DJP Kejar Tunggakan Pajak Migas
Berita

DJP Kejar Tunggakan Pajak Migas

Bila perusahaan migas keberatan, pengadilan pajak dibebani untuk menyelesaikan.

MVT
Bacaan 2 Menit
Direktur Jenderal Pajak, Ahmad Fuad Rahmany keluarkan SKP<br> perusahaan migas asing. Foto: SGP
Direktur Jenderal Pajak, Ahmad Fuad Rahmany keluarkan SKP<br> perusahaan migas asing. Foto: SGP

Direktur Jenderal Pajak, Ahmad Fuad Rahmany segera mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) pada perusahaan minyak dan gas (migas) asing yang bermasalah. Ia menegaskan, keluarnya SKP akan menyelesaikan tunggakan pajak triliunan rupiah yang belum dilunasi perusahaan migas asing maupun lokal.

 

Fuad menyatakan, pihaknya tak salah menghitung kewajiban pajak kontraktor migas asing karena menggunakan dasar perhitungan pajak hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

 

“Kita tetap akan mengeluarkan SKP, termasuk untuk kontrak tahun 2004 ke belakang. Ini kan penerimaan negara,” jelasnya usai Rapat Pimpinan di Kementerian Keuangan, Senin (25/7).

 

Pemeriksaan BPKP mengacu pada UU No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebelum dinyatakan tidak berlaku karena lahirnya UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Yaitu, Pasal 29 UU 8/1971  yang menyatakan Direktorat Akuntan Negara bertugas mengadakan pemeriksaan terhadap perhitungan tahunan.

 

Hasil audit BPKP, terdapat kekurangan pembayaran pajak penghasilan (PPh) Migas dari beberapa perusahaan asing migas. BPKP, kata Fuad, menetapkan 14 perusahaan migas mempunyai tunggakan pajak Rp1,6 triliun. “Ini yang harus diperbaiki,” katanya.

 

Fuad mengakui, ada kemungkinan penolakan dari perusahaan migas yang ditagih. Hal ini juga mungkin mempengaruhi kepercayaan asing terhadap sistem perpajakan di Indonesia.

 

“Tapi ya biarkan nanti Kementerian ESDM yang menyelesaikan, sebagaimana disampaikan KPK harus diberesin melalui renegosiasi. Pihak yang bisa melakukan renegosiasi tentu Kementerian ESDM,” urainya.


Karena itu Fuad bersikeras untuk tetap mengeluarkan SKP. “Memang, (perusahaan) asing itu pasti akan bilang mereka tidak merasa kurang bayar. Nanti biar diputuskan di Pengadilan Pajak,” tandasnya.

 

Sebagaimana diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan ada beberapa perusahaan migas asing yang menunggak pajak. Senada dengna BPKP, Wakil Ketua KPK Haryono Umar mengatakan jumlahnya mencapai empat belas perusahaan. Akibatnya, timbul kerugian mencapai triliunan rupiah.

 

“Bahkan ada beberapa perusahaan yang tidak membayar pajak sejak lima kali menteri keuangan berganti,” katanya saat dihubungi wartawan.

 

Terkait hal ini, KPK, BP Migas, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Anggaran telah berkoordinasi. Dari hasil sementara, tunggakan pajak itu karena adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dengan para perusahaan soal penghitungan pajak.

 

Namun, Indonesia Corruption Watch menegaskan tunggakan PPh Migas yang dilansir Haryono hanya segelintir dari tunggakan perusahaan migas yang sebenarnya. ICW menyebutkan kewajiban pajak yang belum dibayar perusahaan migas mencapai AS$583 juta.

 

Jumlah ini sangat besar dibanding data yang dilansir Haryono, yaitu AS$113 juta setara Rp1,6 triliun. “Tunggakan itu berdasarkan hasil pemeriksaan BPKP dan BPK tahun buku 2008-2010,” ujar peneliti divisi korupsi pelayanan publik dan industri ekstraktif ICW, Firdaus Ilyas.

 

Firdaus menguraikan, BPKP melakukan audit industri migas di Indonesia dan kemudian direview Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil review BPK yang dituangkan pada 24 Mei 2011, diketahui ada kewajiban perusahaan migas pada negara.

 

Hingga tahun buku 2008, BPKP menyampaikan hasil pemeriksaan migas ke Ditjen Pajak dengan tunggakan pajak perusahaan migas mencapai AS$176,117 juta. Sedangkan temuan BPKP yang belum disampaikan ke DJP sebesar AS$108,099 juta. Tahun buku 2008, posisi kewajiban (outstanding) pajak perusahaan migas mencapai AS$284,216 juta.

 

Sedangkan tahun berikutnya, terdapat selisih (kurang bayar) antara kewajiban dan setoran dari kontrak bagi hasil sebanyak AS$139,459 juta. Lalu pada tahun 2010 ditemukan lagi selisih kurang bayar mencapai AS$159,330 juta.

 

“Sehingga total tunggakan pajak kurun waktu itu oleh 33 operator minyak dan gas mencapai AS$583 juta,” jelas Firdaus.

 

Jika diurai 10 besar penunggak pajak dimulai dari nilai terbesar dari 33 operator tersebut adalah CNOOC (AS$94,239 juta), lalu Conocophillips Grissik (AS$84,774 juta). Kemudian, Petrochina International Indonesia Ltd Block Jabung (AS$62,949 juta), Mobil Exploration Indonesia Inc – Blok Lepas Pantai Sumatera Utara (AS$59,998 juta). VICO (AS$42,987 juta), ExxonMobil Oil Indonesia Inc (AS$41,763 juta), Premier Oil Area Natuna Sea ‘A’ (AS$38,368 juta), BP West Java Ltd (AS$35,123 juta), Star Energy (AS$17,095 juta), dan PT Pertamina EP (AS$16,921 juta).

 

Firdaus tegaskan, negara tak boleh menyerah untuk menagih tunggakan pajak tersebut. Apalagi kewajiban itu sudah tertera dalam perjanjian kontrak bagi hasil antara operator dan Badan Pengelola (BP) Migas berdasarkan UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas.

 

Jika ada operator yang keberatan karena kontrak dibuat sebelum UU Migas berlaku, Firdaus menyatakan hal itu keberatan itu harus diabaikan. Dia lalu menyebut ketentuan Pasal 63 huruf c UU Migas.

 

Pasal 63

Pada saat Undang-undang ini berlaku :

c. semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan

 

“Hanya satu kemungkinan, apabila keberatan itu ditanggapi, BP Migas harus melakukan renegosiasi kontrak bagi hasil,” tegasnya.

Tags: