DPR Rombak UU Penempatan dan Perlindungan TKI
Berita

DPR Rombak UU Penempatan dan Perlindungan TKI

Janjinya akan menitikberatkan pada isu perlindungan ketimbang penempatan.

Ady
Bacaan 2 Menit

Pada kesempatan yang sama Kepala Biro Hukum dan Humas BNP2TKI, Ramiany Sinaga, mengatakan agar RUU PPILN memuat sejumlah prinsip penempatan pekerja migran. Misalnya penempatan pekerja migran hanya ke negara yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja migran. Atau TKI hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian dengan pemerintah RI dan lainnya.

Beberapa negara yang menurut Ramiany kurang memberi perlindungan terhadap pekerja migran di antaranya Arab Saudi, Brunei Darusalam dan Singapura. Untuk memaksimalkan upaya perlindungan terhadap pekerja migran di berbagai negara tersebut Ramiany mengatakan pemerintah harus melakukan pertemuan bilateral.

Raimany berharap agar perubahan atas UU PPTKLN harus aplikatif terhadap kebutuhan di lapangan. Jika hal itu tidak terjadi, Ramiany khawatir amanat dari UU tersebut tidak dapat dijalankan. Contohnya adalah UU PPTKLN yang hingga saat ini belum dibuat satu pun dari enam peraturan pemerintah yang dimandatkan sebagai peraturan pelaksana.

Tak kalah penting, Raimany menekankan agar perubahan itu juga mengakomodir ketentuan-ketentuan dalam konvensi PBB, terutama konvensi yang sudah diratifikasi. Salah satunya konvensi perlindungan hak pekerja migran dan anggota keluarganya. “Harus berperspektif HAM,” tegasnya.

Sementara Direktur The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, mengapresiasi sekaligus mengkritisi RUU PPILN yang sudah dibuat Komisi IX DPR. Setidaknya terdapat enam hal perubahan positif yang dilihat Palupi dalam RUU tersebut.

Pertama, menekankan pada perlindungan pekerja migran. Kedua, hak pekerja migran diperluas, meski hak atas kondisi kerja yang sehat dan adil serta hak hari libur belum dimuat. Ketiga, hak keluarga pekerja migran diakui walau belum menjamin hak keluarga untuk berkomunikasi dengan pekerja migran.

Keempat, ada upaya untuk mengembalikan peran negara dalam memberi perlindungan terhadap pekerja migran. “Tidak lagi ke pihak swasta,” ujarnya. Kelima, Palupi melihat dalam RUU PPILN ada itikad untuk meminimalisasi biaya penempatan pekerja migran. Salah satunya ada kalimat yang menyebut “maksimal satu bulan gaji”. Keenam, ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar ketentuan, termasuk sanksi terhadap pejabat negara.

Namun di sisi lain, Palupi menemukan banyak hal yang harus dikritisi. Di antaranya akan ada tumpang tindih kewenangan antara BNP2TKI, atase tenaga kerja serta perwakilan Kementerian Luar Negeri di negara lain. Misalnya, kewenangan dalam verifikasi pengguna dan mitra usaha, kewenangan mengurus kematian TKI, dan perlindungan TKI. Selain itu dalam mendata mitra usaha, pengguna yang bermasalah, pendampingan hukum dan lainnya.

Bila masalah kewenangan itu tidak segera dibenahi, Palupi khawatir akan tercipta konflik yang cukup besar antara instansi pemerintahan sehingga berdampak negatif dalam upaya perlindungan TKI. Palupi berpendapat atase tenaga kerja yang mewakili Kemenakertrans di luar negeri, posisinya secara kelembagaan sangat lemah jika dibandingkan dengan perwakilan kementerian lain di luar negeri, misalnya Kemenlu.

Palupi berpendapat untuk perwakilan di luar negeri, kementerian terkait harus turun tangan langsung, bukan diwakili oleh sebuah badan. Sementara Palupi melihat dalam RUU tersebut kewenangan BNP2TKI lebih besar dan perwakilannya sampai ke luar negeri. Walau perannya besar, tapi Palupi melihat peran BNP2TKI tidak jelas. Terutama peran perwakilan BNP2TKI di daerah. “Membuat kening berkerut membaca RUU ini,” keluhnya.

Tags: