DPR Ingatkan UNCLOS Terkait Klaim China atas Natuna
Utama

DPR Ingatkan UNCLOS Terkait Klaim China atas Natuna

Pemerintah Indonesia harus tetap tegas atas klaim pemerintah China atas perairan Natuna. Sebab, tindakan kapal-kapal China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia masuk kategori ancaman terhadap NKRI.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: RES
Foto ilustrasi: RES

Klaim sepihak atas perairan Natuna Utara di Kepulauan Riau (Kepri) membuktikan Pemerintah China tidak taat hukum internasional. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki wilayah teritori yang tidak boleh diklaim sepihak negara asing. Sebab, wilayah perairan Natuna merupakan bagian wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (United Nations Convention for the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.

 

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRC) harus menghormati hukum internasional seperti tertuang dalam UNCLOS 1982 dimana Republik Rakyat Tiongkok adalah salah satu anggotanya,” ujar Ketua DPR Puan Maharani di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (7/1/2019) Baca Juga: Presiden Tegaskan Tak Ada Tawar-Menawar Soal Klaim Natuna

 

Dia menegaskan wilayah perairan Natuna merupakan bagian kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wajib dipertahankan sesuai penetapan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Natuna berdasarkan konvensi PBB UNCLOS Tahun 1982. Karena itu, tak ada alasan bagi Indonesia membiarkan wilayah teritorinya diklaim negara lain termasuk pemerintah China.

 

Meski pemerintah diminta tegas terhadap kapal-kapal nelayan milik China yang masuk ke wilayah perairan Natuna, Puan juga menyarankan agar ditempuh cara diplomasi damai. Seperti sikap tegas yang sudah ditempuh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang tetap  mengedepankan upaya diplomasi dengan RRC.

 

“Seluruh kementerian dan lembaga harus satu suara mendukung sikap tegas Kemenlu yang tetap tegas dalam menjaga kehormatan dan eksistensi kedaulatan NKRI,” pintanya.

 

Dia juga mendorong aparat keamanan mulai angkatan laut (AL), angkatan udara (AU), dan polisi air meningkatkan patrolinya di wilayah perairan Indonesia. Terutama di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seperti di perairan Natuna dengan cara memperkuat coast guard (penjaga pantai).

 

Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai kapal penangkap ikan milik China yang masuk wilayah perairan ZEE Indonesia (130 mil laut) dari perairan Ranai, Natuna melukai persahabatan yang telah dibangun oleh pemerintah Indonesia. Sebab, ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 telah memiliki kekuatan hukum mengikat tentang hukum laut internasional. Jadi, kata Bambang, klaim sepihak pemerintah China tentang perairan Natuna sebagai wilayahnya tidak berdasar.

 

“Pemerintah bersikap tegas, bukan hanya mengirimkan nota protes diplomatik, tapi juga perlu melakukan tindakan hukum tegas, seperti penenggelaman kapal,” kata dia.

 

Mantan Ketua DPR periode 2014-2019 itu melanjutkan menjadi masalah besar bila RRC mengganggu kedaulatan Indonesia meskipun negara ini menjadi investor terbesar di Indonesia. Terlebih, Kemenlu China telah mengeluarkan pernyataan tak peduli apakah Indonesia menerima atau tidak klaim China sebagai pemilik perairan Natuna.

 

“Jika kita berani mengambil sikap tegas, siapapun akan segan dengan Indonesia. Ini rumah kita, jangan biarkan ada maling masuk dan kita hanya tersenyum melihat SDA kita dirampok,” tegasnya.

 

Anggota Komisi IV DPR Ono Surono menerangkan hukum laut internasional sebagaimana diatur UNCLOS 1982 memberi hak ekploitasi dan eksplorasi atas sumber daya alam (SDA) kepada Indonesia atas wilayah ZEE di laut Natuna/Laut China Selatan. Namun, dia mengakui merujuk Pasal 68 UNCLOS, negara lain dapat memanfaatkan SDA terutama ikan bila Indonesia dianggap tidak mampu mengeksplorasi seluruh sumber daya ikan sesuai hitungan yang boleh ditangkap.

 

Indonesia, kata Ono, dianggap tak mampu memanfaatkan sumber daya ikan di ZEE akibat turunnya kapasitas kapal perikanan pasca kebijakan dicabutnya izin kapal perikanan berskala besar. Begitu pula dilarangnya transhipment di tengah laut dan pembatasan kapasitas kapal ikan maksimal 150 grosston, serta belum ada pelabuhan perikanan terdekat yang dapat menampung kapal berikut hasil tangkapannya.

 

“Jadi, Indonesia itu ibarat rumah tetapi tidak berpenghuni, sehingga maling sangat leluasa mencuri isinya,” kata dia.

 

Menurut Ono, kapal perikanan asal pantura Jawa yang melakukan operasi di atas 25 mil sampai 200 mil laut sesuai batas ketentuan ZEE tidaklah mudah. Sebab, diperlukan kapal skala besar dan waktu yang lama, serta pelabuhan perikanan yang dapat menampung kapal beserta hasil tangkapannya. “Tapi, bila gagasan Menkopolhukam Mahfud MD mendorong 150 kapal perikanan Pantura Jawa beroperasi di laut Natuna perlu diawali dengan mengubah peraturan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan,” usulnya.   

 

Perubahan peraturan yang dimaksud. Pertama, mengizinkan kembali kapal-kapal perikanan besar yang dahulu izinnya dicabut dengan tetap mengacu pada prinsip ‘milik dan modal murni Indonesia’. Kedua, mencabut pelarangan pembangunan kapal perikanan maksimal 150 grosston. Ketiga, memperbanyak kapal pengangkut ikan dan membolehkan untuk melakukan transhipment di tengah laut dengan pengawasan yang ketat. Keempat,  pembenahan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna untuk bisa beroperasi menampung kapal dan hasil tangkapan secara maksimal.

 

Bila empat hal tersebut dilakukan, kata Ono, pengamanan kedaulatan Indonesia di wilayah laut Natuna/Laut China Selatan tak hanya mengandalkan kekuatan armada TNI Angkatan Laut, Bakamla, dan aparat penegak hukum. “Tetapi, armada kapal perikanan Indonesia juga dapat menjadi penjaga sekaligus menjadi mata-mata bagi negara untuk menjamin kedaulatan Indonesia tetap terjaga,” katanya.

 

Ancaman NKRI

Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengingatkan berlakunya Pasal 4 UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDNPN). Sesuai pasal itu tindakan kapal-kapal China masuk kategori ancaman terhadap NKRI. Apalagi Kemenlu China sudah membuat pernyataan ketidakpeduliannya apakah Indonesia terima atau tidak terhadap klaim China atas perairan Natuna.

 

Pasal 4 ayat (3) UU PSDNPN menyebutkan, “Ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berwujud agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serangan siber, serangan nuklir, serangan biologi, serangan kimia, atau wujud Ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa.”

 

“Pemerintah Indonesia semestinya segera menjalankan UU 23/2019, antara lain dengan menyusun program bela negara, pembentukan Komponen Pendukung dan Komponen Cadangan,” pintanya.  

 

Seperti diketahui, sejumlah kapal nelayan Tiongkok dengan dikawal kapal Coast Guard China memasuki garis wilayah perairan ZEE Indonesia (130 mil laut, red) sejak 10 Desember 2019 lalu. Tidak hanya masuk, mereka dinilai melanggar ZEE seperti melakukan praktik Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di wilayah yang masih masuk dalam teritori Indonesia.   

 

Kementerian Luar Negeri RI telah melayangkan nota protes kepada Duta Besar Republik Rakyat China (RRC) di Jakarta. Namun Pemerintah China berdalih tidak melakukan pelanggaran hukum internasional di perairan Natuna Utara itu. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash line (klaim atas sembilan titik imaginer) China di Perairan Natuna. Menurutnya, batas wilayah itu merupakan klaim sepihak China tanpa dasar hukum.

 

Retno mengingatkan batas wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (United Nations Convention for the Law of the Sea/UNCLOS) 1982. Karena itu, China diminta untuk menghormati instrumen hukum laut internasional tersebut. Terlebih, China merupakan bagian dari UNCLOS 1982.

Tags:

Berita Terkait