DPD Kritisi Aturan Penyelenggaraan Haji dan Umrah dalam RUU Cipta Kerja
Berita

DPD Kritisi Aturan Penyelenggaraan Haji dan Umrah dalam RUU Cipta Kerja

Baleg DPR belum masuk pembahasan ketentuan dalam UU 8/2019 yang terdampak dari RUU Cipta Kerja. Nantinya, masukan berbagai elemen masyarakat termasuk DPD menjadi pertimbangan dalam pembahasan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Evi, UU 8/2019 merupakan beleid baru yang belum lama disahkan DPR dan diundangkan pemerintah. Namun melalui RUU Cipta Kerja, justru kenapa aturan baru tentang penyelenggaraan haji dan umrah malah “diobrak-abrik” sendiri. Apalagi, Evi menilai ketentuan UU 8/2019 telah cukup mengatur norma PIHK dan PPIU secara baik. Karena itu, seharusnya tak perlu lagi masuk pembahasan RUU Cipta Kerja.

 

“Kalaupun rumusna norma UU 8/2019 ingin diperbaiki, semestinya penerapan UU ini diberi waktu minimal 3 tahun untuk dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat PIHK dan PPIU. Setelah itu dievaluasi dan diperbaiki,” kata dia.

 

Harus diluruskan

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan alat kelengkapan dewan yang dipimpinnya belum membahas terkait UU 8/2019 ini. Sebab, pekan depan Baleg baru berencana menggelar rapat dengar pendapat umum membahas Bab I, ketentuan umum, konsideran serta maksud dan tujuan lahirnya RUU Cipta Kerja.

 

Namun demikian, masukan dari berbagai elemen masyarakat termasuk DPD yang sudah menyerap masukan bakal menjadi pertimbangan dalam pembahasan. Yang pasti, kata Willy, Baleg membuka diri dan mengedepankan cara-cara dialogis. Masyarakat pun dapat memberi masukan dan kritikan atas draf RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah.

 

Bagi Willy, RUU Cipta Kerja memang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Termasuk berbagai aturan dari UU sektoral yang terdampak. Bahkan RUU Cipta Kerja dipandang bernarasi investasi sama halnya dengan eksploitasi, serta berpihak pada kepentingan kelompok (pengusaha) semata. Namun, menurutnya tak semuanya salah dalam draf RUU Cipta Kerja.

 

“Ini yang harus diluruskan. Niat baik pemerintah tak cukup memberi kemudahan perizinan dan investasi. Karena dia harus mengikuti cara-cara yang baik dengan melibatkan banyak kelompok kepentingan,” ujarnya.

 

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu berpendapat persoalan draf RUU Cipta Kerja tak hanya rumusan norma, tapi juga kepentingan egosektoral antarkementerian/lembaga sangat kental. Seperti kepentingan agraris dengan konservasi dan amdal, serta lingkungan hidup dan kehutanan. Begitu pula perbedaan pandangan atau kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Seperti membatalkan peraturan daerah menggunakan Peraturan Presiden (Perpres).

 

“Ini saatnya DPR benar-benar menghadapi pekerjaan yang rumit sekali. Karena ini dianggap sebuah formula untuk keluar dari krisis,” kata anggota Komisi I DPR itu.

Tags:

Berita Terkait