Dorong Capres Tiga Periode, Upaya Menabrak Konstitusi
Terbaru

Dorong Capres Tiga Periode, Upaya Menabrak Konstitusi

Seperti menampar wajah presiden.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Meski Pemilu 2024 masih 3 tahun mendatang, namun masing-masing “mesin politik” sudah mulai panas. Salah satunya, ada segelintir pihak yang mendorong calon tertentu agar maju menjadi calon presiden (Cappres) untuk periode ketiga. Padahal, jelas-jelas konstitusi mengatur batasan jabatan presiden dan wakil presiden hanya dua periode. Dengan menempatkan jabatan presiden menjadi tiga periode dinilai tindakan inkonstitusional.

“Jadi, kalau ada yang ngotot mencalonkan kembali seseorang seperti Presiden Joko Widodo yang sudah menjabat dua periode, itu tidak sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Manuver seperti itu bisa dinilai inkonstitusional,” ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid melalui keterangan tertulisnya, Minggu (20/6/2021). (Baca Juga: Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode Disebut ‘Kematian Demokrasi’)

Menurutnya, Pasal 7 UUD 1945 tegas mengatur masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Dengan begitu, masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode. Dia menilai segelintir orang yang meresmikan sekretariat nasional (Seknas) mengusung Jokowi menjadi Capres periode ketiga, perilaku inskonstitusional, bertentangan dengan spirit konstitusi.

Selain itu, tindakan ini seolah mendorong Presiden Jokowi mengabaikan konstitusi karena menghadap-hadapkan konsistensi Jokowi atas pernyataannya sendiri yang tegas dan berulang kali dirinya tidak setuju jabatan presiden tiga periode. Bahkan Jokowi juga menegaskan pihak yang mengusulkan presiden tiga periode sebagai kelompok yang hanya mencari muka, atau bahkan menjerumuskan dan menampar muka dirinya.

Dia mengingatkan pihak yang berhak mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres adalah partai politik. Hal ini diatur Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apalagi, hingga saat ini tak ada satupun partai politik yang mengusulkan perubahan UUD 1945 tentang masa jabatan presiden.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengimbau agar semua pihak menjalankan praktik demokrasi sesuai konstitusi termasuk soal masa jabatan presiden, dua periode. Dia berharap semua pihak berkomitmen secara tegak lurus pada aturan konstitusi. Terpenting, Presiden Jokowi tak didorong untuk sengaja menabrak konstitusi

“Kalau mereka tetap ngotot dengan manuver yang tak sesuai konstitusi, dan tetap dibiarkan juga, berarti mereka dibiarkan menampar muka Presiden dan menjerumuskan Presiden sebagaimana sebelumnya sudah diingatkan oleh Presiden Jokowi,” tegasnya.

Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Ahmad Basarah menilai gagasan tiga periode bagi capres incumbent tidaklah dibenarkan. Pihaknya, menolak keras gagasan tersebut sekalipun kadernya dari partai tempatnya bernaung. Bahkan Presiden Jokowi pun telah menegaskan tak berpikir menjadi presiden di periode ketiga.

“Gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode ini jelas jauh dari pandangan dan sikap politik PDIP,” imbuhnya dalam sebuah diskusi daring.

Basarah menilai pihak-pihak yang mendorong dan memunculkan wacana tiga periode bagi Jokowi merupakan orang yang mencari muka. Presiden Jokowi sedari awal telah menolak untuk menjadi presiden tiga periode. “Presiden Jokowi menganggap orang-orang yang memunculkan gagasan 3 periode, mau cari muka, mau nampar muka saya dan ingin menjerumuskan saya,” ujarnya menirukan ucapan Presiden Jokowi.

Lebih lanjut anggota Komisi III DPR itu berpendapat bila terdapat amandemen konstitusi sekalipun hanya sebatas menetapkan Garis-Garis Haluan Negara (GBHN) sebagai panduan dalam pembangunan nasional. Dengan begitu, amandemen dilakukan terbatas tanpa melebar ke persoalan perubahan masa jabatan presiden.

“Kalau ada agenda itu secara tegas PDIP menarik diri dari agenda tersebut. Apalagi misalkan gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode. Ini jelas jauh dari pandangan dan sikap politik baik di MPR dan PDIP,” katanya.

Dosen hukum Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ahmad Supardji pun angkat bicara. Menurutnya, narasi wacana jabatan presiden tiga periode sangat tidak tepat. Terlebih di saat Indonesia sedang “berperang” melawan Covid-19. Meski kelompok masyarakat yang mengusung jabatan Presiden Jokowi untuk periode ketiga sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin konstitusi, namun tidak kemudian menabrak aturan sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945.

Dia menegaskan konstitusi mengamanatkan masa jabatan presiden dibatasu dua periode. Sedangkan gagasan presiden tiga periode belumlah memiliki legitimasi hukum positif. “Makanya menjadi wajar masyarakat menolak gagasan tiga periode jabatan presiden. Saya berharap publik semakin melek dengan konstitusi,” katanya.

Tangkap penggagas?

Soal dorongan pihak aparat penegak hukum menangkap penggagas wacana masa jabatan presiden tiga periode yang menjadi trending topik di sosial media menunjukan ketidaksetujuan publik atas gagasan tersebut. Menurutnya, perlu pendalaman oleh aparat penegak hukum dapat atau tidak menangkap pihak yang mengkampanyekan masa jabatan presiden tiga periode.

Dia menyarankan dapat didalami unsur Pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terkait penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran. Pasal 14 ayat (1) menyebutkan, Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”

Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun”.

Kemudian Pasal 15 menyebutkan, “Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun”.

“Karena konstitusi menyebutkan jabatan presiden dan wapres hanya bisa dua periode. Tetapi kok memberitakan untuk dicalonkan lagi,” katanya.

Dia meminta narasi tiga periode masa jabatan presiden agar segera dihentikan. Menurutnya, akademisi dan peneliti atau aktivis politik lebih baik bernarasi sesuai dengan konstitusi dan teori politik maupun bernegara dengan baik dan benar. “Akademisi bertugas meluruskan narasi-narasi yang bertentangan dengan konstitusi. Bukan justru mengatasnamakan rakyat untuk melanggarnya.”

Sebelumnya, dilansir sejumlah media, peneliti sekaligus Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando menyebutkan, berdasarkan hasil survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sebagian besar massa pemilih PDIP mendukung Jokowi maju di Pilpres 2024 yakni mencapai 66 persen. “Begitu pun massa pemilih partai nonparlemen mendukung Jokowi maju tiga periode (60 persen),” ujarnya.

Survei nasional SMRC tersebut dilakukan pada 21-28 Mei 2021. Penelitian melalui wawancara tatap muka ini melibatkan 1.072 responden yang dipilih melalui metode penarikan sampel random bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error penelitian ± 3,05 persen.

Tags:

Berita Terkait