DPR Minta Pemerintah Taati Putusan MA
Berita

DPR Minta Pemerintah Taati Putusan MA

Pemerintah berkilah menunggu fatwa, dan harus melakukan kajian.

FNH
Bacaan 2 Menit
DPR Minta Pemerintah Taati Putusan MA
Hukumonline

Sejumlah anggota Komisi XI DPR meminta dan mendesak pemerintah untuk menaati putusan Mahkamah Agung dalam perkara Bank Global. Nasib nasabah bank yang izinnya dicabut pada 2005 itu terkatung-katung. Upaya hukum yang mereka lakukan membuahkan hasil.

Pemerintah, lewat Kementerian Keuangan, harus membayar dana nasabah. Kewajiban itu diperkuat putusan MA No. 54 K/TUN/2008, yang kemudian diperkuat putusan No. 111 PK/TUN/2008. Bertahun-tahun setelah memenangkan perkara, uang nasabah tak juga dibayarkan.

Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP, menilai Kemenkeu seolah-olah ingin menghindar dari kewajiban sesuai putusan Mahkamah Agung. "Kasus Bank Global sudah diputus dari Juni 2009 dan sekarang sudah Juni 2013. Sudah berapa tahun? Berapa lama lagi Kemenkeu pelajari kasus ini dan taat hukum?" kata Dolfi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi XI DPR dengan jajaran Kementerian Keuangan, dan dihadiri perwakilan nasabah, Senin (08/7) kemarin.

Sekretaris jenderal Kemenkeu, Ki Agus Badaruddin, berdalih Kemenkeu masih harus melakukan kajian terhadap putusan Mahkamah Agung sebelum membayar. Selain itu, Kementerian meminta fatwa ke Mahkamah Agung. "Kemenkeu minta fatwa ke MA, kalau tidak pake fatwa MA nanti salah lagi," kilahnya.

Menurut Badaruddin, kajian yang dilakukan oleh Kemenkeu untuk melihat kewajiban-kewajiban nasabah sebelum putusan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah. Perhitungan tersebut penting dilaksanakan guna memastikan nilai yang harus dibayarkan pemerintah kepada pihak yang berhak sesuai putusan MA. Badaruddin pun menegaskan, Kemenkeu memiliki hak untuk melakukan kajian tersebut agar tak terjadi kesalahan.

Ia mengatakan Kemenkeu akan mematuhi putusan Mahkamah Agung, dengan cara membayar kewajiban kepada nasabah. Namun, pembayaran tak semudah membalik telapak tangan karena ada proses alokasi dana dan perhitungannya. "Kan alokasinya harus dilihat dulu, enggak bisa utang negara tiba-tiba dibayar. Harus dilihat dan dikaji," imbuhnya.

Tetapi, jika pemerintah sudah yakin terhadap hasil kajian yang dilakukan dan pengalokasian dana sudah ditetapkan, maka Badaruddin mengatakan pemerintah akan segera melakukan pembayaran kewajiban sesuai putusan inkrah.

Pengkajian pun diakui oleh Badaruddin dilakukan dengan hati-hati. Pasalnya, urusan pembayaran kewajiban atas kasus-kasus di Indonesia yang mewajibkan pemerintah untuk membayar, harus didudukkan secara hukum yang benar. "Jadi bukan soal waktu yang sudah lama," tegasnya.

Keterlambatan sikap pemerintah itulah yang membuat sejumlah nasabah meradang, dan mengadu ke DPR. Politisi Golkar Edison Betaubun, menuding pemerintah sengaja mengulur-ulur waktu dengan cara meminta fatwa kepada MA. Ia meminta kasus Bank Global tersebut harus segera diselesaikan oleh Kemenkeu. "Sudah jadi kebiasaan pemerintah untuk membayar tapi harus meminta fatwa dulu dari MA. Tujuannya agar sesuai dengan yang diharapkan kalau tidak sesuai dicari lagi upaya hukum untuk bisa mengulur waktu," jelasnya.

Dua politisi asal PDIP, Arif Budimanta dan Maruarar Sirait justru mengkritik ketidakhadiran Menteri Keuangan Chatib Basri dalam rapat kerja kali ini. Menurut mereka, rapat yang membutuhkan suatu keputusan sebaiknya dihadiri oleh Menteri Keuangan. "Bingung tanpa kehadiran Menkeu, kenapa diputuskan tetap berjalan. Karena akan sia-sia," sebut Arif.

Menjawab pernyataan Arif dan Maruarar ‘Ara’ Sirait, Badaruddin beralasan pada saat yang sama Menkeu menghadiri rapat di Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Tags:

Berita Terkait