DPR Gagas RUU 65 Daerah Otonomi
Berita

DPR Gagas RUU 65 Daerah Otonomi

Disetujui untuk dibahas karena masa moratorium sudah lewat.

RFQ
Bacaan 2 Menit
DPR Gagas RUU 65 Daerah Otonomi
Hukumonline

Sejumlah warga Papua mengiringi rapat paripurna DPR, Kamis (24/10). Mereka ingin menyaksikan rapat pengesahan RUU Pembentukan 65 Daerah Otonomi Baru sebagai inisiatif DPR. Sebelumnya sudah dilakukan pembahasan tingkat I oleh Komisi II. Sembilan fraksi intinya menyetujui RUU tersebut dilakukan pembahasan ke tingkat selanjutnya dengan pemerintah.

Sembilan fraksi itu adalah Demokrat, PDIP, Golkar, PKS, PPP, PAN, PKB, Gerindra, dan Hanura. Setelah ditanya pimpinan sidang Taufik Kurniawan, seluruh anggota dewan yang hadir menyatakan persetujuannya.

Golkar misalnya. Dalam pandangan fraksinya yang dibacakan Idris Laena berpandangan tata kelola pemerintaan daerah menunjukan perkembangan yang baik. Hal itu sejalan dengan perkembangan otonomi daerah di berbagai daerah. Apalagi desakan dan aspirasi masyarakat daerah Papua misalnya mengharuskan adanya pemekaran daerah dengan luas wilayah yang sedemikian besar. Karena itu setuju adanya pembahasan lanjutan.

PDIP, melalui juru bicaraAlexander Litaay menyatakan pembentukan otonomi daerah diharapkan tidak menjadi beban bagi masyarakat setempat. Sedangkan pemerintah dan DPR mengawasi jalannya pemerintahan daerah otonom. Dua hal itu, lanjutnya dimaksudkan agar pemerintahan daerah otonom baru berjalan sesuai harapan dan tidak menyimpang dari gagasan pembentukan.

Fraksi PPP melalui AW Thalib punya pandangan senada. Menurutnya, aspirasi masyarakat daerah perlu ditampung dan ditindaklanjuti. “Pembentukan daerah otonom baru diperlukan agar pemerintah kian dekat dengan masyarakat.”

Daerah otonom baru menurutnya memangkas birokrasi. Tidak pula berbenturan dengan moratorium otonomi daerah baru yang sudah berakhir. Makanya pemberlakuan daerah otonom dapat dilakukan kembali. “Perubahan dan kesejahteraan masyarakat memerlukan pembentukan daerah otonomi baru,” ujarnya.

Juru bicara Fraksi PKS Buchori Yusuf mengatakan pemekaran sejumlah daerah otonomi baru layak dipertimbangkan. Dilihat dari pendekatan yuridis, sosiologis dan budaya. Karena itu PKS meminta kajian mendalam. Apalagi dari rencana 65 daerah otonom baru, 19 diantaranya di Papua. “Fraksi PKS setuju RUU tersebut menjadi inisiatif DPR dan dilanjutkan sesuai mekanisme yang berlaku,” ujar anggota Komisi III itu.

Fraksi PKB melalui Zajilul Fawaid SQ mengatakan pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui institusi pemerintah. Menurut pandangan fraksi, ada beberapa poin penting terhadap daerah otonomi baru.

Antara lain, pembagian potensi sumber daya alam di berbagai daerah tidak merata, sehingga menjadi beban berat dalam rangka berdikari daerah tersebut. Disiplin pengelolaan keuangan daerah masih tergolong rendah. Begitu pula optimalisasi kontiribusi pendapatan daerah terbilang rendah. “Ini belum efektifnya kebijakan keuangan aderah dan investasi,” ujarnya.

Kedua, pelayanan publik di daerah otonomi baru belum berjalan efektif. Sehingga optimalisasi pelayanan publik belum berjalan efisien. Tak kalah penting, pengentasan kemiskinan  belum terkejar dengan kabupaten lainnya. Ironisnya, dukungan pemerintah belum maksimal terhadap daerah otonomi baru. “Dari beberapa poin, kuat desakan masyarakat untuk  pemekaran daerah otonomi baru dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat dan wujud perhatian pemerintah pusat dan daerah,” ujarnya.

Selain RUU Pembentukan 65 Daerah Otonomi Baru, rapat paripurna pun mengesahkan RUU Kesehatan Jiwa yang merupakan inisiasi Komisi IX. Selain itu, paripurna pun mengesahkan revisi terhadap UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang menjadi inisiatif Badan Legislasi (Baleg). Dengan kata lain kedua RUU itu menjadi inisiatif DPR.

Saleh Husin sebagai juru bicara Fraksi Hanura menegaskan perlu payung hukum penanganan pasien gangguan kejiwaan. Pelayanan dan penyelenggaraan penanganan kesehatan jiwa harus sesuai dengan dilaksanakan secara transparan. “Tanpa membedakan status,” ujarnya.

Sementara Mestariany Habibie membacakan pandangan Fraksi Gerindra mengatakan kesehatan jiwa merupakan hak asasi manusia. Sehingga pemerintah wajib memberikan jaminan dalam rangka pelayanan kesehatan jiwa. “Penderita kesehatan jiwa berhak mendapat pelayanan, sehingga upaya menciptakan jiwa yang sehat dapat terjamin,” ujarnya.

Sedangkan revisi UU MD3, kata Husin menjadi keharusan krena putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU MD3. Menurutnya, revisi UU MD3 menjadi amanat rakyatkarena undang-undang sekarang ini belum mampu menjawab tantangan dan persoalan yang ada.

Tags:

Berita Terkait