DPR Dituding Ingin ‘Bajak’ Yudikatif
Utama

DPR Dituding Ingin ‘Bajak’ Yudikatif

Hakim kontroversial adalah buah dari DPR.

ALI
Bacaan 2 Menit
Acara Dialog Hukum KHN di Jakarta. Foto: ALI
Acara Dialog Hukum KHN di Jakarta. Foto: ALI

Wacana seleksi ulang hakim agung secara periodik yang terlontar dalam rapat Panja Revisi UU Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu menimbulkan pro kontra. Ada yang masih bertanya apa maksud wacana itu, ada juga yang secara tegas menolaknya.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai wacana seleksi ulang hakim agung adalah upaya ‘pembajakan’ lembaga yudikatif. Dia mencurigai wacana seleksi ulang hakim agung adalah bentuk bargaining (tawar menawar) para anggota Komisi III yang sebagian besar berlatar belakang praktisi hukum dengan para hakim agung.

Emerson mengatakan bila anggota DPR ingin menyeleksi ulang hakim agung setiap lima tahun dengan alasan saat ini banyak hakim agung yang membuat putusan kontroversial, maka ia menyarankan para anggota DPR untuk introspeksi diri.

“Kalau kita cermati lima tahun terakhir. Hakim kontroversial itu buah dari DPR. Selama ini metodenya tak jelas. Mereka tak menggali secara dalam orang-orang yang mendaftar,” ujarnya dalam diskusi di Komisi Hukum Nasional (KHN), Rabu (18/9).

Emerson mengatakan DPR – khususnya Komisi III yang membidangi masalah hukum – tak mempunyai metode dan mekanisme fit and proper test yang baik untuk menghasilkan hakim agung jempolan. Ia berharap ke depan seleksi hakim agung cukup diserahkan ke Komisi Yudisial (KY).

Emerson berpendapat seharusnya DPR tak perlu lagi mempunyai kewenangan menyeleksi hakim agung sama sekali. “Saya rasa ke depan cukup di KY saja, tetapi dengan catatan agar KY membuat mekanisme yang lebih ketat lagi dari yang ada sekarang,” ujarnya.

Tidak Semua Bajingan
Anggota Komisi III Syarifuddin Sudding mengatakan para aktivis seharusnya tak berpikiran negatif. “Kalau selalu berpikiran yang ngga-ngga, ya beginilah republik ini. Tak ada itu niat untuk bargaining. Ini murni usulan saya untuk perbaikan sistem peradilan kita,” ujarnya.

“Anggota DPR memang ada yang tak baik, tapi jangan anggap kami semua ini bajingan. Yang baik masih ada,” tambahnya.

Politisi Partai Hanura ini mengakui DPR kerap ‘kecele’ ketika melakukan fit and proper test para calon hakim agung. Ketika diuji, para calon kelihatan sangat baik. “Mereka terlihat seperti malaikat. Namun, ada calon yang setelah dua bulan di fit and proper test, diangkat menjadi hakim agung, lalu ketahuan memalsukan putusan di MA,” ungkapnya.

Menurut Sudding, salah satu sebab para hakim agung ‘bertingkah’ ketika sudah duduk di MA karena itu merupakan posisi puncak kariernya. Berbeda dengan para hakim PN dan PT yang masih melanjutkan kariernya, sedangkan hakim agung dianggap sudah selesai.

“Mereka akan sampai pensiun di MA. Mereka sudah keenakan di sana, mau membuat putusan kontroversial selalu berlindung di balik kebebasan atau independensi hakim. Ini jangan sampai dibiarkan tanpa kontrol,” jelas Sudding lagi.

Karenanya, lanjut Sudding, para hakim agung ini harus diuji kembali dengan melihat putusan-putusan yang dikeluarkannya. Putusan itu lalu dibuka ke publik dan dinilai oleh DPR. “Kita buka putusannya selama lima tahun. Biar masyarakat tahu,” ujarnya.

Libatkan Universitas
Anggota KHN Frans Hendra Winata mengaku setuju dengan fit and proper test ulang para hakim agung ini asalkan caranya dilakukan dengan baik. “Saya setuju, tapi caranya bagaimana? Bentuknya bagaimana? Saya cenderung menggunakan cara yang universal dengan anotasi putusan pengadilan,” ujarnya.

Dengan cara ini, lanjut Frans, DPR harus melibatkan universitas-universitas yang dapat dipercaya untuk menganotasi dan meneliti putusan-putusan itu. Di situlah, kedudukan para hakim agung itu dikaji ulang. “Saya tak setuju dengan fit and proper test secara terbuka. Para hakim agung itu akan turun martabatnya,” ujar Frans.

Frans bahkan berpendapat sistem ini bisa dilakukan setiap saat. “Setiap ada putusan yang kontroversial, segera bentuk tim kecil untuk melakukan anotasi. Lalu, DPR menentukan apakah hakim agung yang bersangkutan layak berada di situ lagi atau tidak,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait