DKPP Pecat Puluhan Penyelenggara Pemilu
Berita

DKPP Pecat Puluhan Penyelenggara Pemilu

Didorong sidang etika dilakukan secara terbuka.

RFQ
Bacaan 2 Menit

Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid menegaskan pelanggaran etik jauh lebih buruk dari pelanggaran hukum. Pasalnya, jikalau kode etik dapat ditegakan, setidaknya akan meminimalisir pelanggara hukum. “Berarti rata-rata sebulan itu tujuh orang. Kerja DKPP itu sudah begitu banyak yang bisa ditangani,” ujarnya.

Wakil ketua MPR lainnya Hajriyanto Tohari mengatakan pemberian sanksi melalui sidang etik terhadap penyelenggara Pemilu sudah tepat. Apalagi, menjelang Pemilu 2014 mendatang bukan tidak mungkin akan menemukan sejumlah persoalan sengketa Pemilu.

Keberadaan DKPP dalam mengawasi etika pejabat penyelenggara Pemilu sangatlah berat. Ia berpendapat, penegakan etika tak kalah penting dengan penegakan hukum. “Kami sepakat dengan DKPP untuk sosialisasi etika sangat penting dilakukan,” ujarnya.

Di hadapan pimpinan MPR, Jimly sempat mengingatkan keberadaan TAP MPR No.VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Menurutnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus merujuk pada etika.

Jimly menilai saat ini terjadi kemerosotan dalam kehidupan berbangsa. Ditandai dengan makin banyak lembaga pengawas eksternal terhadap institusi. Namun sayangnya, ketika melakukan sidang kode etik masih dilakukan secara tertutup.

DKPP, kata Jimly, dalam menggelar sidang etik dilakukan secara terbuka. Sehingga masyarakat dapat mengawal dan mengetahui terbukti atau tidaknya orang yang diduga melanggar etik. Menurutnya, pola keterbukaan dalam sidang etik perlu disosialisasikan ke semua lembaga dan institusi.

Contoh lain, lanjut Jimly, pemecatan hakim agung Achmad Yamanie. Melalui sidang terbuka, Yamanie diberhentikan dari jabatannya. Menurutnya, dalam sejarah kehakiman setidaknya hanya Yamanie yang dipecat melalui sidang terbuka.

Ia berpendapat, lembaga harus dijaga dari ulah oknum pejabat yang melanggar kode etik. Sebab jika tidak, maka lembaga akan tercemar dan terpasung oleh citra buruk pemegang jabatan. “Etik itu diperlukan instrumen dari luar, maka diperlukan kode etik. Marilah kita lihat hukum itu sudah banyak bebannya mengontrol kita,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Ketua MPR Taufiq Kiemas sependapat dengan Jimly. Menurutnya pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat tidak akan terjadi sepanjang menaati kode etik. Dia berpendapat gerakan taat terhadap kode etik dan sidang etik dilakukan secara terbuka perlu disosialisasikan. 

“Saya setuju gerakan ini, pimpinan MPR setuju promosi ini dan minta Sekjen juga aktif. Kegaduhan sekarang ini karena kelemahan etika dan budi pekerti,” ujarnya

Hajriyanto menambahkan ide melakukan siang etik secara terbuka merupakan terobosan baru. Setidaknya, persidangan dapat digelar secara transparan dan masyarakat dapat melakukan pemantauan. Ia berharap, pola yang digunakan oleh DKPP dapat menjadi contoh bagi lembaga dan institusi lain. “Ini terobosan jenius ‘pengadilan’ etika secara terbuka,” pungkasnya. 

Tags:

Berita Terkait