DPR Dukung BI Perketat Kartu Kredit
Berita

DPR Dukung BI Perketat Kartu Kredit

Berdasarkan data BI, dalam dua bulan awal tahun 2011 terjadi penambahan sekitar 300 ribu kartu kredit.

Yoz
Bacaan 2 Menit
DPR dukung BI perketat pemilikan kartu kredit.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
DPR dukung BI perketat pemilikan kartu kredit.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Keinginan Bank Indonesia (BI) memperketat syarat pemberian kartu kredit didukung parlemen. Menurut anggota Komisi XI DPR Kemal Azis Stamboel, sudah seharusnya bank sentral memperhatikan secara serius perkembangan dan kenaikan yang sangat tinggi dari bisnis perbankan yang satu ini.

  

Berdasarkan data BI, dalam dua bulan awal tahun 2011 terjadi penambahan sekitar 300 ribu kartu kredit. Pada akhir 2010 terdapat 13,57 juta dan di akhir Februari 2011 telah menjadi 13,8 juta kartu kredit. Begitu pula nilai transaksinya, dalam tiga tahun terakhir telah mencapai 31,52 persen setiap tahunnya sebesar Rp163,21 triliun, meningkat 2,5 kali lipat dari tahun 2007 yang hanya Rp72,6 triliun.

 

“Ini perkembangan yang sangat tinggi dan kenaikan nilai transaksinya pun luar biasa sehingga harus mendapat perhatian serius, karena ekses negatifnya telah dirasakan oleh masyarakat. BI perlu membuat kebijakan tegas,” kata politisi PKS ini.

 

Setidaknya ada lima kebijakan penting yang perlu diambil bank sentral sebagai upaya untuk membatasi dampak buruk kartu kredit. Pertama, membatasi jumlah kepemilikan dan plafon kartu kredit. Menurut Kemal, BI perlu menetapkan batasan kebijakan untuk mendapatkan kartu kredit dan plafon yang disesuaikan dengan penghasilan minimum pemegang kartu.

 

Banyaknya penawaran kartu kredit di pusat-pusat perbelanjaan dengan janji kemudahan aplikasi tanpa pertimbangan memadai atas kemampuan bayar calon nasabah harus ditekan. Kemal mencontohkan, saat ini, satu orang bisa memiliki sampai 7 bahkan 27 kartu, padahal penghasilannya di bawah Rp10 juta.

 

“Jelas hal ini sudah tidak rasional. Kepemilikan kartu kredit yang terlalu mudah dan kecenderungan meringankan penilaian kemampuan finansial calon nasabah telah melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking),” tuturnya.

 

Kedua, perlu diterbitkan peraturan yang membuat penutupan kartu kredit menjadi mudah. Sehingga akan memudahkan pengurangan kepemilikan kartu yang telah berlebihan. Ketiga, melakukan pembatasan tentang suku bunga yang dianggap wajar untuk dibebankan kepada kartu kredit.

 

Dijelaskan Kemal, di beberapa negara, suku bunga kartu kredit telah dibatasi. Selain itu, transparansi informasi suku bunga dari pihak bank mutlak dibutuhkan. Pemahaman atas risiko perhitungan bunga kartu kredit penting agar konsumen paham konsekuensi setiap penggunaan kartu kreditnya dan bank tidak lagi menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui konsumen, seperti opsi pembebasan bunga cicilan dan penjadwalan ulang pembayaran.

 

“Perlu ada aturan yang mewajibkan bank untuk mejelaskan detail suku bunganya dan informasi yang memang dibutuhkan oleh nasabah. Dengan demikian mereka benar-benar mengetahui kemampuannya dalam membayar dan risiko ketika menggunakan kartu,” ujarnya.

 

Keempat, BI perlu menerapkan kebijakan untuk membatasi komposisi portofolio kredit bank agar tidak  terkonsentrasi berlebihan pada kartu kredit. Dengan kebijakan ini diharapkan kredit perbankan akan lebih dapat menggerakkan ekonomi secara lebih produktif.

 

Kelima, harus ada edukasi berkonsumsi yang sehat. Berbagai marketing yang mendorong hasrat mengonsumsi telah hadir di setiap ruang kehidupan, bahkan di ruang keluarga melalui televisi. Oleh sebab itu, sambungnya, adalah tugas bank sentral dan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat agar memiliki perilaku konsumsi yang sehat.

 

Seperti diberitakan hukumonline sebelumnya, BI berencana memperketat persyaratan kepemilikan kartu kredit bagi nasabah perbankan. Saat ini, kajian tengah dilakukan dengan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI).

 

Kepala Biro Humas BI Difi Johansyah mengatakan, ada dua hal yang menjadi perhatian bank sentral. Pertama, soal plafon (batasan) atas ‘utang’ kredit. Saat ini, tidak ada batasan kepemilikan kartu kredit dibanding penghasilan. “Kita sedang berpikiran membatasi mudahnya kepemilikan kartu kredit. Plafon tersebut nantinya diatur sesuai penghasilan agar nasabah dan bank dapat mengukur tingkat kemampuan pembayaran,” ujarnya.

 

Difi mengatakan, selama ini persoalan tersendatnya pembayaran kartu kredit karena nasabah kartu kredit berlebihan memakainya.  Banyak nasabah yang terlena tanpa mengukur kemampuan membayar. Alhasil, mereka bisa memakai kartu kredit layaknya pepatah ‘besar pasak daripada tiang’. Selain itu, BI berencana membatasi umur minimal kepemilikan kartu kredit. Namun, Difi belum mau merinci batasan umur yang dapat memiliki kartu kredit.

 

Saat ini, dasar hukum bagi sistem kartu kredit di Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Hanya saja, dalam aturan tersebut belum tercantum mengenai pembatasan syarat kepemilikan kartu kredit oleh nasabah. BI hanya mewajibkan bank untuk wajib menerapkan manajemen risiko. Hal ini meliputi manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, manajemen risiko operasional dan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi.

 

Upaya BI ini diapresiasi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, sebagian konsumen telah salah dalam memahami kepemilikan kartu kredit. Banyak yang menganggap kartu kredit sebagai utang. Seharusnya, kartu kredit dilihat sama dengan uang, yakni sebagai alat pembayaran. “Hanya waktu pembayarannya saja yang berbeda,” katanya.

Tags: