DPR Dorong Kejaksaan Serius Bereskan Pembalakan Liar
Berita

DPR Dorong Kejaksaan Serius Bereskan Pembalakan Liar

DPR sudah sedikit adem menyikapi lanjutan kasus jaksa Urip yang merembet ke sejumlah petinggi Kejaksaan Agung. Satu hal yang disorot tajam adalah janji penanganan kasus pembalakan liar.

NNC
Bacaan 2 Menit
DPR Dorong Kejaksaan Serius Bereskan Pembalakan Liar
Hukumonline

Sudah jengah dibohongi institusi pemerintah. Begitulah yang dirasakan mayoritas anggota Komisi III DPR yang hadir dalam Rapat Kerja (Raker) dengan  Kejaksaan Agung,  Rabu (25/6) kemarin. Salah satu isu yang disorot tajam adalah penganganan kasus pembalakan liar (illegal logging) oleh Kejaksaan. Untuk isu lestari lingkungan tersebut, komisi bidang hukum itu tergolong galak.

 

Terus terang dengan apa yang terjadi dengan Kejaksaan terakhir ini, masyarakat mengatakan kepada kami, Ah, Komisi III ternyata nggak punya nyali. Meski rapatnya sampai malam, sampai dua tiga hari, tapi ternyata Komisi III hanya dibohongi melulu, begitu celetuk anggota Komisi III Patrialis Akbar dari Fraksi Partai Amanat Nasional.

 

Yang dimaksud Patrialis adalah kejadian tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang bau busuknya merembet ke sejumlah pejabat teras Kejaksaan Agung. Menyambung kolega sesama fraksinya itu, Azlaini Agus menyoroti masalah penegakan hukum pembalakan liar yang seakan menjadi anak tiri penanganan perkara di Kejaksaan Agung.

 

Azlaini adalah anggota dewan dari daerah pemilihan Riau. Merasa wilayahnya sendiri yang digarap Kejaksaan, ia pun angkat bicara. Dalam catatannya, Kejaksaan di Riau kini menangani 14 kasus perkara pembalakan liar. Bukan 13 seperti disebut di sini, ujar Azlaini merujuk pada jawaban tertulis dari Kejaksaan Agung. Ia juga menunjukkan kurang sigapnya kejaksaan dalam menuntaskan kasus illegal logging.

 

Dalam jawaban tertulis, Kejaksaan menulis, kasus illegal logging di Riau yang sedang ditangani korps adhyaksa terdiri dari 13 perkara dengan tersangka Didi Harsa, dkk. Didi adalah direktur Utama PT Arara Abadi. PT Arara diduga melakukan penebangan, land clearing, pembuatan kanal (parit) di areal HPTI. Berkas penyidikan dikembalikan lagi oleh Kejaksaan pada penyidik POLRI. Alasannya, PT Arara  telah mengantongi izin untuk perbuatan itu. Lagipula perbuatan tersebut berlandaskan RKT tahun 2005 sd 2007 yang mengacu pada PP 7/1990, bukan PP No34/2002 seperti hasil penyidikan POLRI.

 

Sepanjang Januari sd April 2008 jumlah perkara yang ditangani Kejaksaan sebanyak 406 perkara. Sejumlah kasus dianggap menonjol selain kasus di Riau, antara lain Kasus di Ketapang dengan tersangka AKBP Akhmad Suna'an (13 perkara), Kasus di Kalimantan  tengah (1 perkara) dengan 6 tersangka Kosasih Bin Umri dkk. Perkara masih tahap P-19 dan seluruhnya dikembalikan ke penyidik dengan disertai petunjuk.

 

Permasalahan yang dihadapi Kejaksaan antara lain, masih adanya perdebatan soal  pelelangan kayu sitaan. Sulitnya melelang kayu sitaan sehingga harus dijual 'obral'. Adanya ketentuan dalam UU No. 5/1991 tentang Konservasi Hutan untuk memusnahkan kayu sitaan yang berasal dari hutan lindung. Untuk memusnahkan, Kejaksaan menyayangkan kayu-kayu itu lantaran memiliki kondisi yang masih bagus dan bisa digunakan bagi yang membutuhkan. 

 

Azlaini malah nyaris nampak lebih menguasai persoalan pembabatan hutan di Riau. Menurutnya, PT Arara Abadi yang dibidik Kejaksaan hanyalah anak perusahaan dari grup Indah Kiat. Padahal ada grup lain yang belum dibidik, yakni perusahaan raksasa bubur kertas Riau Andalan Pulp Paper. Dua grup itu sebenarnya bermuara pada satu penguasa modal, taipan Sukanto Tanoto. 

 

Nah, dalam amatan Azlaini, kasus pembabatan hutan sering terjadi bolak-balik perkara dari Kejaksaan ke penyidik selalu menjadi alasan. Ini masalah klasik dan nampak seperti tidak ada niat untuk menyelesaikannya, tandas wanita berkacamata itu. Lagipula, tambahnya,  perbuatan pabrik penggerogot kayu di tanah Riau itu bukan cuma masalah penggalian parit.

 

Di sini dipaparkan kasusnya seakan-akan tidak ada masalah. Malah dirujukkan pada PP No. 7/1990. Padahal kalau melihat RKT-nya tahun 2005 sampai 2007. Ini kan harusnya merujuk pada PP No. 34 Tahun 2002. Apa ini logis? cetusnya. Saya orang sebodoh apapun nggak bisa menerima penjelasan seperti ini.

 

Menegaskan koleganya dari satu fraksi, pimpinan sidang Mulfachri Harahap menyahut. Masalah illegal logging ini sudah menjadi masalah akut dengan segala persoalan yang sama tiap waktu.  Mulfachri mengatakan, karena sudah menjadi komitmen sejak lama, ini kita sudah pada kesimpulan menilai kinerja Kejaksaan.

 

Panda Nababan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ikut menyahut. Dia coba membuka lembaran lama yang pernah diteken bersama antara Kejaksaan dengan DPR setahun yang lalu. Ini setahun yang lalu. Pak Hendarman dengan bersemangat berjanji mau serius menangani kasus illegal logging. Setahun lalu di ruangan ini dengan kami juga, tandasnya sambil mengangkat tangan mengibas-kibaskan kesimpulan Rapat dengan Kejaksaan setahun lalu.

 

Dalam rapat pada 28 Juni 2007 komisi hukum DPR antara lain bersepakat:

1.    Meminta Jaksa Agung dalam kasus illegal logging untuk meningkatkan koordinasi dengan Kepolisian, Departemen Kehutanan, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Kehutanan, melaksanakan tugas dan fungsinya  masing-masing dalam kerangka integrated justice system, guna menyelesaikan secara tuntas perkara illegal logging sesuai hukum yang berlaku.

2.    Meminta Jaksa Agung dalam menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi untuk meningkatkan koordinasi dengan BPK, BPKP, dan PPATK dalam kerangka  integrated justice system.

3.    Mendesak Jaksa Agung agar mengusut tuntas kasus eks BPPN/PT PPA yang berindikasi korupsi yang menimbulkan kerugian mencapai triliunan rupiah.

 

Mantan jurnalis ini dengan lantang menagih janji Hendarman. Waktu itu, Pak Hendarman nampak percaya diri, semangat sekali membahas illegal logging ini. Sekarang ini sudah setahun masih saja begini, cetusnya sembari membenturkan bundelan kertas itu ke atas meja. Menurutnya, illegal logging termasuk kejahatan luar biasa yang mesti diprioritaskan. Setahun lalu, kita  pernah berbicara pula di ruangan ini, mencoba untuk sebisa mungkin mengkaitkan illegal logging itu dengan korupsi, Panda mengingatkan.

 

Panda mencontohkan dalam kasus yang menimpa Bupati Pelalawan. Sejak lama kami mengharap pada Kejaksaan. Alasannya selalu sama. Bukti kurang, izin bupatilah, apalah. Begitu diambil KPK, beres itu. Disidangkan, barang buktinya jelas. Kenapa Kejaksaan nggak bisa yang seperti ini. Ini simpel kok! seloroh Panda.

 

Menjawab bombardir ini, Hendarman mengatakan, bolak-baliknya perkara acapkali disebabkan pemeriksaan penyidik terhadap ahli tidak mendalam. Untuk kasus illegal logging, ujarnya, Kejaksaan Agung mempunyai konstruksi hukum yang spesifik. Ini belajar dari pengalaman kasus Adelin Lis yang bebas lantaran didasarkan keterangan ahli dari Departemen Kehutanan semata. Ahli itu tidak dilakukan pemeriksaan secara mendalam, ujarnya.

 

Penyidik kepolisian, lanjutnya, lebih sering memeriksa ahli independen di luar Departemen Kehutanan semacam akademisi dari Bogor atau Surabaya. Ahli-ahli berdomisili jauh itu dimintai keterangan terkait kerusakan hutan di daerah luar Jawa. Padahal dalam hemat Hendarman, ahli  dari Departemen Kehutanan lebih layak. Yang mengetahui (hutan, red) itu rusak atau tidak, kan mereka. Siapa yang lebih bisa memberi keterangan rusak tidaknya hutan kalau bukan orang Kehutanan, terangnya.

 

Menyambung Hendarman, Abdul Hakim Ritonga malah  beralasan penanganan illegal logging berkaitan erat dengan perekonomian warga setempat. Penyitaan kayu, ujarnya, dikeluhkan oleh perusahaan karena telah mengancam nasib perekonomian perusahaan. Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) itu mengatakan, penyitaan barang bukti kayu, mengancam pabrik-pabrik pemakai bahan baku kayu jadi lesu dan stagnan. Dampak dari kelesuan ini secara tak langsung bisa menimbulkan keresahan pada masyarakat sekitar.

 

Hendarman juga tidak memungkiri jika kasus illegal logging ini sangat dekat dengan korupsi. Kejaksaan bisa pula menerapkan dakwaan berlapis untuk itu. Namun dari perkara yang ditangani, sepanjang perusahaan pemakai kayu hutan itu telah melengkapi legalitas pembabatan hutan, Kejaksaan tak bisa berbuat banyak. Kelengkapan itu antara lain telah membayar dana reboisasi (DN), Profesi Sumberdaya Hutan (PSDH), dan memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

 

Alasan Tak Logis

Alasan persoalan yang dikemukakan itu buru-buru digugat Azlaini. Langkah Kejaksaan menurutnya selama ini malah sering tidak bisa ditebak. Misal membuat ketentuan pemeriksaan atas berkas perkara dari penyidik harus dilakukan di Kejaksaan. Ini menimbulkan keluhan dari PPNS. Terkait ahli, Azlaini justru setuju dengan Kepolisian. Sebaiknya ahli yang dimintai keterangan bukan dari kehutanan. Ahli sebaiknya yang independenlah. Jangan kehutanan, sarannya.

 

Azlaini juga tidak bisa menerima alasan Ritonga tentang alasan terjadinya penyurutan produktivitas ekonomi akibat penyitaan bahan mentah kayu.  Di Riau, tidak ada perusahaan yang menjadi stagnan gara-gara penegakan hukum illegal logging. Kalau tingkat produktivitasnya menurun jelas.

 

Dalam catatan Azlaini, kebutuhan bahan baku untuk pabrik Pulp dan Paper di Riau sekitar 14 juta m2/tahun. Sementara ketersediaan bahan dari hutan di sana hanya 8juta m2/tahun. Wajar kalau penegakan hukum illegal logging itu menurunkan produktifitas mereka, tuturnya. Sekarang kan yang terjadi kemampuan produksi perusahaan itu sudah melebihi ketersediaan bahan baku. Kita ini sedang mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan perijinan itu kembali."

 

Tags: