DPR: Kenaikan Iuran JKN Mesti Diimbangi Peningkatan Pelayanan
Berita

DPR: Kenaikan Iuran JKN Mesti Diimbangi Peningkatan Pelayanan

DPR juga meminta tidak boleh ada lagi pembedaan pelayanan antara pasien mandiri dan penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RZK
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RZK

Kenaikan iuran JKN-KIS mulai 1 Januari 2020 menuntut pengelolaan program yang diluncurkan sejak 1 Januari 2014 itu terus memberi pelayanan yang lebih baik kepada peserta. Hal ini agar masyarakat sebagai peserta tidak merasa kecewa dengan kenaikan iuran JKN yang rata-rata kenaikannya hamper 100 persen.  

 

Anggota komisi IX DPR Abidin Fikri mengingatkan kepada pihak terkait seperti RS, tenaga kesehatan, dan Kementerian Kesehatan untuk bersiap menghadapi potensi peserta JKN-KIS yang turun kelas perawatan dan peserta nonaktif karena tidak mampu membayar akibat kenaikan iuran.

 

Abidin meminta agar kenaikan iuran itu harus dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada peserta JKN-KIS. Selain itu, tidak boleh lagi pembedaan perlakuan antara pasien mandiri dan penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan.

 

“Tidak boleh ada lagi membedakan antara pasien mandiri dan PBI. Kalau pelayanan sudah ditingkatkan, masyarakat juga tidak akan merasa kecewa dengan kenaikan iuran tersebut, harus dibarengi dengan peningkatan pelayanan. Masyarakat akan merasa puas dengan apa yang sudah mereka bayar agar seluruh rakyat Indonesia bisa mengakses kesehatan secara layak,” kata Abidin sebagaimana dilansir laman dpr.go.id. Baca Juga: DJSN Ingatkan Dampak Kenaikan Iuran JKN

 

Dia menandaskan pendataan peserta JKN-KIS masih menghadapi masalah. Mengacu audit BPKP ada 10 juta jiwa yang datanya bermasalah. Dalam kunjungannya ke Yogyakarta, Abidin mendapat informasi dari Dinas Sosial Yogyakarta yang menjelaskan sudah dilakukan pendataan ulang seperti di kabupaten Bantul ada 25 ribu jiwa bakal masuk dalam PBI dan kabupaten Kulon Progo sekitar 78 ribu jiwa.

 

Politisi PDIP itu mengatakan data ini bersifat dinamis dan terus bergerak oleh karenanya pendataan harus diutamakan. “Melihat akan adanya kenaikan iuran BPJS, perlu ada peningkatan standar pelayanan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam hal ini Puskesmas, klinik, rumah sakit dan lain sebagainya,” pinta legislator dapil Jawa Timur IX itu.

 

Anggota Komisi IX DPR lain, Rahmad Handoyo mengatakan pendataan kepesertaan BPJS masih banyak yang tumpang tindih. Ini menjadi tugas pemerintah untuk terus membenahi pendataan. Jika tidak diselesaikan, persoalan data ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat karena ada masyarakat yang harusnya berhak, tapi tidak mendapatkan haknya.

 

Rahmad memaparkan salah satu tujuan kunjungan Komisi IX DPR ke Yogyakarta yakni menggali informasi mengenai dampak yang ditimbulkan akibat kenaikan iuran JKN-KIS. Karena itu, yang jelas kenaikan iuran ini harus diimbangi dengan peningkatan pelayanan. “Saya kira layak ketika iuran sudah naik, kemudian keinginan warga untuk menuntut hak (pelayanan) yang lebih baik dibandingkan sebelumnya,” kata Rahmad.

 

Sebelumnya, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan pihaknya bersama dengan asosiasi perhimpunan RS seluruh Indonesia (Persi) dan asosiasi RS swasta Indonesia (Arssi) berkomitmen untuk membenahi dan meningkatkan pelayanan untuk peserta JKN-KIS. “Memang ada tuntutan di masyarakat mengingat ada rasionalisasi iuran, maka harus ada perbaikan pelayanan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (20/11/2019).

 

Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purjanto berharap BPJS Kesehatan menjalankan kerja sama secara terkoordinir dengan badan dan lembaga penjamin lainnya. Hal ini diperlukan agar RS fokus memberikan layanan kepada pasien dan tidak tersita perhatiannya soal administrasi penjaminan.

 

Menurutnya pelayanan yang diberikan RS harus efektif yakni tepat memberikan pelayanan berdasarkan data medis. “Pelayanan di RS yang diutamakan efektifitas, bukan efisien karena ini menyangkut keselamatan manusia,” ujarnya.

 

Kuntjoro menegaskan RS tidak boleh memilih pasien atau bahkan menolak pasien gawat darurat. Dalam keadaan darurat, RS bukan mitra BPJS Kesehatan harus menerima pasien tersebut sampai kondisinya stabil, setelah itu pasien dirujuk ke RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Jika ada RS yang menolak pasien, masyarakat diimbau untuk melapor kepada Persi.

Tags:

Berita Terkait