DPR Awasi Hakim Bisa Merusak Sistem Hukum
RUU MA:

DPR Awasi Hakim Bisa Merusak Sistem Hukum

Kewenangan pengawasan terhadap hakim seharusnya dijalankan Komisi Yudisial.

ASh
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M Hatta Ali, kritik materi RUU MA yang berikan kewenangan DPR awasi putusan-putusan MA. Foto: Sgp
Ketua MA M Hatta Ali, kritik materi RUU MA yang berikan kewenangan DPR awasi putusan-putusan MA. Foto: Sgp

Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (MA) yang akan mengubah Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 mendapat kritikan, terutama materi yang memberi kewenangan DPR untuk mengawasi putusan-putusan MA. Kritikan  itu dilontarkan oleh Ketua MA M. Hatta Ali usai menandatangani memorandum of understanding (MoU) Pengarusutamaan Gender.

“Sebagian materi RUU MA jelas membatasi independensi hakim yang akan merusak sistim hukum. Kalau ada yang tidak puas dengan putusan hakim, kan ada upaya hukum, kalau ada lembaga lain yang mengawasi, independensi hakim terganggu,” kata M Hatta Ali di gedung MA, Jum’at (27/4).

Sebagaimana diketahui, dalam RUU MA selain memuat sanksi pidana bagi hakim yang salah memutus perkara, ada sejumlah ketentuan lain yang dinilai mengancam independensi hakim. Misalnya, ada kewenangan DPR untuk mengawasi putusan MA yang termuat dalam pasal 94 RUU MA.

Adanya larangan bagi hakim agung tingkat kasasi membuat putusan yang melanggar undang-undang, menimbulkan keonaran, kerusakan dan kerusuhan, membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, dan larangan mengubah secara sepihak SKB Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim seperti termuat dalam pasal 97.

Hatta mengingatkan independensi hakim tidak boleh diganggu oleh kekuasaan manapun. Jika independensi hakim bisa diintervensi (kekuasaan lain) justru akan menimbulkan rasa ketakutan bagi para hakim dan kecenderungan hakim memutus perkara dengan cara yang aman.  

“Ini sangat berbahaya, kalau dilanggar bisa dibayangkan bagaimana rusaknya sistem hukum kita. Ini mendorong hakim memutus perkara dengan cara safety saja. Sebenarnya ini tugas kita semua untuk menjaga independensi,” kata Hatta Ali berharap.

Hatta juga mempertanyakan definisi “keonaran” memutus dalam RUU itu. “Kita nggak bisa memprediksi keonaran seperti apa, ukuran apa? kan boleh saja para pihak membawa massa saat bersidang. Ini bentuk intervensi yang bisa menimbulkan hakim takut memutus perkara, efeknya hakim memutus hanya mencari safety-nyasaja,” tegasnya.        

Terlebih, ada klausul hakim bisa dipidana jika salah memutus perkara. Hal ini akan berpengaruh terhadap regenerasi hakim. “Apalagi hakim bisa dipidana. Tidak boleh dong. Selain hakim takut mana ada lagi orang yang mau menjadi hakim,” katanya.

Hatta berharap agar materi RUU MA bisa menjaga sistem hukum yang baik dengan menjaga prinsip independensi (kemandirian) hakim. “Kami ingin RUU itu menjadi UU yang menjaga sistem hukum yang baik. Independensi hakim itu harus dijaga dengan baik,” harapnya. “Ini bukan berarti hakim itu kebal hukum, kalau dia salah tetap akan kita tindak.”   

Hal senada dikatakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hasril Hertanto. Ia menilai sebagian materi RUU MA terutama soal pengawasan DPR atas putusan hakim merupakan upaya intervensi kekuasaan kehakiman.

“Apapun alasannya, hakim yang menjalankan tugas (memutus perkara) tidak boleh diancam dengan pemidanaan karena prosedur teknis yudisial sudah ada aturannya yakni mekanisme upaya hukum (banding, kasasi, PK, red),” kata Hasril saat dihubungi hukumonline.

Karena itu, ia menyarankan agar RUU MA ini ditarik dan DPR jangan mempunyai pikiran dan niat untuk mengintervensi kekuasaan kehakiman. “Kalau mau melakukan pengawasan terhadap hakim, berikan saja kewenangan itu kepada Komisi Yudisial (KY),” sarannya.  

Sebelumnya, Ketua KY Eman Suparman juga menentang segala hal yang berkaitan dengan pembatasan independensi kekuasaan kehakiman. “Kemandirian hakim tidak boleh dibatasi oleh siapapun dan pasal-pasal apapun. Kalau revisi UU MA itu untuk membatasi kemandirian hakim, saya tidak setuju,” kata Eman beberapa waktu lalu di kantor Komisi Yudisial.


“Sepertinya RUU MA itu nyata-nyata mengganggu kemandirian, itu nggak benar. Apalagi memuat sanksi pidana bagi hakim yang salah memutus. Kalau hakim bisa dipidana, siapa yang mau jadi hakim? Nantinya, nggak ada orang yang mau jadi hakim,” kata Eman. “Soal larangan hakim memutus yang menimbulkan keonaran, saya tak tahu definisi ‘keonaran’ seperti apa? Tanyakan dulu ke DPR.”

Tags: