DPR Usahakan Dwi-Kewarganegaraan Bagi Anak Pasangan Campuran
Berita

DPR Usahakan Dwi-Kewarganegaraan Bagi Anak Pasangan Campuran

Selama ini berlaku ketentuan: anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan pihak ayah. Itu yang menyebabkan banyak perempuan Indonesia yang bercerai dengan pria asing kelabakan.

CR-2
Bacaan 2 Menit
DPR Usahakan Dwi-Kewarganegaraan Bagi Anak Pasangan Campuran
Hukumonline

 

Ketua Badan Kehormatan DPR ini mengakui UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 memiliki banyak kelemahan. Salah satunya adalah UU tersebut didasarkan pada UUD Sementara 1950 dan tidak banyak membahas hubungan masyarakat secara global. Menurut ia, RUU Kewarganegaraan baru akan intensif dibahas setelah lebaran. Ia juga mempersilakan semua pihak untuk datang ke DPR dan menyampaikan aspirasinya.

 

Kita tidak mungkin mempertahankan UU ini, karena kita sudah banyak meratifikasi kovenan internasional terkait HAM. Tapi tidak otomatis setelah diratifikasi maka kovenan itu berlaku. Untuk ICCPR kami buat pengecualian untuk Pasal 1 tentang menentukan nasib sendiri, kata Slamet.

 

Slamet menilai UU Kewarganegaraan justru memudahkan bagi anak yang lahir di luar nikah atau anak yang dibuang kedua orangtuanya dan ditemukan di Indonesia, karena otomatis anak tersebut menjadi warga negara Indonesia. Jadi seolah mempermudah orang yang tidak menikah resmi, imbuh Slamet.

 

Nuning Hallett menyarankan agar dalam RUU Kewarganegaraan ditetapkan kewarganegaraan wanita menikah tidak bergantung pada suaminya. Wanita seharusnya berhak memberikan kewarganegaraan pada anaknya tanpa syarat apapun. Nuning melihat wanita Indonesia yang menikah dengan pria WNA sering mengalami perlakuan tidak adil karena dianggap sebagai wanita yang tidak baik.

 

Menurut hasil survei online yang dilakukan Indo-MC pada 2002, dari 574 responden, sebesar 95,19 persen adalah wanita Indonesia yang menikah dengan pria WNA. Sementara menurut Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, selama tahun 2002 sampai November 2004 terdapat 829 perkawinan antara wanita Indonesia dengan pria WNA.

 

Usulan MA

Pada kesempatan itu, Slamet menjelaskan usulan pria WNA harus menyetorkan uang sebesar Rp500juta jika ingin menikahi wanita Indonesia bukanlah usulan DPR dan tidak tercantum dalam draf RUU Kewarganegaraan. Ia menyarankan agar semua pihak tetap tenang dan mengamati dulu, karena mungkin peraturan ini untuk memproteksi wanita Indonesia.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, usulan itu merupakan rumusan kesimpulan Rakernas MA yang diadakan di Denpasar, Bali pada 18-22 September lalu. Dalam rakernas tersebut, Komisi I.B1 bidang perkawinan dan wakaf menyarankan agar pria WNA yang ingin menikahi wanita Indonesia harus membayar uang jaminan sebesar Rp500juta.

 

Gadis Arivia menilai MA seharusnya tidak boleh mengusulkan hal seperti ini. Ia menambahkan peraturan semacam itu melanggar Hak Asasi Perempuan yang telah diakui dalam Charter PBB.

 

Sementara salah satu peserta diskusi, Herbert Wippel dari Austria menegaskan bahwa ia menikahi istrinya dan mengurus tiga anak tirinya tanpa mengharapkan apapun. Ia melihat ada tetangganya yang suka memukuli istrinya. Menurut ia, pria seperti itulah yang harus membayar Rp500juta.

Namun, ke depan aturan yang ‘merugikan' perempuan Indonesia itu bakal direvisi. Setidaknya, hal itu menjadi janji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  Dewan akan mengusahakan agar anak-anak hasil perkawinan campur tersebut bisa mendapatkan status warga negara pihak ayah dan pihak ibu sekaligus alias dwi-kewarganegaraan.

 

Janji tersebut disampaikan anggota Komisi I DPR Slamet Effendi Yusuf pada diskusi yang diadakan Alida Centre bertema Hubungan Hukum yang Bermartabat bagi Pasangan Nikah WNI-WNA di Hotel Gran Melia, Jakarta, Sabtu (22/10). Selain Slamet, hadir pula Direktur Alida Centre Effendi Ghazali, pendiri Alida Centre Alida Handau Lampe Guyer, aktivis perempuan Nuning Hallett, Direktur LBH APIK Ratna Batara Munti, dosen Filsafat UI Gadis Arivia dan hakim agung Valerine JL Kriekhoff.

 

Dalam diskusi tersebut, para pasangan campuran mengeluhkan rumitnya pengurusan surat izin yang harus diperbaharui tiap enam bulan. Sophia Latjuba, yang baru saja melahirkan, juga meminta agar prosedur dipermudah.

 

Teman-teman dari kelompok Tionghoa bilang kami harus menolak dwi-kewarganegaraan karena mereka dulu mengalami kesulitan. Tapi mungkin kita bisa menerapkan dwi kewarganegaraan untuk kalangan ini saja, selama tidak berbenturan dengan UU negara lain, kata Slamet.

Halaman Selanjutnya:
Tags: