DPR Akan Rumuskan Makna “Persetujuan” CHA
Seleksi Hakim Agung:

DPR Akan Rumuskan Makna “Persetujuan” CHA

Selama ini kewenangan DPR memilih hakim agung ini terlalu riskan disusupi permainan politik.

ASH
Bacaan 2 Menit
DPR Akan Rumuskan Makna “Persetujuan” CHA
Hukumonline
DPR menghormati putusan MK yang mengubah kewenangan DPR ‘memilih’ menjadi ‘persetujuan’ calon hakim agung (CHA) dalam putusan pengujian  UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA)  dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY). Sebab, putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Untuk itu, DPR akan merumuskan bagaimana makna “persetujuan” seperti diamanatkan putusan MK itu.

“Putusan itu kan bersifat final and binding ya, tinggal bagaimana kita merumuskan makna ‘persetujuan’ itu,” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR, Al Muzzammil Yusuf saat dihubungi hukumonline, Jum'at (10/1).

Dia mengatakan makna “persetujuan” dalam seleksi CHA itu mesti dirumuskan secara jelas. Jika mengacu pada putusan MK makna persetujuan itu, DPR dapat menerima atau menolak setiap CHA yang diajukan KY. Namun, bisa saja makna “persetujuan” bersifat mengikat, artinya suka atau tidak suka DPR harus menyetujui CHA yang diusulkan KY.

“Ketika KY mengajukan CHA kalau DPR tidak setuju, CHA yang diusulkan batal menjadi hakim agung atau jika DPR setuju ya tidak masalah. Selama ini kita belum punya presedent seperti itu, sehingga Komisi III DPR akan merumuskan makna ‘persetujuan’ itu seperti apa, apa ukurannya? Bedanya, mungkin tidak seperti fit and propers test,” kata Muzammil.

Saat ditanya apakah model persetujuannya seperti pemilihan Kapolri dan Panglima TNI, Muzzammil mengatakan bisa saja mirip seperti itu, tetapi pemilihan Kapolri juga menggelar uji kepatutan dan kelayakan. “Model persetujuan Kapolri dan Panglima ditanya-tanya (wawancara) juga, hanya bedanya tidak mewajibkan formula 3 banding 1 dalam seleksi CHA,” kata politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini. “Ini yang akan kita rumuskan setelah reses pada tanggal 15 Januari 2014”.

Terkait tiga calon hakim agung yang sudah diajukan KY pada 17 Desember lalu, Muzzammil menegaskan putusan MK itu berlaku bagi ketiganya. “Ya putusan itu sudah bisa diberlakukan bagi mereka”.

Ringankan beban KY
Komisioner Komisi Yudisial Bidang Rekrutmen Hakim, Taufiqurrohman Syahuri menegaskan putusan MK akan sangat membantu pemenuhan kekurangan hakim agung yang selama ini dialami MA. “Kita merasakan betul sulitnya memenuhi 3 kali lipat jumlah hakim agung MA. Kita sudah berkali-kali tak bisa memenuhi kuota itu, KY punya utang 5 hakim agung karena selama ini kita kirim ngirim kurang terus,” kata Taufiq.

Selain itu, putusan MK ini dapat meringankan beban KY dalam menjaring CHA yang berkualitas dan berintegritas baik. Sebab, selama ini CHA terbaik pilihan KY hanya dipilih beberapa saja karena terikat dengan ketentuan 3 banding 1 itu. Makanya, dengan putusan ini, DPR hanya menyetujui atau tidak setiap CHA yang diusulkan KY sesuai kebutuhan yang diminta MA.

“Ini sangat meringankan beban KY, lagipula putusan ini sesuai konstitusi dimana KY memilih dan DPR hanya menyetujui CHA yang diusulkan KY,” tegasnya.

Dia juga mengingatkan putusan MK ini juga membawa akibat hukum bagi DPR wajib untuk memproses 3 CHA yang sudah diajukan KY beberapa waktu lalu dengan model persetujuan. Sebab, putusan itu berlaku sejak diucapkan. “Harapan kami, ketiganya disetujui semua”.

Hal senada disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur. Dia menilai putusan ini sangat bagus sambil berharap dengan putusan MK itu kesulitan KY mendapatkan hakim agung yang baik dapat teratasi. “Mudah-mudahan kesulitan mendapatkan hakim bisa diatasi,” kata Ridwan.

Sedari awal, MA sudah menyatakan kewenangan DPR dalam proses seleksi hakim agung memang perlu dikaji ulang. Menurut dia, kewenangan DPR dalam proses seleksi hakim agung yang selama ini berjalan tak sejalan dengan amanat UUD 1945. Seharusnya, sesuai amanat UUD 1945, DPR hanya memberikan persetujuan, bukan memilih dengan menyelenggarakan fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan).

“Apa pemahaman ‘dengan persetujuan’ itu dengan menggelar fit and proper test? Sedangkan di KY sudah banyak melakukan tahapan seleksi. Faktanya, DPR juga menjalankan tes yang muatannya sama dengan KY. Jadi, putusan ini sudah tepat," papar Ridwan.

Dia juga sepakat jika MK membatalkan aturan kuota tiga calon untuk satu posisi hakim agung yang lowong. Sebab, aturan kuota ini terbukti kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.  Faktanya, calon-calon hakim agung (karier) yang memenuhi kualifikasi pernah mengikuti fit and proper test di DPR, tetapi gagal, enggan kembali mendaftarkan seleksi CHA pada periode berikutnya.

“Mereka jadi patah arang. Memang ada juga calon sampai tiga kali ikut seleksi CHA, tetapi sebagian besar mereka tidak mau daftar lagi,” ungkapnya.

Dia menilai selama ini kewenangan DPR memilih hakim agung ini terlalu riskan disusupi permainan politik. Terlebih, jabatan hakim agung bukanlah jabatan eksekutif yang umumnya memerlukan persetujuan lembaga legislatif. “Jabatan hakim agung kan independen yang masuk ranah yudikatif, sehingga tidak perlu lagi uji kepatutan dan kelayakan di DPR,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait