Donatur ‘Hamba Allah’ Bisa Dijerat PPATK
Berita

Donatur ‘Hamba Allah’ Bisa Dijerat PPATK

PPATK akan mengoptimalkan Pasal 67 UU TPPU.

INU
Bacaan 2 Menit
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso (kiri). Foto: Sgp
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso (kiri). Foto: Sgp

Di tahun 2013, PPATK berupaya mengoptimalkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). PPATK berencana memperkuat penerapan beberapa pasal dalam UU TPPU.

Hati-hati! Mungkin itulah pesan yang ingin disampaikan Kepala PPATK M Yusuf dan jajarannya untuk mereka yang mau mencuci hasil kejahatannya. Karena, dengan optimalisasi UU TPPU, ruang gerak untuk melakukan pencucian uang semakin terbatas.

Yusuf mengatakan, PPATK akan memberdayakan UU TPPU pada 2013 ini seperti penerapan Pasal 67. Terkait perampasan aset yang tidak diketahui asal-usulnya.

Menurut Yusuf, PPATK bersama Mahkamah Agung, telah membuat hukum acara untuk merampas aset yang tidak jelas asal-usulnya. Hukum acara ini dibuat untuk mempersenjatai para penegak hukum dalam merampas aset serupa itu.

Kepala PPATK mencontohkan, kerap ada donasi seseorang atau lembaga yang tidak menyebutkan asal-usul pemberi donasi secara jelas. “Tapi menggunakan nama dengan nama ‘hamba Allah’ ,” ujarnya.

Bila ada donasi semacam ini, maka penyedia jasa keuangan (PJK) harus melaporkan ke PPATK dan penegak hukum. Langkah selanjutnya, PPATK berdasarkan kewenangan pada Pasal 44 huruf i, meminta izin PJK untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana.

Ketentuan mengenai penghentian sementara dijabarkan mulai dari Pasal 65 hingga dua pasal selanjutnya. Pasal 67 ayat (1) menyatakan apabila dalam 20 hari setelah pembekuan transaksi, tidak ada pihak ketiga yang mengajukan keberatan, maka PPATK menyerahkan penanganan aset tersebut pada penyidik untuk dilakukan penyidikan.

Tindakan selanjutnya, diatur dalam Pasal 67 ayat (2). Tertulis, apabila dalam waktu 30 hari penyidik tidak menemukan pelaku tindak pidana, maka penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Selanjutnya, pengadilan negeri memutuskan aset tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.  

Menurut Yusuf, hukum acara yang akan dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 67 ini dibahas bersama sejumlah hakim agung. Diantaranya Komariah EEmong Supardja, Djoko Sarwoko, dan Andi Samsan Nganro. “Beberapa hari akan nada Peraturan MA mengenai ini karena draf sudah di meja Pak Hatta Ali (Ketua MA-red),” ujarnya.

Selain itu, Yusuf menambahkan, PPATK juga akan memperkuat penerapan Pasal 5. Yaitu bagi pihak yang wajib melapor adanya dugaan pencucian uang namun tak melakukan kewajiban itu.

Seperti anak-anak maupun istri yang mendapat harta dari hasil korupsi orang tua atau suami. “Kalau mereka tidak melapor, maka akan kena pidana dengan pasal ini, lantaran UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi tak dapat menjerat mereka,” papar Yusuf.

Menurutnya, hal ini dilakukan karena dinilai lebih adil, bagi mereka yang menikmati hasil korupsi atau tindak pidana seperti diatur Pasal 2. Serta dinilai mempercepat pengembalian aset hasil tindak pidana.

Yusuf menambahkan, optimalisasi Pasal 5 juga dimanfaatkan sebagai sarana meningkatkan kepatuhan PJK maupun penyedia barang dan jasa untuk melapor. Dia menambahkan, sekarang ini PJK di sektor pasar modal dinilai kurang patuh untuk melapor. “Menggunakan pasal ini, PJK di pasar modal akan terkena sanksi pidana jika belum berubah,” ujarnya.

Tak hanya menguatkan penerapan pasal, Yusuf mengutarakan, apabila Laporan Hasil Analisa (LHA) PPATK yang sudah diserahkan kepada penegak hukum tapi tidak ditindaklanjuti, maka Ditjen Pajak akan menindaklanjuti. Tujuannya, jika penyidik tak punya cukup bukti, maka aparat pajak dapat menagih kewajiban dari yang bersangkutan. “Prinsip pajak adalah membayar kewajiban pada negara apa yang dimiliki seseorang maupun badan,” tambahnya.

PPATK berharap, peraturan mengenai pembatasan transaksi tunai lahir pada 2013. Meskipun diwarnai perdebatan, Bank Indonesia (BI) akan segera menerbitkan Peraturan BI (PBI) mengenai pembatasan transaksi tunai. “Sekarang draf peraturan itu sudah ada di Kemekumham untuk segera disahkan,” papar Yusuf.

Disepakati, transaksi tunai nantinya maksimal Rp100 juta dan selebihnya transfer. Pembatasan ini penting karena modus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini marak menggunakan transaksi tunai.

Selain itu, pembatasan akan mengurangi ongkos BI untuk mencetak, menyimpan uang yang cukup tinggi. Sekaligus menjadi alat paksa bagi siapa saja agar transparan mengelola keuangan.

Peraturan lain yang ada di Kemenkumham adalah penguatan Ditjen Bea dan Cukai untuk menangani perkara terkait batasan pembawaan uang asing tunai. Karena selama ini DBC hanya memiliki kewenangan di wilayah kepabeanan saja.

Tags: