DPR Diminta Tunda Pembahasan RUU Krusial di Masa Darurat Kesehatan
Berita

DPR Diminta Tunda Pembahasan RUU Krusial di Masa Darurat Kesehatan

Terutama RKUHP, RUU Mahkamah Konstitusi, RUU ASN, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Cipta Kerja.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Pandemi Covid-19 yang semakin meluas nampaknya tak menyurutkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU). Namun, di masa Darurat Kesehatan Masyarakat yang baru ditetapkan Presiden Joko Widodo, DPR diminta menunda pembahasan sejumlah RUU krusial yang masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020 hingga dicabutnya masa darurat kesehatan dan kondisi kembali normal. Desakan itu datang dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

 

Anggota Koalisi, Erwin Natosmal Oemar menyayangkan langkah DPR yang bakal memasukkan sejumlah RUU krusial untuk dibahas di masa darurat kesehatan. Padahal, ada hal yang jauh yang lebih penting guna membantu mengatasi penyebaran wabah virus corona yang terus menyebar ke sejumlah wilayah Indonesia.

 

“Berdasarkan agenda rapat paripurna pada Kamis 2 April ini ternyata tak hanya membahas APBN, tetapi bakal membahas sejumlah RUU yang masih kontroversial,” ujar Erwin kepada Hukumonline, Kamis (2/4/2020). Baca Juga: DPR Diminta Fokus Bantu Tangani Covid-19

 

Sesuai agenda rapat paripurna, DPR bakal menentukan status pembahasan atas Revisi UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU; Revisi UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN); RKUHP; Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

 

Bahkan, RUU Cipta Kerja yang selama ini menuai penolakan di masyarakat. Kemudian dibahas pula Rancangan Peraturan Tatib DPR dan Rancangan Peraturan DPR tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia ini mengakui prinsipnya tak ada larangan bagi anggota dewan berkumpul melaksanakan tugasnya sepanjang untuk kepentingan publik dengan tetap memperhatikan protokol pencegahan penyebarana wabah virus corona. Misalnya, fokus pada pembahasan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

 

“Termasuk pembahasan perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020,” kata dia.

 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengakui sebagai wakil rakyat yang sah, DPR memiliki kewenangan membahas sejumlah RUU ataupun peraturan internal. Namun demikian, pembahasan sejumlah RUU krusial yang menjadi polemik di masyarakat dalam status darurat kesehatan menjadi tindakan yang tidak patut. Misalnya seperti, RKUHP, RUU Cipta Kerja, RUU ASN, hingga RUU Pemasyarakatan.

 

Sebagai catatan, RKUHP dan RUU Pemasyarakatan di periode sebelumnya sempat ditunda pengesahannya. Sebab, dalam sejumlah materi muatan RUU masih bermasalah yang dapat memunculkan persoalan di masyarakat. “Ini bisa mengamputasi aspirasi masyarakat dan tindakan yang elitis yang tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas,” kata dia.

 

Terlebih, kata Julius, draf revisi Tatib DPR masih terdapat persoalan terkait isu keamanan dan representasi keputusan dengan mekanisme online. “Bagaimana dengan jaminan apabila keputusan atau persetujuan yang diberikan DPR melalui server yang tidak bisa dijamin keamanan dan integritas datanya? Apakah mekanisme ini transparan dan akuntabel?”  

 

Peneliti Hukum dan Hak Asasi Manusia Setara Institute Ikhsan Yosari mengatakan dalam menghindari adanya kepentingan jangka pendek anggota dewan di parlemen diminta agar tidak terburu-buru membahas sejumlah RUU. Sebab, isu yang masih menjadi perhatian semua kalangan adalah pandemi Covid-19.

 

Atas dasar itu, Koalisi meminta DPR agar memperhatikan beberapa poin. Pertama, DPR membahas poin-poin yang relevan dengan kondisi darurat kesehatan saat ini. Seperti membahas Perppu 1 Tahun 2020; Pembahasan RUU Perubahan APBN; serta RUU lainnya yang relevan dengan penanganan Covid-19. Namun menghentikan pembahasan sejenak terhadap RUU yang dianggap masih menuai polemik di tengah masyarakat.

 

“Tapi sementara menghentikan pembahasan dan pengesahan semua RUU kontroversial, seperti RUU Mahkamah Konstitusi, RUU ASN, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Cipta Kerja,” tegasnya.

 

DPR menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan sejumlah RUU usul inisitif DPR. Termasuk melanjutkan pembahasan sejumlah RUU yang sempat tertunda pengambilan keputusan di masa DPR periode 2014-2019. Seperti RKUHP, revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

 

Terpisah, Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsudin mengatakan Pimpinan DPR membacakan Surat Presiden terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis (2/4). "Ya (Rapat Paripurna akan membacakan Surpres terkait RUU Cipatker), red," kata Aziz di Jakarta, Kamis.

 

Dia mengatakan, pembacaan Surpres tersebut sesuai dengan tugas Pimpinan DPR yang diatur dalam Pasal 32 ayat 1 huruf (e) Peraturan DPR Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib. Dalam Pasal 32 ayat (1) huruf e disebutkan "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, pimpinan DPR membacakan surat masuk.”

 

RUU carry over

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan Baleg sudah memutuskan peraturan tentang pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang mekanisme pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang carry over atau dilanjutkan kembali pembahasannya. Ada empat RUU yang masuk carry over yaitu RUU KUHP; RUU Pemasyarakatan; RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba); dan RUU Bea Materai.

 

"RUU carry over adalah RUU yang dibahas pada periode lalu dan disepakati untuk dilanjutkan pembahasannya oleh DPR periode sekarang," kata Achmad Baidowi atau Awiek di Jakarta, Kamis.

 

Awiek menjelaskan RUU carry over itu sudah diputuskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 yang dibahas secara tripartit yaitu Baleg DPR, DPD, dan Menkumham. "Aturan teknisnya diatur dalam peraturan DPR," ujarnya.

 

Baleg DPR juga mengesahkan peraturan DPR tentang tata tertib (tatib) yang di dalamnya mengatur ketentuan mengenai kemungkinan rapat virtual dalam keadaan tertentu. Menurutnya, keadaan tertentu seperti keadaan darurat, kegentingan yang memaksa, keadaan bahaya, dan keadaan bencana.

 

Menurutnya, aturan mengenai rapat virtual itu hanya bersifat (sementara, red) dalam keadaan tertentu seperti saat ini pandemi Covid-19. Apabila kondisi sudah normal, maka kembali pada pengaturan awal. "Seperti rapat-rapat yang dilaksanakan pada masa sidang ini mayoritas dilakukan secara virtual, sehingga membutuhkan aturan hukum," katanya.

Tags:

Berita Terkait