Dominasi Kepentingan Politik dalam Pemilihan Anggota Komnas HAM
Fokus

Dominasi Kepentingan Politik dalam Pemilihan Anggota Komnas HAM

Di luar dugaan, hasil pemilihan anggota Komnas HAM oleh Komisi II DPR-RI justru menyingkirkan tokoh-tokoh yang selama ini dikenal menggeluti persoalan-persoalan HAM. DPR agaknya telah melupakan prinsip independensi dan pluralisme. Apa jadinya?

AWi/APr
Bacaan 2 Menit
Dominasi Kepentingan Politik dalam Pemilihan Anggota Komnas HAM
Hukumonline

Bahkan, hasil tersebut terkesan lebih mengakomodasi kepentingan anggota Komnas HAM lama dan TNI yang jelas bertentangan dengan Paris Principle. Ini juga memperlihatkan adanya dominasi kepentingan politik ketimbang keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Indonesia.

 

Fit and proper test anggota Komnas HAM memang menjadi fenomena baru, seiring dengan Komnas HAM sendiri yang juga merupakan sebuah fenomena yang menonjol di akhir tahun 90-an. Lembaga seperti ini kala itu akhirnya tumbuh subur di berbagai negara, terutama setelah Konferensi Wina tahun 1993. 

 

Disebut fenomena, karena baru kali inilah anggota Komnas HAM dipilih oleh DPR sesuai dengan UU Nomor 39/1999. Seiring dengan adanya perubahan sosial politik dan hukum di negeri ini, peran DPR menjadi sangat signifikan dalam menentukan calon keanggotaan Komnas HAM ini. Setidaknya, untuk lima tahun ke depan hingga tahun 2007. 

 

Hal ini karena proses seleksi merupakan pintu gerbang untuk menghasilkan Komnas HAM yang mampu bekerja secara efektif dalam melaksanakan mandatnya guna penegakan HAM di Indonesia. Salah satunya lewat kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan, seperti yang termuat dalam Pasal 18 ayat (2)  UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. 

 

Ada satu standar minimum internasional sebenarnya yang patut diacu oleh DPR berkaitan dengan seleksi anggota Komnas HAM tersebut. Bahkan, Komisi HAM PBB telah mengesahkan hal ini yang akhirnya dikenal dengan Paris Principle atau Prinsip Paris. Yakni, suatu kesepahaman yang berisi prinsip-prinsip mengenai status Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 

 

Paris Principle

 

Prinsip Paris dikenal sebagai dokumen internasional yang secara jelas berbicara mengenai Komisi Nasional HAM dan kemudian banyak digunakan sebagai pedoman untuk menilai kinerja sebuah Komisi Nasional HAM di seluruh dunia. Dua prinsip utama yang dianggap penting adalah pluralisme dan independensi. 

 

Kedua prinsip ini merupakan indikator utama untuk melihat apakah Komnas HAM akan bisa berfungsi secara efektif atau tidak. Pluralisme merupakan usaha untuk mencegah adanya kelompok tertentu yang bisa menimbulkan dominasi di dalam tubuh Komnas HAM. 

 

Prinsip Paris menekankan betapa pentingnya pluralisme di dalam tubuh sebuah Lembaga Nasional HAM. Tidak menutup kemungkinan ikut berperannya seorang pejabat pemerintah untuk dapat menjadi anggota Komnas HAM. Akan tetapi, hal ini hanya sebatas sebagai penasehat lembaga.

 

Pluralisme sebenarnya dapat dicapai melalui rekrutmen anggota yang transparan, partisipatif. Terutama, oleh kelompok-kelompok yang secara jelas telah disebutkan dalam Prinsip Paris tersebut. Selain itu, juga dibutuhkan adanya panitia atau penyelenggara seleksi yang netral dan terdiri dari sejumlah individu yang berasal dari berbagai kekuatan masyarakat sipil.

 

Plural dan independen

 

Kriteria calon anggota serta aturan penyelenggara proses seleksi juga harus diatur terlebih dahulu. Salah satu kriteria anggota Komnas HAM yang penting adalah calon bukanlah individu yang pernah terlibat dalam sebuah tindakan atau kegiatan yang melanggar HAM, baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari institusi tertentu.

 

Hal ini sangat penting agar kredibilitas anggota tetap terjaga sebagai individu yang selalu berpihak pada penegakkan HAM. Indikator independensi yang merupakan sikap atau posisi di mana tidak ada pihak yang bisa melakukan intervensi terhadap kegiatan lembaga dalam melaksanakan mandatnya.

 

Namun, independensi ini tidak boleh dilihat sebagai sebuah sikap atau posisi netral. Pasalnya dalam perjuangan menegakan HAM, Komnas HAM justru harus bisa lebih berpihak kepada para korban pelanggaran HAM serta kelompok-kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Tanpa adanya keberpihakan, Komnas HAM hanya akan menjadi sebuah institusi hukum yang memang harus bersikap netral.

 

Dari kedua prinsip utama tersebut, tampak bahwa proses seleksi merupakan pintu gerbang untuk menghasilkan Komnas HAM yang mampu bekerja secara efektif dalam melaksanakan mandatnya. Tanpa adanya proses seleksi yang mampu menghasilkan pluralisme dan independensi, Komnas HAM tidak akan pernah bisa bekerja efektif sesuai dengan persyaratan Prinsip Paris.

 

Sayangnya, kedua prinsip utama ini seperti dilupakan oleh DPR. Itu setidaknya bisa dinilai dari hasil yang telah dikeluarkan oleh rapat pleno Komisi II DPR-RI. Hasil fit and proper test tersebut jelas menunjukkan adanya komposisi keanggotaan yang tidak plural dan independen.

 

Ketidakindependenan ini terlihat mencolok dengan dipilihnya mantan birokrat pemerintah dan para pensiunan TNI/Polri, serta masih direkrutnya beberapa anggota Komnas HAM lama yang selama ini dinilai tidak optimal kerjanya oleh Komisi II DPR-RI sendiri.  Hal ini makin mempertegas penilain tersebut bahwa DPR tidak punya itikad baik secara politik untuk memperbaiki kinerja Komnas HAM.

 

Like and dislike

 

Nama-nama dan Komposisi anggota Komnas HAM baru

 

No.

Nama

Profesi/asal pekerjaan

1.

Habib Chirzin

Ornop

2.

Mohammad Farid

Ornop (hak-hak anak)

3.

Zoemrotin K. Susilo

Ornop (Konsumen)

4.

MM. Billah

Ornop

5.

Mansour Faqih

Dosen (Pendidikan)

6.

M. Said Nisar

Dosen (Hukum)

7.

Hasto Atmojo Surojo

Dosen (Sosiologi)

8.

Rusmiati Suryasaputra

Dosen (Manajemen)

9.

Achmad Ali

Dosen (hukum)

10.

Yuwaldi

Advokat

11.

Abdul Hakim Garuda Nusantara

Advokat

12.

Safroedin Bahar

Pensiunan TNI/Komnas HAM

13.

Samsudin

Pensiunan TNI/Komnas HAM

14.

Taheri Noor

Pensiunan TNI

15.

Koeparmono Irsan

Pensiunan Polri/Komnas HAM

16.

Djoko Soegianto

Pensiunan Hakim/ mantan Ketua Komnas HAM

17.

Soelistyowati Soegondo

Pensiunan PNS/Komnas HAM

18.

Enny Soeprapto

Pensiunan PNS

19.

Amidhan

Ulama

20.

Chandra Setiawan

Ulama/Dosen

21.

Sholahudin Wahid

Politisi

22.

Hasballah M. Saad

Politisi

23.

M. Ashary Thayeb

Wartawan

           

            Sumber: pusat data hukumonline

 

Hasil dan komposisi anggota Komnas HAM baru ini juga cermin dari adanya dominasi kepentingan politik yang lebih besar ketimbang keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Hal ini terjadi karena proses rekrutmen yang sangat tidak transparan, baik mekanisme maupun kriteria yang dibuat oleh Komisi II DPR-RI. Meskipun, pelaksanaan fit and proper test dilakukan secara terbuka.

