Dokter Sebut Penunggang Kuda Doctor Shopping
Pasien vs Dokter:

Dokter Sebut Penunggang Kuda Doctor Shopping

Tergugat menduga penggugat telah konsumsi obat-obatan golongan steroid.

HRS
Bacaan 2 Menit
Dokter Sebut Penunggang Kuda <i>Doctor Shopping</i>
Hukumonline

Zubaidah Jufri, kuasa hukum dokter Guntur Eric dan RS Sahid Sahirman Memorial Hospital, menyebutkan semua gejala penyakit yang disebutkan Adinda Juanita seperti wajah yang membulat dan ditumbuhi bulu, punggung berpunuk, dan lumpuh adalah dalil yang tidak berdasar. Zubaidah balik mengatakan Adinda Juanita seorang doctor shopping.

Pertanyaan ini disampaikan dalam sidang lanjutan gugatan Adinda,Rabu (21/8), terhadap dokter dan rumah sakit tersebut.Kini, giliran tergugat yang menyampaikan jawaban. “Penggugat adalah tipe pasien yang melakukan pengobatan lebih dari satu dokter untuk menangani penyakitnya,” ucap Zubaidah.

Tudingan doctor shopping berangkat dari pengakuan Adinda. Adinda mengaku telah berkonsultasi ke beberapa dokter di berbagai rumah sakit. Apabila pasien telah mendatangi dokter lain dan mengonsumsi obat dari dokter lain, dokter pertama tidak bertanggung jawab atas segala akibat tindakan medis dari dokter lain.

Lebih lagi, semua keluhan tersebut bukan akibat dari tindakan medis dokter Guntur. Keluhan tersebut merupakan efek samping dari pemakaian stereoid jangka panjang. Sebagai seorang atlet dengan riwayat alergi terhadap obat-obatan penghilang nyeri dan inflamasi golongan nonsteroid serta penggugat sering jatuh dan patah tulang, ada kemungkinan Adinda telah mengonsumsi obat-obat kelompok steroid dalam waktu lama.

Sebaliknya, tindakan medis yang dilakukan Guntur telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) Dokter Ahli Bedah Tulang dan Rumah Sakit. Sebagai dokter ahli bedah tulang, Guntur memiliki kewenangan dan kemampuan untuk membaca hasil foto radiologi sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) Peraturan Menteri kesehatan No.2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang dilarang.

Tujuan Guntur membaca hasil pemeriksaan radiologi tanpa menunggu ekspertis dokter ahli radiologi hanya untuk segera mengetahui gangguan organ jantung dan paru-paru yang disebabkan patahan tulang rusuk.

Ternyata dari hasil pemeriksaan tersebut, organ jantung dan paru-paru Adinda sehat. Namun, ada kecurigaan penyempitan ruang syaraf dan pergeseran pada tulang ekor. Guntur menjelaskan secara patut kepada Adinda dan suaminya tentang kondisi kesehatanAdinda. Guntur menjelaskan pula beberapa alternatif pengobatan yang bisa diambil, seperti suntikan dan pengobatan oral.

Dari alternatif pengobatan tersebut, Adinda memilih pengobatan dengan cara suntikan tanpa ada paksaan sama sekali. Penggugat telah memberikan persetujuannya secara lisan dan memahami apa yang dijelaskan Guntur. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Ditambahkan Zubaidah, kliennya memberikan suntikan antinyeri dan antibengkak dengan dosis rendah. Suntikan dilakukan tiga kali dengan jarak 3-4 hari dengan dosis yang menurun. Setiap satu kali suntikan dilakukan di lima tempat, yaitu empat di bagian dada dan satu di tulang ekor.

Pada pengobatan kedua, 17 November 2012, Adinda mengatakan keluhan berupa nyeri dan bengkak yang dirasakannya telah berkurang. Pada saat itu pula, Adinda menanyakan obat tentang obat penguat tulang yang baik karena Adinda sering mengalami patah tulang dengan penyembuhan yang lama. Lagi-lagi, dokter Guntur menyebutkan beberapa obat-obatan yang dapat dikonsumsi setiap hari, bulan, atau satu kali setahun beserta dengan indikasi dari masing-masing obat tersebut, termasuk Aclasta.

Dari seluruh pilihan yang ada, Adinda tertarik memilih Aclasta karena hanya diberikan satu kali setahun. Guntur melalui perawat menelepon pihak rumah sakit menanyakan ketersediaan obat tersebut. Namun, Aclasta tidak tersedia. Meskipun tidak tersedia di Rumah Sakit, Adinda tetap ingin diberikan Aclasta. Sehingga, Guntur membantu Adinda  menghubungi distributor Aclasta. Kesepakatannya, Adindalah yang akan menemui dan membayar obat tersebut ke distributornya langsung.

Akan tetapi, kata Zubaidah, Adinda yang mengingkari janji untuk bertemu dan membeli Aclasta langsung dari distributornya. Sehingga, tudingan Adinda yang menyatakan Guntur menjual Aclasta secara ilegal tidak benar.

Catatan lainnya, Adinda juga memiliki riwayat keguguran spontan dua kali. Kala pengobatan tersebut, Adinda kemungkinan tengah menjalankan terapi hormon. Sayangnya, Guntur tidak mendapatkan informasi secara utuh. Adinda juga mengabaikan anjuran Guntur untuk menyerahkan hasil laboratorium untuk memeriksakan pemeriksaan hormon dan darah.

“Oleh karenanya, Penggugat tidak dapat meminta pertanggung jawaban Tergugat atas akibat yang dialami penggugat,” ucapnya lagi.

Atas hal ini, Zubaidah meminta majelis menghukum Adinda membuat surat permohonan maaf melalui media massa baik cetak maupun elektronik karena telah mencemarkan nama baik tergugat. Permintaan maaf tersebut harus dilakukan selama tiga hari berturut-turut.

Sementara itu, Susi Tan, kuasa hukum Adinda Yuanita, meminta Guntur membuktikan apa yang telah dikatakannya. Apabila tindakan medis yang dilakukannya memang telah sesuai dengan SOP Rumah Sakit dan Dokter Ahli Bedah Tulang tinggal dibuktikan. “Buktikan saja,” tutur Susi usai persidangan.

Terkait dengan permohonan maaf ke media massa, Susi menyebutkan tidak ada pencemaran nama baik. Apa yang dilakukan Adinda adalah melakukan haknya dengan menempuh jalur hukum. Selama yang ditempuh adalah upaya hukum, tidak ada yang namanya pencemaran nama baik. “Kita melakukan upaya hukum dan bukan menyebar-nyebarkan berita ini sembarangan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait