Dokter Ajukan Pailit Anak Usaha Bakrie
Berita

Dokter Ajukan Pailit Anak Usaha Bakrie

Pengembang wanprestasi namun enggan menuruti putusan lembaga penyelesaian sengketa..

HRS
Bacaan 2 Menit
Dokter Ajukan Pailit Anak Usaha Bakrie
Hukumonline

PT Bakrie Swasakti Utama (BSU) terancam pailit. Pengembang Apartemen Taman Rasuna di kawasan superblok Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan tersebut dimohon pailit oleh salah satu pembeli unit apartemen yang berporfesi sebagai dokter, bernama Soetomo.

Permohonan yang didaftarkan Rabu (27/2) tersebut dilakukan Soetomo karena PT BSU telah gagal memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.

Sengketa ini bermula pada 1993. Soetomo tertarik membeli satu unit apartemen yang akan dibangun BSU. Kedua pihak lalu menandatangani Pengikatan Perjanjian Jual Beli atas kepemilikan satuan rumah Taman Rasuna Apartemen No: 05/14/E pada 16 September 1993.

Dalam pengikatan tersebut tercantum bahwa Soetomo membeli satu unit apartemen tipe E seluas 75 meter persegi di menara 5 lantai 14 pada 20 Agustus 1993. Sebagai tanda jadi, Sutomo membayar uang muka sebesar 30 persen, yaitu Rp57.526.924 dari total harga unit senilai Rp191.756.412.

Tertulis pula dalam dokumen itu mengenai penyelesaian sengketa. Para pihak sepakat menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai alternatif penyelesaian sengketa.

Untuk itu, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian tersebut mutlak mengikat para pihak. Namun, rencana tersebut tidak berjalan mulus.

Pada 20 Juni 1997, PT BSU menyatakan batal membangun apartemen tersebut. Pengakuan ini diumumkan dengan mengirimkan surat pemberitahuan mengenai pembatalan pembangunan tower 5 Apartemen Taman Rasuna.

Lantaran wanprestasi, Soetomo segera mengambil langkah hukum. Dengan mengajukan permohonan arbitrase ke BANI pada 15 Desember 1999.

Setahun kemudian, BANI memutuskan sengketa, tepatnya 19 September 2000. Putusan BANI nomor 104/XII/ARB/BANI/1999 berisikan, BSU diharuskan mengembalikan uang muka yang dibayarkan Soetomo sebesar Rp57,52 juta. Plus,  bunga tiga persen per bulan terhitung terhitung sejak pembatalan kontrak tanggal 20 Juni 1997 sampai 15 Desember 1999. Sehingga, BSU harus merogoh kocek untuk membayar kerudian Soetomo sebesar Rp109,301 juta.

BANI juga menghukum BSU membayar Rp500 ribu per hari selama 30 bulan sebagai ganti rugi atas hilangnya penghasilan Soetomo selaku dokter. Dan, BANI mengharuskan BSU mengganti kerugian immaterial senilai Rp200 juta, jasa pengacara sebesar Rp50 juta, dan biaya arbitrase sebesar Rp88.611.474.

BSU pun menempuh upaya hukum membatalkan putusan BANI ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 5 Desember 2000, pengadilan membatalkan putusan BANI No 104/XII/ARB/BANI/1999. Namun, putusan PN Jaksel dimentahkan kembali oleh Mahkamah Agung pada 10 Juli 2001.

BSU pun harus taat dengan putusan MA. Hanya saja, Soetomo masih tidak puas karena baru mendapatkan ganti rugi sebesar Rp366 juta dari kewajiban Rp3.525.647.739. itu jumlah yang belum dibayar BSU hingga Mei 2002 ditambah denda keterlambatan tiga persen.

Rupanya, tanpa sepengetahuan Soetomo, BSU telah mengajukan permohonan upaya penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada 10 Januari 2003 silam. Permohonan itu dikabulkan Pengadilan Niaga Jakarta.

Kembali, Soetomo gusar. Karena saat proses PKPU tak pernah ada kabar sampai kepadanya. Tak ada pemberitahuan atau diundang pengurus untuk mengikuti rapat kreditor.

Karena tak pernah memberikan persetujuan atas rencana perdamaian tersebut, PKPU itu tidak mengikat Soetomo, berdasarkan Pasal 1340 KUHPerdata. “Sehingga Soetomo mengajukan permohonan PKPU lain kepada BSU,”  tulis kuasa hukum Soetomo, Dedyk Eryanto Nugroho dalam berkas permohonannya, Rabu (27/2).

Untuk memenuhi persyaratan PKPU, Soetomo menarik PT Bank Bukopin Tbk dan PT Bank Mutiara Tbk sebagai kreditor lain. Kepada Bukopin, BSU memiliki kewajiban senilai Rp100 miliar, berupa perjanjian kredit investasi 28 Juni 2011. Sedangkan terhadap Bank Mutiara, BSU memiliki  kewajiban sebesar Rp40 miliar yang tertuang dalam perjanjian kredit investasi 15 Desember 2011 yang jatuh tempo 21 Desember 2011.

"Dengan demikian syarat kepailitan adanya utang jatuh tempo dan dapat ditagih serta ada dua kreditor atau lebih telah terpenuhi," lanjut Dedyk.

Menanggapi hal ini, Legal Division Head BSU Jovial Mecca Alwis melalui surat eletronik yang dikirimkan kepada hukumonline, Kamis (28/2) mengatakan permohonan pailit yang diajukan Soetomo sangat lemah secara hukum. Pasalnya, masalah hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak telah diselesaikan melalui putusan PKPU di Pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat sejak tahun 2003. Soetomo  secara tegas menolak untuk mematuhi keputusan pengadilan tersebut.

"Berbeda dengan kreditor lain dari BSU yang patuh dan secara bersama-sama dengan BSU telah menjalankan putusan PKPU tersebut dengan baik," tulis Jovial Mecca Alwis dalam e-mail tersebut, Kamis (28/2).

Sementara itu, melalui surat elektronik yang diteruskan Jovial, Corporate Secretary PT Bank Mutiara Tbk Rohan Hafas mengatakan tidak mengetahui adanya permohonan pailit yang diajukan Soetomo. Menurutnya, penyertaan Bank Mutiara sebagai salah satu kreditur pada permohonan pailit tersebut dilakukan secara sepihak oleh pemohon pailit tanpa sepengetahuan dan sepersetujuan Bank Mutiara.

Terkait perjanjian kredit investasi 15 Desember 2011, Bank Mutiara menjelaskan bahwa pemberian kredit sebesar Rp40 miliar kepada BSU untuk pembangunan gedung Epicentrum Walk. Bukan untuk pembangunan gedung Apartemen Taman Rasuna Tower 5, seperti dalam permohonan pailit tersebut.

Pemberian kredit memperhatikan prinsip bisnis yang menguntungkan, mengedepankan praktik Good Coorporate Governance dan aturan yang berlaku. Status kredit investasi tersebut masih berstatus kredit lancar dan proses cicilan pelunasan kredit masih dilakukan BSU sebagai debitor sesuai kesepakatan bersama.

Tags: