Doktrin Tanggung Jawab Komando Berbeda Di Setiap Negara
Berita

Doktrin Tanggung Jawab Komando Berbeda Di Setiap Negara

Ada yang berpendapat komandan baru bisa dituntut bila prajurit sudah terlebih dahulu terbukti bersalah.

ALI
Bacaan 2 Menit
Doktrin Tanggung Jawab Komando Berbeda Di Setiap Negara
Hukumonline

Dosen Universitas Pertahanan, Natsri Anshari mengatakan doktrin tanggung jawab komando dalam hukum humaniter digunakan hampir semua negara di dunia, tetapi pelaksanaannya berbeda di masing-masing negara. Hal ini disampaikan Natsri dalam peluncuran buku “Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter” karya Guru Besar Hukum Humaniter mendiang Prof Haryomataram di Jakarta, Kamis (17/10).

Natsri menjelaskan konsep tanggung jawab komando –dimana komandan bisa dimintai tanggung jawab bila prajuritnya melakukan kesalahan- memang sudah dianggap sebagi doktrin internasional. “Tapi kalau diteliti, tak ada doktrin yang seragam,” ujarnya.

Lebih lanjut, Natsri merujuk kepada kasus dugaan pelanggaran HAM di Timor-Timur ketika sejumlah aktivis berteriak menuntut pertanggungjawaban komando. “Kalau bicara doktrin tanggung jawab komando sesuai dengan doktrin internasional, yang mana yang dipakai? Standar masyarakat internasional itu yang mana?” tuturnya.

Salah satu perbedaan pendapat yang muncul, lanjutnya, adalah ketika kapan seorang komandan dianggap melakukan tindakan. “Ada yang bilang sebelum dan sesudah kejahatan terjadi. Ada yang bilang tindakan itu hanya setelah kejahatan terjadi,” tuturnya.

Natsri mengatakan perdebatan seputar ‘tanggung jawab komando’ yang lain menyangkut definisi dan ruang lingkupnya. Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa tanggung jawab komando itu adalah kegagalan bertindak yang dimintai pertanggungjawaban (failure to act), dan ada juga yang berpendapat hanya menyangkut sikap diam seorang komandan.

“UU No 26 Tahun 2000 (Pengadilan HAM,-red) itu bukan tentang failure to act, tapi karena komandannya tak mau bertindak,” jelasnya.

Pasal 42 ayat (1) UU itu berbunyi “Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu:

a.         Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat,

b.         Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

c.         Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.”

Natsri menambahkan perdebatannya yang lain adalah apakah seorang komandan bisa dituntut di pengadilan tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana yang dilakukan prajuritnya. Setiap negara juga berbeda memahami konsep ini.

“Di Indonesia, tanggung jawab komando tak bisa dibebankan bila prajurit belum dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah. Makanya, banyak komandan yang lepas di tingkat MA. Sedangkan dalam kasus Yamashita atau Nurnberg, pengadilan berpandangan prajurit tak perlu terbukti bersalah dahulu bila ingin menuntut komandannya,” tuturnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, dalam kasus Timor Timur, Majelis Mahkamah Agung yang diketuai Iskandar Kamil menerima peninjauan kembali yang diajukan oleh Abilio Suarez. Salah satu alasannya adalah karena prajurit yang dipimpin oleh Abilio tidak terbukti melakukan kejahatan.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana pernah berpendapat bahwa adanya pandangan tanggung jawab komando dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM hanya sebatas dua level dari pelaku lapangan. Namun, ia berpendapat bahwa pendapat tersebut hanya sebuah interpretasi.

Menurut Hikmahanto, yang perlu difokuskan adalah apakah unsur-unsur dalam pasal itu terpenuhi. Ia mencatat setidaknya ada tiga unsur, yakni komando yang efektif, komandan mengetahui tindakan, dan komandan mengetahui tetapi tidak melakukan pencegahan apapun.

“Jadi bukan masalah dua tingkat atau dua level, tetapi unsur-unsur itulah yang harus dipenuhi,” tegasnya kala itu.

Tags:

Berita Terkait