 

Proses rekrutmen terkesan hanya didasarkan pada like and dislike dari para anggota Dewan yang duduk di Komisi II DPR-RI ini saja. Buktinya, kriteria penilaian tidak memiliki parameter yang jelas dan tidak ada sistem nilai dalam proses fit and proper test ini.

 

Masing-masing anggota Dewan hanya disodorkan nomor dan daftar nama para calon. Dari situ mereka memilih dengan melingkari calon-calon yang mereka kehendaki. Ya, seperti 'bermain-main' karena cukup melingkari saja.

 

Kemudian lembar daftar nama calon itu, mereka kumpulan dalam satu kotak suara untuk dihitung berdasarkan pilihan-pilihan tersebut. Ini sangat jauh berbeda dengan pemilihan hakim agung yang pernah dilakukan Komisi II DPR-RI setahun sebelumnya. Dengam menggunakan metode penilaian yang lebih jelas, metode ini bisa meminimalisir adanya unsur like and dislike tersebut.

 

Impunitas

 

Like and dislike ini akhirnya terbukti, bahwa memang ada dominasi kepetingan politik di balik pemilihan anggota Komnas HAM tersebut. Pasalnya, masih dipertahankannya para mantan birokrat pemerintah, pensiunan TNI/Polri dan para anggota Komnas HAM lama yang selama ini mempunyai rapot jelek. Hal ini dapat menjadi indikasi kuat dominannya kepetingan politik para anggota Dewan tersebut.

 

Jika mendasarkan pada Prinsip Paris, mensyaratkan bahwa anggota Komnas bukanlah individu yang pernah terlibat dalam sebuah tindakan atau kegiatan yang melanggar HAM, baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari institusi tertentu. Jelas, bahwa dipilihnya empat pensiunan TNI/Polri oleh Komisi II DPR-RI itu telah melanggar Prinsip Paris tersebut.

 

Harus diakui, memang masih banyak sekali Komnas HAM di negara-negara lain yang belum memenuhi standar minimal dari Prinsip Paris. Toh, hal ini bukan berarti kemudian menjadi sebuah pembenaran untuk tidak mencapai standar minimal tersebut (lihat tabel perbandingan Komnas HAM di berbagai negara). 

 

Hasil dan komposisi Komisi II DPR-RI itu bahkan mencerminkan kepentingan fraksi-fraksi tersebut untuk tetap mempertahankan impunitas atau kekebalan hukum terhadap institusi TNI/Polri. Hal ini karena secara politik, partai-partai politik tersebut masih sangat tergantung oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi TNI atau Polri.

 

Akibatnya, hasil pemilihan anggota Komnas HAM ini bukan hanya akan menurunkan kredibilitas DPR. Akan tetapi, akan pula berakibat menurunnya kredibitas Komnas HAM, sehingga mengurangi efektifitas kinerjanya. Padahal peran Komnas HAM sangat signifikan dalam proses transisi seperti sekarang ini.

 

Belakangan, Komnas HAM  memang kerap disorot karena kinerjanya yang terus merosot. Bahkan, lembaga donatur internasional pun mengancam akan mengurangi dukungan jika  Komnas HAM tidak berbenah diri dengan mengedepankan independensi dan pluralisme.

 

Dengan 'stok lama' dan dan anggota baru yang dipertanyakan kompetensi dan kredibilitasnya, banyak pihak yang melihat wajah Komnas HAM tidak akan banyak berubah. Ini tantangan bagi anggota baru untuk menangkis berbagai keraguan dari masyarakat.

 

Perbandingan Komnas HAM di berbagai negara

 

Negara

Jumlah

Anggota

Syarat Anggota

Mekanisme pemilihan

India

6

-          Ketua Komisi adalah Kepala Peradilan dari pengadilan tertinggi

-          satu orang anggota pernah bertugas sebagai kepala peradilan dari pengadilan tinggi.

-          satu orang pernah bertugas sebagai jaksa dari pengadilan yagn tertinggi.

-          dua orang anggota dipilih dan ditetapkan dari orang yang punyai pengetahuan atau pengalaman dalam urusan mengenai HAM, Ketua dari Komnas untuk minoritas, Komnas yang bertugas untuk mengatur suku-suku dari komisi nasional untuk wanita dipertimbangkan untuk menjadi anggota komisi.

Ketua dan anggota Komisi diangkat Presiden yang diputuskan setelah mendapatkan rekomendasi dari panitia yang terdiri atas:

1.       Perdana Menteri (Ketua)

2.       Ketua Parlemen (anggota)

3.       Menteri Urusan Rumah Tangga Pemerintah India

4.       Pimpinan oposisi dari Parlemen

5.       Pimpinan oposisi dari Dewan

6.       Wakil Ketua dari Dewan

Canada

Tidak kurang dari 5 dan tidak lebih dari 8

Berkelakuan baik

Ditunjuk oleh Governor in Council atas pertimbangan Senate dan House of Commons

New Zealand

Maksimum 3

Beradsarkan pada pengetahuan, keahlian dan atau pengalaman yang berbeda dalam berbagai bidang sebelum menjadi anggota Komisi

Ditunjuk oleh Gubernur Jendral atas rekomendasi Menteri

Filipina

5

-          Warga negara yang lahir di Filipina

-          Minimum berusia 35 tahun ketika dipilih

-          Bukan kandidat dalam pemilu

-          Sebagian besar adalah anggota dari Bar Association

Ditunjuk oleh presiden untuk masa kerja 7 tahun dan tidak dapat dipilih kembali

Afrika Selatan

5

Tidak jelas

Ditunjuk oleh presiden untuk masa kerja tidak lebih dari 7 tahun

Thailand

11

-          WN Thailand

-          Bukan Anggota Majelis, Dewan, Partai Politik, Anggota pemerintahan lokal, Pejabat pemerintah dan pegawai di pemerintahan

-          Tidak gila dan secara mental mampu untuk menjalankan tugasnya.

-          Apabila pada saat ia diangkat sedang menjabat dalam pemerintahan atau bekerja dalam profesi independen lainnya, maka ia diharuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan/ jabatannya.

Dilakukan oleh panitia independen yang tugasnya mendaftar dan memilihnya dengan suara melebihi 2/3 dari jumlah panitia. Kemudian daftar nama yang terpilih diusulkan pada Dewan dengan persetujuan orang yang direkomendasikan dan dokumen/bukti untuk menunjukkan bahwa orang itu mempunyai kualifikasi. Ketua Dewan mengadakan rapat untuk mengadakan pemilihan di mana orang yang memperoleh suara lebih dari � dari jumlah anggota Dewan.

Fiji

3

1 orang ombudsman

1 orang yang berkualifikasi sebagai hakim

1 orang anggota lain

-          Didasarkan pada pengetahuan dan keahlian serta pengalaman dalam berbagai bidang yang berbeda sebelum menjadi anggota Komisi

-          Ada keragaman karakteristik personal yang mengacu pada Pasal 38 (2) Konstitusi

-          Bukan anggota Senate atau DPR

-          Bukan pejabat daerah

-          Bukan pengurus partai politik

-          Tidak dinyatakan bankrut

-          Tidak diberhentikan dari jabatan publik dibawah Pasal 172 Konstitusi Fiji

 

Ditunjuk oleh President atas rekomnedasi Perdana Menteri

Srilanka

5

-          Dipilih dari orang2 yang memiliki pengetahuan atau pengalaman praktis di bidang hak asasi manusia

-          Harus memperhatikan kelompok minoritas

-          Tidak sedang ditahan atau disidangkan karena masalah moral

-          Tidak sedang memegang jabatan lain yang dapat mengakibatkan konflik sebagai anggota

 

Ditunjuk oleh presiden atas rekomendasi perdana menteri setelah berkonsultasi dengan juru bicara dan pimpinan oposisi

Indonesia

35

-          berpengalaman dalam pemajuan dan pelindungan HAM

-          memiliki pengalaman dalam profesi hukum atau di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif

-          tokoh agama, masyarakat, LSM dan kalangan perguruan tinggi

Dipilih oleh DPR-RI berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan Presiden

Sumber: pusat data Komnas HAM dan hukumonline

 

Tags: