DPR Dinilai Tak Serius Bahas RAPBN
Berita

DPR Dinilai Tak Serius Bahas RAPBN

Banyak anggota DPR tidak menghadiri sidang pembahasan anggaran.

FNH
Bacaan 2 Menit
DPR Dinilai Tak Serius Bahas RAPBN
Hukumonline

Para wakil rakyat di DPR dinilai tak serius membahas Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2014. Indikasinya terlihat dari peserta sidang atau rapat yang hanya dihadiri oleh Dewan yang sama, rapat tidak dilakukan serius karena banyak Dewan yang bergantian keluar masuk ruang rapat. Tanda tangan di akhir sidang penuh padahal diawal dan pertengahan sidang sepi serta anggota Dewan kerap titip tanda tangan ke staf ahli.

Setidaknya begitulah hasil pemantauan awal yang dilakukan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap proses persidangan dengan agenda membahas RAPBN 2014. Hasil pemantauan FITRA terhadap 93 sidang anggaran di Badan Anggaran dan Komisi-Komisi DPR sepanjang 16 Agustus hingga 12 September 2013, menunjukkan rata-rata kehadiran anggota DPR dalam sidang membahas RAPBN 2014 hanya sebesar 35 persen.

“DPR terkesan tidak serius untuk  membahas RAPBN 2014,” kata Koordinator FITRA, Ucok Sky Khadafi dalam jumpa pers di Komplek Senayan DPR Jakarta, Selasa (24/9).

Ditegaskan Ucok, pemantauan ini dilakukan bertujuan untuk memperbaiki DPR agar lebih berkualitas dan semakin baik ke depan. Beberapa sidang pembahasan RAPBN, lanjutnya, dilakukan secara tertutup. Ucok mempertanyakan hal tersebut karena pembahasan RAPBN harusnya bersifat terbuka.

Selama pemantauan yang dilakukan oleh FITRA, jelasnya, ditemukan 20 sidang yang dilakukan secara tertutup. Padahal, mandat konstitusi menjelaskan pembahasan anggaran dilaksanakan secara terbuka. Akibatnya, sidang berpotensi inkonstitusional dan dapat digugat secara hukum melalui judicial review ke Mahkamah Konsitusi (MK).

Selain itu, selama persidangan berlangsung, sebagian besar Dewan hanya mendengarkan presentasi dari pemerintah, materi pembahasan sangat umum tetapi tidak mengarah pada perbaikan program serta minimnya tanggapan dari para anggota DPR. Padahal selaku badan yang mempunyai wewenang untuk menyetujui anggaran dalam RAPBN, DPR harusnya lebih proaktif dalam menanggapi RAPBN yang sudah disusun pemerintah.

Ucok juga menyayangkan sikap DPR yang hingga saat ini tidak berupaya untuk membuat RAPBN tandingan. “Pertanyaannya, kenapa hingga saat ini DPR tidak pernah membuat RAPBN tandingan dari yang disajikan oleh pemerintah?,” ungkapnya.

Tetapi, temuan ini belum bersifat final. FITRA masih akan melanjutkan pantauan pembahasan RAPBN hingga nanti disahkan oleh DPR.

FITRA meminta pimpinan dan Badan Kehormatan (BK) DPR untuk memberikan sanksi tegas bagi anggota DPR yang tidak hadir dalam sidang pembahasan anggaran dengan mempublikasikan nama-nama anggota DPR yang tidak hadir dan meminta fraksi-fraksi di DPR untuk membangun strategi agar APBN 2014 benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat.

Selain itu DPR diharapkan dapat menyusun RAPBN tandingan untuk mengimbangi usulan pemerintah yang cenderung berlandaskan tupoksi birokrat, bukan untuk kepentingan rakyat. Contohnya, untuk kendaraan dinas 2014 menghabisakan anggaran sebesar Rp509 miliar untuk 3.794 unit kendaraan. Untuk tahun 2013 anggaran kendaraan dinas menelan biaya Rp2,57 triliun untuk 18.502 unit.

FITRA juga merekomendasikan dibentuknya Parlementary Budget Office untuk menyokong data dan pengetauan anggota DPR dalam pembahasan anggaran. “Kebanyakan Dewan juga tidak paham terhadap RAPBN,” tutur Ucok.

Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis mengatakan penilaian sebaiknya tidak hanya ditujukan kepada DPR saja. Pasalnya, DPR selaku pihak yang memiliki wewenang penganggaran hanya menerima angka-angka yang tercantum di RAPBN sesuai yang telah disusun oleh pemerintah. “Jangan hanya melakukan pemantauan terhadap DPR, tapi lakukan juga ke pemerintah selaku pihak yang menyusun anggaran. Biar fair,” kata Harry.

Harry juga menilai, penilaian keseriusan Dewan dalam membahas RAPBN melalui kehadiran dan daftar absensi terlalu dangkal. Yang terpenting, lanjutnya, ketidakhadiran tidak membuat hak suara Dewan hilang. Bahkan, ketidakhadiran Dewan dalam sebuah sidang juga bisa diartikan sebagai sebuah sikap politik.

“Jangan yang dilihat kulitnya saja, tapi lihat substansinya. Anggota yang absennya sempurna tapi tidak tahu apa-apa dan cuma duduk di dalam, apakah lebih baik daripada anggota DPR yang kritis tapi absensinya tidak sempurna?,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait