DPR Akui Penyelesaian RUU Prolegnas Tidak Optimal
Berita

DPR Akui Penyelesaian RUU Prolegnas Tidak Optimal

Salah satu solusinya, perlu pengetatan masuknya sebuah RUU oleh pengusul. Misalnya, keharusan adanya naskah akademik dan draf RUU menjadi syarat mutlak sebuah RUU masuk dalam Prolegnas jangka panjang.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES

Puluhan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)  prioritas seringkali tak dapat diselesaikan di penghujung tahun. DPR pun kerap mendapat cibiran “nafsu besar, tenaga kurang”. Sebab, target pembahasan puluhan RUU yang ditetapkan sebagai Prolegnas tahunan oleh DPR dan pemerintah tidak mampu diselesaikan tepat waktu.  

 

Wakil Ketua Komisi III DPR, Mulfachri Harahap mengatakan DPR dan pemerintah semestinya realistis ketika menyusun dan menetapkan daftar RUU Prolegnas. Sebab, sebanyak 50 RUU Prolegnas prioritas 2018 misalnya, dimungkinkan tak dapat dirampungkan dalam tahun ini. Selain faktor kondisi tahun politik yang mengharuskan anggota dewan kembali ke daerah pemilihannya, berakibat kerja legislasi tidak optimal.

 

Mulfachri berharap semestinya target Prolegnas prioritas tahunan cukup sebanyak 25 atau paling banyak 30 RUU. Baginya, target Prolegnas prioritas 2018 sebanyak 50 terlampau tinggi. Ekspektasi DPR menyelesaikan RUU tanpa mempertimbangkan kondisi dan kemampuan. “Terlalu banyak RUU Prolegnas akan menjadi catatan buruk bila tidak selesai,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Baca Juga: Tok! 50 RUU Prolegnas 2018 Resmi Ditetapkan, Ini Daftarnya

 

Dia juga berharap dalam upaya memperbaiki penyusunan daftar Prolegnas, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan Badan Legislasi (Baleg) DPR mesti duduk bersama agar penyusunan Prolegnas mesti disesuaikan pada kemampuan dan kondis. “Kita harus realistis dalam menyusun RUU Prolegnas. Kalau 50 RUU terlalu banyak, harus 25, itu saja sudah tinggi,” kata dia.

 

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani punya pandangan yang sama. RUU yang sedang ditangani Komisi III seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pun belum juga rampung. Selain muatan materi yang cukup berat, juga pembahasan RKUHP ini mesti dilakukan dengan hati-hati.

 

Begitu pula dengan Revisi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang bakal rampung. Menurutnya, dua RUU tersebut menjadi gambaran betapa beratnya pembahasan RUU. Anggota Komisi yang mendapatkan mandat membahas sebuah RUU pun belum sepenuhnya maksimal.

 

Karena itu, menurutnya DPR sering dinilai “nafsu besar tenaga kurang” hal yang wajar lantaran tak mampu menyelesaikan target RUU Prolegnas. “Miris memang bila mendapat cibiran itu. Namun, ini fakta yang tak dapat dikesampingkan. Bagaimana mungkin banyak me-listing sejumlah RUU, disentuh juga tidak, apalagi dibahas,” ujarnya.

 

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpendapat perlu pengetatan terhadap masuknya sebuah RUU oleh pengusul. Misalnya, keharusan adanya naskah akademik dan draf RUU menjadi syarat mutlak sebuah RUU masuk dalam Prolegnas jangka panjang. “Ini tak hanya berlaku di komisi-komisi di DPR, pemerintah pun mesti disiplin membuat naskah akademik dan draf RUU sebelum mengusulkan masuk dalam Prolegnas.”

 

Menkumham Yasonna H Laoly menyadari banyaknya RUU Prolegnas Prioritas di tahun-tahun  sebelumnya yang tidak rampung. “Cibiran nafsu besar tenaga kurang di bidang legislasi memang tak dapat dipungkiri. Karena itu, pengetatan terhadap masuknya RUU dalam daftar Prolegnas harus dituangkan dalam aturan,” harapnya.

 

Menurutnya, persyaratan keharusan adanya naskah akademik dan draf RUU tidak hanya dalam bentuk kesepakatan, tetapi juga mesti dituangkan dalam aturan tertulis. Sehingga, ketika DPR dan atau pemerintah ketika mengusulkan sebuah RUU mesti sudah siap dengan kedua persyaratan tersebut. “Saya setuju duduk bersama, pemerintah dan DPR,” katanya.

 

Harus komitmen

Terpisah, peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius  menilai memasuki tahun keempat masa kerja DPR periode 2014-2019, nampak bombastis dengan rencana-rencana legislasi dalam jumlah yang berlebihan. Sementara target Prolegnas prioritas tahunan tak pernah rampung seluruhnya.

 

“Mereka selalu gagal membuktikan hasil yang dicapai mendekati target legislasi yang direncanakan,” kata dia.

 

Berdasarkan catatan Formappi, di tahun pertama kerja DPR periode 2014-2019 hanya mampu merampungkan 3 RUU. Sementara di tahun kedua hanya 10 RUU. Kemudian di tahun ketiga terdapat 4 RUU Prioritas yang mampu disahkan menjadi UU. Sehingga, total RUU yang dihasilkan DPR periode 2014-2019 hanya 17 RUU yang disahkan menjadi UU. Baca Juga: 18 UU Terbit Sepanjang 2017, Ini Daftarnya

 

Karena itu, pihaknya mendorong agar DPR serius dan komitmen ketika membahas setiap RUU yang sudah ditetapkan Prolegnas prioritas di tahun-tahun berikutnya. “Mereka dituntut  fokus dan konsentrasi penuh dengan kerja-kerja legislasi,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait