DPR Perlu Membentuk Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme
Berita

DPR Perlu Membentuk Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme

Guna mengawasi penanggulangan terorisme yang dilakukan aparat.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES

Pemerintah dan DPR telah memperbarui aturan mengenai penanganan terorisme dengan menerbitkan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Regulasi itu sejak dibahas di DPR menuai kontroversi publik karena ada ketentuan yang dinilai tidak selaras dengan sejumlah aturan. Misalnya, soal pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme dan akan diatur lebih lanjut lewat Peraturan Presiden (Perpres).

 

Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah mengkritik beberapa ketentuan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018. Peneliti senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, mengatakan pelibatan TNI dalam tindak pidana terorisme akan menimbulkan persoalan. Apalagi pelibatan itu hanya diatur melalui Perpres. Idealnya, pemerintah dan DPR harus membentuk UU Perbantuan sehingga bisa mengatur lebih jelas batasan keterlibatan TNI, khususnya dalam menangani terorisme.

 

Langkah lain, merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, ini penting karena menyangkut akuntabilitas anggota TNI yang bakal terlibat dalam penanganan terorisme. Menurut Bhatara, ketika TNI dilibatkan dalam penanggulangan terorisme, tindakan yang mereka lakukan masuk dalam operasi penegakan hukum. Jika dalam tindakan itu terjadi kesalahan, misalnya dalam melakukan penangkapan, maka harus ada mekanisme pertanggungjawaban. Begitu pula dengan mekanisme komplain, seperti soal penggeledahan, penyitaan, dan penahanan.

 

“Dalam menangani terorisme, TNI harus tunduk pada pidana umum,” kata Bhatara dalam diskusi di Jakarta, Senin (20/8).

 

(Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Menangani Terorisme Perlu Perhatikan 4 Hal)

 

Serlaras itu Bhatara menekankan dalam kondisi damai, pelibatan TNI dalam menangani terorisme berada di bawah koordinasi Polri karena sistem yang digunakan peradilan pidana. Berbeda jika ancaman terorisme sampai mengancam kesatuan wilayah dan kedaulatan Indonesia, seperti serangan teroris yang terjadi di Suriah, maka Polri berada di bawah koordinasi TNI.

 

Bhatara mengatakan UU No. 5 Tahun 2018 mengamanatkan pemerintah dan DPR untuk menerbitkan peraturan pelaksana yang terdiri dari 4 Perpres, 2 Peraturan Pemerintah (PP), dan 1 Peraturan DPR. Untuk peraturan yang di terbitkan DPR, akan mengatur tentang pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme.

 

Menurut Bhatara DPR perlu segera membentuk tim itu karena penting untuk mengawasi setiap kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan terorisme, khususnya soal pelibatan TNI. Anggota tim pengawas itu terdiri dari beberapa unsur yakni Komisi I dan Komisi III DPR, dan perwakilan masyarakat sipil. Dia berharap kelompok masyarakat sipil yang selama ini mengawal pembahasan revisi UU Penanggulangan Terorisme bisa ikut dalam tim tersebut. “Fungsi DPR melakukan pengawasan, oleh karena itu pembentukan tim ini harus dipercepat,” tukasnya.

 

Peneliti Utama Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR, Poltak Partogi Nainggolan, mengatakan pada saat revisi UU Penanggulangan Terorisme masih dibahas di DPR, dia telah mengingatkan kepada anggota Pansus untuk tidak memasukan TNI dalam UU yang mengatur Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, TNI bisa terlibat mengatasi terorisme lewat mekanisme operasi militer selain perang (OMSP). Selain itu OMSP sifatnya hanya sementara, tidak permanen.

 

Selain itu Partogi menekankan pentingnya tim pengawas penanggulangan terorisme untuk mencegah kesalahan yang berpotensi terjadi dalam penanggulangan terorisme. Partogi mengusulkan kepada kelompok masyarakat sipil yang mengawal isu terorisme untuk mendesak DPR segera menerbitkan peraturan yang membentuk tim pengawas itu. Sampai saat ini di DPR belum terlihat ada pembahasan mengenai pembetukan tim tersebut. “Tim pengawas ini harus segera dibentuk sebagaimana perintah UU No. 5 Tahun 2018,” ujarnya.

 

(Baca juga: Tak Tegas Definisikan Radikal, UU Terorisme Diuji)

 

Kepala Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Feri Kusuma, yakin pelibatan TNI dalam menangani tindak pidana terorisme akan menimbulkan persoalan ke depan. Ketika terjadi pelanggaran dalam melakukan penanganan terorisme, akan sulit menuntut pertanggungjawaban TNI selama mereka tidak tunduk pada pidana umum. Bahkan selama ini belum ada sanksi yang dijatuhkan kepada anggota Detasemen Khusus 88 yang melakukan pelanggaran.

 

Menurut Feri, Perpres Pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme yang bakal diterbitkan sebagaimana amanat UU No. 5 Tahun 2018 akan melegalkan tindakan TNI dalam menangani terorisme. Feri khawatir nantinya akan terjadi seperti darurat militer di Aceh setelah diterbitkannya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. “Pada masa darurat militer di Aceh periode 2003-2004 ribuan orang mati tanpa ada pertanggungjawaban hukum,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait