DPR Minta Perlu Penyeragaman Makna Radikal
Berita

DPR Minta Perlu Penyeragaman Makna Radikal

Agar pejabat negara tidak sembarang menuding agama dan kelompok tertentu sebagai radikal. Dibutuhkan penyeragaman makna dan definisi radikal dan radikalisme yang tepat, bila perlu diatur dalam UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Penggunaan kata “radikal” kembali menjadi perbincangan hangat di masyarakat setelah seorang menteri mengeluarkan pernyataan yang menyematkan ciri-ciri tertentu sebagai kelompok radikal. Sontak, pernyataan ini menimbulkan kegaduhan dan menuai kritikan, bahkan kecaman sebagian berbagai elemen masyarakat. Karena itu, kalangan DPR meminta perlunya batasan dan penegasan definisi radikal agar tidak sembarang menuding individu atau kelompok tertentu sebagai berpaham radikal.

 

“Saya minta disksi radikal ini dipikir ulang bagaimana kata radikal diganti dengan violence ekstrimis,” usul Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Komplek Gedung Parlemen, Senin (11/11/2019).

 

Sudding menerangkan penggunaan diksi radikal sudah digunakan sejak era Orde Baru. Namun penyematan diksi radikal kala itu ditujukan bagi kalangan kelompok “kiri”. Namun, dalam perkembangannya, saat ini diksi radikal justru disematkan bagi kalangan “kanan”. Selain itu, maraknya aksi terorisme tak lepas dari bagian stigmasisasi terhadap agama tertentu. Padahal, agama mengajarkan kebaikan.

 

“Tanpa adanya definisi dalam UU, orang dengan mudah melabelisasi kelompok tertentu radikal. Bahkan seseorang menggunakan celana cingkrang bagi lelaki dan bercadar untuk perempuan dinilai radikal. Jangan karena persoalan celana cingkrang dan jidad hitam serta cadar kemudian disebut radikal. Apa hubungannya? Ini soal kontra radikalisasi,” kata politisi Partai Amanat Nasional.

 

Anggota Komisi III DPR lain Supriansa mengingatkan atribut yang digunakan agama atau kelompok tertentu bukan indikator sebagai radikal. Di tengah beragamnya definisi radikal, dia memnta perlu adanya sosialisasi atas penyeragaman makna radikal kepada pejabat negara. Sehingga pejabat negara ataupun masyarakat tidak dengan mudah menuding seseorang atau kelompok tertentu dengan label radikal.

 

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KKBI) radikal adalah Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan);  maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan radikalisme, “Paham atau aliran yang radikal dalam politik;  paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik”.

 

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menjelaskan pengaturan definisi radikal maupun radikalisme memang belum diatur dalam UU termasuk UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU sekalipun. Definisi radikal dan paham radikalisme tidak diurai lebih jelas dalam UU itu.

 

Namun dalam Pasal 43 UU 5/2018 mengatur tentang definisi kontra radikalisasi. Pasal 43 ayat (1) UU 5/2018 menyebutkan, Kontra radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal Terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal Terorisme.”

 

Sedangkan “Deradikalisasi merupakan terencana, terpadu, berkesinambungan yang menghilangkan atau membalikkan pemahaman telah terjadi.

 

Bagi Arsul, lembaga yang berwenang berkewajiban mensosialisasikan makna radikal dan radikalisme yang tepat terhadap semua instansi pemerintahan. Sehingga, ada penyeragaman makna dan definisi radikal dan radikalisme. Sehingga, pejabat negara tidak mudah menuding atau mencap seseorang atau kelompok dan agama tertentu sebagai radikal.

 

“Perlu batasan dan melakukan sosialiasasi kepada pejabat negara untuk tidak gampang melabeli satu kelompok hanya karena penampilan fisik dengan radikal,” katanya.

 

Habiburokhman sependapat dengan pandangan Arsul. Menurutnya, penggunaan diksi radikal di tengah masyarakat perlu diingatkan terus-menerus agar tidak sembarangan melabeli agama dan kelompok tertentu sebagai radikal. “Kalau radikal dimaknai seperti sekarang ini, aktivis mahasiswa saat melengserkan rezim Orde Baru bisa dicap sebagai radikal dong?   Padahal, radikal saat itu bermakna sebagai gerakan yang menghendaki perubahan,” kata dia.

 

“Kini, radikal disematkan ke gerakan agama tertentu yang cenderung sebagai kelompok “kanan”.

 

Karena itu, dia meminta penggunaan diksi radikal di tengah masyarakat perlu dievaluasi dan diberi definisi yang jelas dan tepat. “Jadi definisi radikal yang tidak tepat, harus kita sampaikan. Seharusnya juga bukan deradikalisasi, tapi reedukasi,” katanya.

 

Sebagai informasi, rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan BNPT ini dihadiri sejumlah petinggi pimpinan lembaga tersebut. Namun, di pertengahan rapat ini, Kepala BNPT Komisaris Jenderal (Komjen) Suhardi Alius meminta izin pergi ke luar negeri untuk acara yang tidak bisa ditinggalkan.

Tags:

Berita Terkait