lembaga-lembaga  yang fungsi sehari-harinya berada dalam lingkup rekruitmen dan pengawasan hakim seperti KY dan MA harus dilibatkan juga,” tandasnya.

Sementara anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menegaskan ketidaksetujuannya jika uji kelayakan dan kepatutan dilakukan secara berkala terhadap hakim agung. Dia beralasan praktik tersebut dipandang membuka peluang jabatan hakim dapat ‘diperdagangkan’. Alhasil, membuka peluang melakukan ‘kongkalikong’  yang berujung korupsi.“Batasi saja pensiun hakim agung sebagai langkah pengawasan dan evaluasi,” paparnya.

Padahal Panja Revisi UU MA dan pemerintah belum ada kata sepakat batasan usia pensiun hakim agung, yakni antara usia 65 atau 67 tahun. Menurut Emerson pembatasan usia hakim agung bukan menghambat karier hakim untuk menjadi hakim agung.

Wacana ini hampir mirip dengan usulan KY agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) kocok ulang hakim agung pada 2006. Namun hal itu ditentang MA dan Komisi III karena memberikan ruang bagi Presiden mencampuri peradilan.

Tags:

Berita Terkait