DPR Diusulkan Cukup Menyetujui CHA Usulan KY
Berita

DPR Diusulkan Cukup Menyetujui CHA Usulan KY

Keterlibatan DPR memilih CHA yang diusulkan KY ditujukan agar masyarakat tahu figur CHA.

ASH
Bacaan 2 Menit
DPR Diusulkan Cukup Menyetujui CHA Usulan KY
Hukumonline

Wacana dihapuskannya kewenangan DPR dalam memilih calon hakim agung (CHA) terus bergulir. Kali ini disuarakan seorang hakim agung, Syamsul Ma’arif. Dia mengatakan peran DPR dalam memilih CHA melalui uji kepatutan dan kelayakan dinilai lebih banyak pertimbangan politis ketimbang pertimbangan kualitas.

“Saya setuju dengan mereka yang meminta membatalkan ketentuan kewenangan memilih DPR dalam seleksi hakim agung, sehingga otomatis menghapus formasi 3 banding 1,” kata Syamsul di Gedung MA Jakarta, Jumat (17/5). 

Dia menegaskan DPR tak selayaknya diberi wewenang melakukan proses pemilihan CHA. DPR cukup menyetujui atau menolak saja setiap CHA yang diusulkan KY, seperti proses pemilihan Kapolri. Sebab, proses seleksi sudah dilakukan KY untuk mengukur kualitas dan integritas profesi

“Proses di DPR seperti mengulang-ulang saja. Dapat dikatakan, itu mereduksi peran KY kalau ada proses pemilihan di DPR. Tetapi, politik hukum kita sudah menetapkan adanya keterlibatan lembaga legislatif dalam proses seleksi hakim agung,” kata mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini.

Dia mengakui keterlibatan lembaga legislatif dalam seleksi CHA tak hanya berlaku di Indonesia. Di banyak negara seleksi pemilihan hakim agung juga melibatkan lembaga legislatif.   

Namun, kelemahan dari sistem persetujuan ini ketika CHA yang diusulkan KY tidak disetujui berarti KY harus kembali melakukan seleksi yang baru. “Ini akan menjadi masalah baru, tetapi ketika DPR menolak harus ada alasan yang sangat kuat. Saya yakin kalau sistem ini dipakai, DPR akan mikir seribu kali untuk menolak karena prosesnya akan menjadi panjang.”

Meski begitu, dia menyarankan perlu ada kajian komprehensif dan mendalam terkait kelebihan dan kelemahan dari sistem persetujuan dan pemilihan seleksi hakim agung ini. “Saya usulkan ada kajian plus minusnya seperti apa? karena ini akan mengubah undang-undang.”

Ditambahkan Syamsul, kalaupun revisi undang-undang yang disepakati itu, DPR tetap punya wewenang uji kelayakan, hal itu sah-sah saja asalkan dengan satu kajian yang komprehensif. Kajian ini sebaiknya dilakukan perguruan tinggi agar lebih obyektif. “Jika di kemudian hari akan dihapuskan melalui proses uji materi di MK, itu persoalan lain,” katanya.

Terpisah, Ketua Komisi III DPR I Gede Pasek Suardika mempersilahkan jika persoalan mekanisme persetujuan dan pemilihan CHA oleh DPR dilakukan kajian terlebih dahulu. “Silahkan saja dikaji,” kata Pasek.

Dia mengingatkan seleksi hakim agung di Belanda melibatkan parlemen, meski sistemnya tidak seperti di Indonesia. “Kalau di Belanda sifatnya meminta persetujuan saja,” kata Pasek.

Menurutnya, keterlibatan DPR dalam memilih CHA yang diusulkan KY ditujukan agar masyarakat mengetahui figur CHA secara terbuka. “Sehingga tidak masuk ruang hampa tanpa partisipasi masyarakat,” katanya.

Untuk diketahui, aturan kewenangan DPR untuk memilih CHA itu tengah dipersoalkan sejumlah LSM dan beberapa CHA yang pernah gagal seleksi di DPR. Mereka memohon pengujian Pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY yang mengatur kewenangan itu.

Menurut mereka, makna “pemilihan” dalam pasal-pasal itu tidak sejalan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang rumusannya berbunyi ‘DPR memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan KY.’

Keberadaan pasal-pasal dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional para pemohon untuk menjadi hakim agung. Alasannya, sudah jelas dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan kalau kewenangan DPR hanya sebatas menyetujui, bukan memilih hakim agung. Karenanya, mereka meminta MK menafsirkan makna memilih sebagai menyetujui sesuai tafsir Pasal 24A ayat (3) UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait