DPR Beri ‘Bola Panas’ Revisi UU KPK ke Pemerintah
Berita

DPR Beri ‘Bola Panas’ Revisi UU KPK ke Pemerintah

Pimpinan dewan akan berkirim surat ke presiden.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (tengah). Foto: CR19
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (tengah). Foto: CR19

Revisi Undang-Undang (RUU) No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bola liar diantara DPR dengan pemerintah. Berulang kali DPR dan pemerintah hendak melakukan revisi, penolakan kerap terjadi dari kalangan masyarakat sipil dan KPK. RUU KPK menjadi ‘barang’ sensitif bagi kalangan pegiat antikorupsi ketika akan direvisi.

Tak mau disalahkan akibat  pengambilalihan RUU KPK dari hak inisiatif pemerintah menjadi hak inisiatif DPR lantaran dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2015, parlemen melayangkan sepucuk surat kepada Presiden Joko Widodo. Intinya, DPR meminta agar presiden melakukan konsultasi terkait dengan sikap pemerintah terhadap RUU KPK.

“Atas dasar itu lah pimpinan dewan hari ini (kemarin) akan kirim surat kepada presiden untuk minta waktu konsultasi soal tiga hal. Pertama, ketiadaan jaksa dalam calon paket pimpinan KPK. Kedua, hasil audit kinerja BPK. Ketiga, tentang masa depan revisi ini. Jadi jangan begitu kita mulai berproses tiba-tiba kita balik badan,” ujar Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah di Gedung DPR, Kamis (8/10).

Fahri berpandangan agar kasus perseteruan antara kepolisian dengan KPK tidak berulang di era kepemimpinan KPK mendatang, maka Baleg tidak melangkah jauh mengusulkan revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas 2015. Semestinya, pemerintah memberikan sikap tegas terkait mau tidaknya melakukan revisi UU KPK. Bila Presiden Jokowi tidak mengirim perwakilannya untuk melakukan pembahasan revisi, maka tidak akan terjadi perubahan UU KPK.

“Jangan dianggap ini nafsunya kita, karena problem ini di dalam pemerintahan. Sekarang siapa yang berhentikan pimpinan KPK? Presiden. Yang mentersangkakan pimpinan KPK siapa? lembaga di bawah presiden. Yang membuat Perppu siapa? Presiden. Yang usulkan pembahasan awal siapa? Pemerintah. Kenapa kemudian DPR yang jadi persoalan,” ujarnya.

Menurutnya, draf RUU KPK mestinya tidak disebarkan terlebih dahulu, termasuk mengatur masa aktif KPK 12 tahun ke depan. Hal pertama yang perlu dikedepankan terlebih dahulu adalah sikap ketegasan pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi UU KPK.

“Makanya kita harus clear, jangan dulu ngomong 12 tahun. Problemnya sepakat dulu ada tidak masalah? Kalau ada masalah ya ayo revisi,” imbuh polisi PKS itu.

Wakil ketua DPR lainnya, Agus Hermanto, berpandangan usulan RUU KPK belum final. Sebab, usulan tersebut diperlukan mendapat persetujuan dari pihak pemerintah yang diwakili Presiden Joko Widodo. Lembaga yang dipimpinnya melalui Baleg tidak terburu-buru memasukan Prolegnas 20015. Apalagi tahun 2015 hanya tersisa kurang lebih tiga bulan.

Politisi Partai Demokrat itu mengatakan, melakukan revisi sebuah UU bukanlah persoalan mudah. Revisi UU KPK perlu proses yang panjang. Apalagi, RUU KPK terbilang sensitif. Itu sebabnya, butuh kehati-hatian dalam rangka melakukan proses revisi. Terpenting, isi dari revisi UU KPK mesti penguatan, bukan sebaliknya pelemahan sebagaimana yang tersebar drafnya di kalangan wartawan.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid berpandangan, DPR telah melakukan revisi draf UU KPK adalah keliru. Menurutnya, revisi UU KPK bukanlah inisiatif DPR, namun masih berbentuk usulan dari beberapa fraksi. Terkait dengan batasan masa aktif KPK 12 tahun sejak UU KPK hasil revisi diundangkan tidak dapat dibenarkan, ia menilai lembaga ad hoc tak ada batasan waktu.

“Seandainya KPK itu ad hoc bagaimana mungkina bisa batasannya 12 tahun. Apa ada jaminan kondisinya 12 tahun itu masih ada ad hoc? Apa setelah 12 tahun Polri dan Kejaksaan sudah mampu menangani tipikor,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait