DPR Ingatkan Pemerintah Tegas Soal Aturan Transportasi Online
Berita

DPR Ingatkan Pemerintah Tegas Soal Aturan Transportasi Online

Bila dalam satu tahun ke depan tidak ada sikap dari pemerintah terhadap usulan revisi, maka DPR dapat mengambil alih usul inisiatif revisi UU LLAJ tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi transportasi online. Ilustrator: BAS
Ilustrasi transportasi online. Ilustrator: BAS

Ketiadaan payung hukum bagi transportasi berbasis online akan terus menjadi persoalan. Karena itu, sejumlah kalangan di DPR mempertanyakan komitmen dan keseriusan pemerintah membenahi payung hukum bagi transportasi berbasis online. Sebab, menggeliatnya bisnis jasa transportasi berbasis online tidak diimbangi regulasi yang memadai.  

 

Ketua Komisi V DPR Sigit Sosiantomo mengatakan pemerintah mesti tegas menentukan sikap terhadap keberadaan transportasi berbasis online yang hingga saat ini belum diatur dalam undang-undang (UU). Sebab, masyarakat yang saat ini berprofesi sebagai ojek online bisa jadi dipandang ilegal bila merujuk UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

 

Dia mengatakan bila pemerintah ingin melegalkan ojek online, maka segera menyiapkan aturan hukumnya. Menurut Sigit, komisinya sering mendesak pemerintah menentukan sikap apakah bakal merevisi UU 22/2009 atau membuat aturan baru. “Saya sudah sampaikan kepada Menteri Perhubungan dalam raker agar pemerintah tegas menyikapi (aturan) ojek online,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Senin (4/6/2018). Baca Juga: Soal Transportasi Berbasis Aplikasi Pemerintah Diminta Benahi Aturan

 

Sikap tegas pemerintah dibutuhkan perihal keinginan memasukan ojek online sebagai angkutan umum atau sebaliknya. Begitu pula ketegasan merevisi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Sikap pemerintah ditunggu DPR agar DPR pun dapat mengambil sikap. Pemerintah tak boleh mengulur waktu bagi kepastian transportasi berbasis online,” harapnya.  

 

Baginya, payung hukum aturan main bagi ojek online sangat dibutuhkan segera agar tidak lagi menimbulkan persoalan di kemudian hari. Apalagi, keberadaan ojek online tidak dapat dibendung di saat pemerintah belum pula mampu menyiapkan transportasi massal yang murah, nyaman, dan aman.

 

“Saya tidak setuju jika pemerintah mengulur-ulur waktu soal kepastian ojek online ini, apakah akan dilegalkan atau tidak. Sebaiknya segera diputuskan. Bahaya jika dibiarkan terus tanpa aturan. Kita harus memberi kepastian hukum pada jutaan driver ojek online,” ujarnya.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menyarakan agar pemerintah menggunakan ketentuan Pasal 47 UU LLAJ sebagai pintu masuk untuk melegalkan keberadaan ojek online sebagai kendaraan bermotor umum. Begitu pula dengan pasal-pasal yang dapat menegaskan posisi ojek online atau transportasi berbasis online sebagai transportasi umum dalam aturan turunannya.

 

Kita punya pengalaman saat pemerintah mengusulkan revisi UU Pelayaran dan ingin menghapus azas cabotage. Tapi, kita bisa mengakomodirnya lewat revisi aturan dalam  peraturan pemerintah (PP). Begitu juga dengan ojek online ini, kita bisa menyiapkan aturan turunnya mulai dari PP hingga peraturan menteri,” sarannya.

 

Selain kepastian hukum ojek online, ia pun meminta pemerintah melakukan pembatasan quota driver di setiap daerah. Tujuannya agar pihak aplikator tidak semena-mena terhadap driver dan driver bisa mendapatkan haknya sebagai mitra kerja. Pihaknya banyak mendapat keluhan soal betapa arogansinya pihak aplikator. Ia menilai tanpa adanya pembatasan quota, maka driver tak dapat memposisikan diri sebagai mitra.

 

“Karena pihak aplikator dapat semaunya menerima mitra baru. Akhirnya driver yang dirugikan,” ujarnya.

 

Revisi UU LLAJ

Nizar Zahro, mantan anggota Komisi V DPR, juga menyoroti ketiadaan payung hukum bagi para driver ojek online. Menurutnya, ketegasan pemerintah dalam memberi payung hukum menjadi keharusan dan bersifat segera. Ketiadaan payung hukum bagi transportasi berbasis online dalam kurun waktu yang lama sama halnya menggantung legalitas transportasi berbasis online.

 

Menurutnya, jalan yang dapat ditempuh dengan merevisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Sebab, kemauan pemerintah merevisi UU LLAJ tak berbanding lurus dengan keinginan di lapangan. Menurutnya, Komisi V sejak 2015 mendorong agar pemeritah segera mengajukan revisi terhadap UU LLAJ. Sayangnya, naskah akademik dan draf RUU pun tak juga disodorkan ke DPR.

 

Sementara Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi mengungkapkan regulasi terbaru transportasi online akan dituangkan dalam Peraturan Direktorat Jenderal. Sebelumnya Pemerintah sempat mengutarakan keinginan mengubah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Menggunakan Kendaraan Bermotor Tidak dalam Trayek.

 

Tetapi, kemudian berubah pikiran. Permenhub No. 108 Tahun 2017 ini tak akan diubah. Permenhub 108 adalah regulasi pengganti setelah Permenhub No. 26 Tahun 2017 dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung.

 

“Bentuknya Peraturan Dirjen, bukan turunan dari Permenhub, tetapi melengkapi Permenhub No. 108. Karena dalam Permenhub itu belum detail dan tidak mungkin direvisi lagi karena sudah tiga kali revisi. Yang sekarang ini akan menyentuh aplikatornya seperti bagaimana menerima kemitraan, termasuk mengakomodasi beberapa aturan ojek online, misalnya mengenai tarif dan lain sebagainya,” kata Budi di Jakarta, Rabu (30/5) kemarin.

 

Diakui Budi, aplikator atau penyedia aplikasi memang belum diatur dalam Permenhub No.  108 Tahun 2017. Pengaturan aplikator seharusnya diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun sayangnya sejauh ini Kominfo hanya mengatur mekanisme pendaftaran. Sedangkan Permenhub No. 108 baru mengatur badan hukum dan kemitraan.

 

Ambil alih revisi

Lebih lanjut Nizar yang baru saja pindah ke Komisi X DPR itu melanjutkan Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemenkominfo) mesti memberi sanksi tegas terhadap operator ojek online yang melanggar, misalnya Gojek dan Grab. Sebab, Kemenkominfo sebagai pihak yang dapat memberi peringatan terhadap operator transportasi berbasis online.

 

“Harus berlaku adil saat bertransaksi dengan konsumennya. Jadi harus tegas, tarifnya harus tegas, bonusnya harus tegas. Semuanya harus tegas,” ujarnya.

Selama ini DPR selalu terbuka dan menyambut baik usulan revisi UU LLAJ. Persoalannya, kata Nizar, bergantung pada pemerintah apakah bakal mengubah atau merevisi UU LLAJ atau sebaliknya. Jika sikap pemerintah tidak jelas, DPR bakal mengambil inisiatif  pengajuan revisi UU tersebut.

 

“Sampai hari ini masih tarik ulur. Pemerintah menginginkan revisi, silakan. Dan dalam ketentuan dalam revisi harus memasukan bahasan aplikator. Karena di sini pemerintah tidak bisa mengakses pengemudi, yang bisa mengakses adalah aplikator,” ujarnya.

 

Politisi Partai Gerindra itu menilai bila dalam satu tahun ke depan tidak ada sikap dari pemerintah terhadap usulan revisi, maka DPR dapat mengambil alih usul inisiatif revisi UU LLAJ tersebut. Misalnya, dalam satu tahun belum adanya naskah akademik dan draf RUU, DPR dapat melibatkan Kemenkominfo dan mendefinisikan frasa aplikator dan hal-hal baru.

Tags:

Berita Terkait