DPR Janji Tunda Pengesahan RUU P2H
Berita

DPR Janji Tunda Pengesahan RUU P2H

Jika tetap disahkan, koalisi masyarakat sipil mengajukan uji materi ke MK.

RFQ
Bacaan 2 Menit
DPR  Janji  Tunda Pengesahan RUU P2H
Hukumonline

DPR berjanji takkan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P2H) menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna besok, Selasa, 2 April 2013. Janji itu diutarakan Wakil Ketua DPR Pramono Anung tatkala audiensi dengan koalisi masyarakat sipil di ruang pimpinan DPR, Senin (1/4).

“Saya selaku pimpinan sidang besok, saya akan menahan agar RUU ini tidak disahkan,”ujarnya di depan koalisi masyarakat sipil saat melakukan audiensi di ruang pimpinan DPR, Senin (1/4).

Pramono lalu menguraikan, RUU ini dibahas tujuh kali masa persidangan. Menurutnya pembahasan RUU yang mulanya bernama ‘Pemberantasan Illegal Loging’ terlampau lama.

Karena waktu pembahasan yang cukup lama, seharusnya RUU itu sudah disahkan. Hanya saja, muncul keberatan dari pemerhati kehutanan dan masyarakat adat, maka DPR berupaya kembali menunda pengesahan.

Pramono memberi kesempatan pada koalisi masyarakat sipil untuk memberikan masukan kepada sejumlah fraksi dalam beberapa hari kedepan. Kemudian, dalam sidang paripurna pada 9 dan 12 April mendatang, nasib RUU ini akan ditentukan.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini juga berjanji akan menyampaikan masukan tertulis koalisi masyarakat sipil pada masing-masing fraksi. Menurutnya kelestarian alam dan keberlangsungan masyarakat adat penting  menjadi perhatian pemerintah. Apalagi dengan adanya RUU P2H semestinya dapat pula mengakomodir kepentingan masyarakat adat.

Dikatakan Pramono, jika dilihat dari semangat pembuatan RUU P2H adalah melakukan pemberantasan terhadap kejahatan pengrusakan hutan yang kian tak terbendung. Namun bukan berarti mengesampingkan keberlangsungan sisi lain.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkung pada kesempatan itu menyatakan aka nada konsekuensi jika DPR tetap mengesahkan RUU ini. Koalisi akan melakukan judicial review undang-undang baru nanti ke MK. Tama juga menduga RUU P2H ini disusun tanpa adanya naskah akademik. Karena koalisi sipil tak mendapatkan naskah akademik sebagai prasyarat pembentukan suatu rancangan undang-undang.

Koordinator Program Pembaharuan Hukum dan Resolusi Konflik HuMa, Siti Rakhma Mary menyatakan DPR memang semestinya tak mengesahkan RUU P2H. Pasalnya RUU P2H secara aspek formil  (pembuatan) dan aspek materil (substansi) banyak ditemukan persoalan.

Aspek formil misalnya, proses pembahasan RUU P2H dinilai telah menyimpang dari UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, khususnya asas keterbukaan. Selain itu, permasalahan yang disasar dalam RUU P2H tak jelas. RUU itu terlampau banyak memberikan diskresi tanpa disertai koridor yang ketat

Sedangkan dari aspek materil, RUU P2H banyak menuai persoalan. Misalnya, membuka peluang terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal di sekitar hutan. Tidak hanya itu, RUU P2H menambah tumpang tindih peraturan di bidang sumber daya alam. Bahkan, rancangan regulasi itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.45 Tahun 2011 tentang definisi kawasan hutan. Lebih mengkhawatirkan, adanya peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberina izin di bidang kehutanan. Alhasil, bukan tidak mungkin banyak pihak berkepentingan bermain untuk mengeruk keuntungan yang berujung dugaan korupsi.

“Dari pertimbangan  aspek formil dan materil, pada akhirnya dapat disimpulkan RUU P2H tidak layak disahkan. Para pembentuk RUU P2H tidak memahami secara jernih penyebab kerusakan hutan dan perancangan ketentuan perundang-undangan. RUU P2H sangat berbahaya karena ketentuan pidana yang diatur justru mengancam kelangsungan masyarakat adat,” tegasnya.

Peneliti Yayasan Silvagama Grahat Nagara menambahkan persoalan pengrusakan kehutanan juga rangkaian pemberian izin kepada pengusaha kayu dan pertambangan. Namun, RUU P2H justru bukan tidak mungkin akan mengorbankan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. “Kalau ini disahkan akan mengkriminalisasi masyarat adat dan menghianati UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kalau tetap disahkan kami akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya.

Tabel Pasal Bermasalah RUU P2H

Pasal

Bunyi Pasal

Ancaman Pidana

19

Setiap orang dilarang mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan pidana denda minimal Rp4 miliar dan maksimal Rp15 miliar

20

Setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi.

penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan pidana denda minimal Rp4 miliar dan maksimal Rp15 miliar

21

Setiap orang dilarang menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan pidana denda minimal Rp4 miliar dan maksimal Rp15 miliar

22

Setiap orang dilarang melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun dan pidana denda minimal Rp 3 miliar dan maksimal Rp15 miliar

25

Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara, yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan

penjara minimal 4 tahun dan maksimal 15 tahun dan pidana denda minimal Rp 4 miliar dan maksimal Rp15 miliar.

Sumber : PIL-Net

Tags:

Berita Terkait