DPD Kaji RUU Daerah Perbatasan
Aktual

DPD Kaji RUU Daerah Perbatasan

RED
Bacaan 2 Menit
DPD Kaji RUU Daerah Perbatasan
Hukumonline

DPD melalui Komite I tengah mengkaji urgensi dan relevansi RUU Daerah Perbatasan sebagai usul inisiatif. Terkait hal itu, DPD menggelar focus group discussion dengan maksud meminta pendapat dan tanggapan stakeholders seperti kementerian/lembaga, TNI, Polri, dan pemerintah provinsi yang memiliki daerah perbatasan.

Dalam siaran pers resmi DPD, Ketua Komite I Alirman Sori mengatakan RUU Daerah Perbatasan memiliki urgensi mengingat keterbelakangan, ketertinggalan, serta keterisoliran daerah perbatasan di wilayah Indonesia.

“Selalu dan setiap saat daerah perbatasan meneriakkan keterbelakangan, ketertinggalan, dan keterisoliran mereka. Jika nanti undang-undang ini lahir, benar-benar bisa memenuhi kebutuhan daerah perbatasan,” ujarnya di Ruangan GBHN Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/6).

Sebagai catatan, wilayah negara Indonesia berbatasan dengan banyak negara lain, baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Indonesia dengan Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste berlokasi di tiga pulau, empat provinsi, dan 15 kabupaten/kota. Sedangkan batas laut wilayah Indonesia dengan India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini berlokasi di 92 pulau terluar, termasuk pulau-pulau kecil.

Ketua Tim Kerja RUU Daerah Perbatasan, Jacob Jack Ospara mengatakan daerah perbatasan memiliki karakteristik berbeda-beda, karena kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya negara tetangga juga beraneka ragam. Selain itu, menurut Jacob, daerah perbatasan juga rawan akan masuknya pengaruh asing lewat ideologi, sosial, budaya, ekonomi, dan kejahatan lintas negara.

Sebagai contoh, Jacob menyebut kondisi WNI di daerah perbatasan Malaysia yang ironisnya tidak hafal lagu Indonesia Raya. WNI di sana justru hafal lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku. Di bidang pendidikan, anak-anak sekolah di sana memakai kurikulum Malaysia, bukan Indonesia.

“Oleh karena itu, kita membutuhkan sebuah undang-undang yang khusus mengatur pengelolaan daerah perbatasan. Kita mengetahui sejumlah undang-undang mengatur daerah perbatasan, tapi pengelolaannya tidak. Sifatnya sektoral dan tumpang tindih. Bukannya dipacu untuk maju, daerah perbatasan malah menjadi ajang rebutan kepentingan masing-masing kementerian/lembaga.”

Tags: