Diwarnai Dissenting, Karyawan Chevron Divonis Bersalah
Utama

Diwarnai Dissenting, Karyawan Chevron Divonis Bersalah

Salah seorang hakim menilai pembuktian penuntut umum keliru.

NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Endah Rumbiyanti (baju putih) didampingi pengacara, Maqdir Ismail (baju putih, dasi biru) usai sidang pembacaan vonis. Foto: NOV
Endah Rumbiyanti (baju putih) didampingi pengacara, Maqdir Ismail (baju putih, dasi biru) usai sidang pembacaan vonis. Foto: NOV

Sambil berurai air mata, Manajer Lingkungan SLN dan SLS PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Endah Rumbiyanti menyatakan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/7). Majelis yang diketuai Sudharmawatiningsih menyatakan Endah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan proyek bioremediasi PT CPI.

“Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan subsidair, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Oleh karenanya, terdakwa dijatuhi pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan,” kata Sudharmawatiningsih.

Majelis tidak membebankan Endah untuk membayar uang pengganti karena perbuatannya tidak memperkaya diri sendiri, melainkan korporasi, PT Sumigita Jaya (SJ) dan PT Green Planet Indonesia (GPI). Kedua perusahaan tersebut merupakan rekanan PT CPI dalam pelaksanaan kegiatan bioremediasi di SLS Minas dan SLN Duri.

Dalam pertimbangannya, Sudharmawatiningsih dan hakim anggota Antonius Widjiantono menerangkan, Endah selaku Manajer Lingkungan SLN dan SLS memiliki tugas membantu jajaran pimpinan/proyek/tim operasi guna memastikan penataan dan pengelolaan lingkungan. Seperti pengelolaan limbah termasuk bioremediasi.

Endah juga bertugas memberikan saran teknis untuk pengelolaan lingkungan, serta berkoordinasi dengan tim hukum perusahaan untuk membantu tim operasi mengerti peraturan lingkungan hidup. Namun, saat proyek bioremediasi dilaksanakan PT SJ di SLS Minas dan PT GPI di SLN Duri, Endah tidak memberikan saran teknis.

Endah hanya memberikan saran internal kepada tim operasi PT CPI apabila diminta. Padahal, selaku manajer lingkungan untuk pelaksanaan proyek bioremediasi di SLS Minas dan SLN Duri, Endah seharusnya dapat memberikan saran tanpa harus diminta oleh tim operasi PT CPI yang berada di bawah Russel Larson dan Widodo.

Menurut Sudharmawatiningsih, Endah mengetahui bahwa pekerjaan bioremediasi harus dilakukan sesuai Kepmen LH No.128 Tahun 2003. Pelaksana pekerjaan bioremediasi harus memiliki izin pengolahan limbah B3 sebagaimana diatur PP No.18 Tahun 1999. Sedangkan, PT SJ dan PT GPI tidak memiliki izin pengolahan limbah B3.

Adapun izin yang dimiliki PT CPI, ternyata sudah berakhir dan belum mendapat perpanjangan dari Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH). Akibat perbuatan Endah yang tidak melaksanakan kewajibannya, hasil pelaksanaan bioremediasi pun tidak berjalan sesuai Kepmen LH No.128 Tahun 2003.

PT SJ dan PT GPI tidak mengikuti tata cara pengolahan tanah terkontaminasi minyak mentah atau Crude Oil Contaminated Soil (COCS) seperti diatur Pasal 2 ayat (3) lampiran II Kepmen LH No.128 Tahun 2003. Keduanya tidak melakukan analisa untuk mengidentifikasi jumlah, jenis, dan sifat mikroorganisme pengurai kontaminan.

Sesuai hasil pengujian sampel yang dilakukan tim ahli bioremediasi, Edison Effendi, Bambang Iswanto, dan Prayitno pada 25 Juli 2012, disimpulkan bahwa kandungan Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dari sampel tanah di SLS Minas 1,73 persen dan di SLN Duri 0,4783-0,5255 persen.

Apabila mengacu pada Kepmen LH No.128 Tahun 2003, tanah di Soil Bioremediation Facility (SBF) PT CPI tidak perlu dilakukan bioremediasi karena kadar TPH tidak lebih dari 15 persen. Lagipula, tidak ditemukan mikroorganisme pendegradasian minyak dan tidak terjadi penurunan TPH setelah 14 hari pada stock pile SLS.

Tanah pada stock pile tidak pernah terkontaminasi minyak, sehingga tidak mungkin dapat berlangsung bioremediasi atau bioremediasi nihil. Namun, PT CPI telah membayarkan masing-masing AS$1,621 juta dan AS$204,066 ribu kepada PT SJ dan PT GPI untuk pekerjaan bioremediasi yang mereka lakukan.

Meski Production Sharing Contract (PSC) BP Migas dan PT CPI mengatur pembebanan biaya bioremediasi melalui cost recovery, biaya-biaya itu telah dimasukkan dalam financial quarterly report (FQR) ke BP Migas. Atas penyimpangan proyek bioremediasi PT CPI sejak 2006-2012, BPKP menghitung kerugian negara AS$9,99 juta.

Majelis hanya menghitung kerugian negara selama Endah menjabat Manajer Lingkungan SLN dan SLS. Kerugian negara yang diakibatkan perbuatan Endah sebesar AS$1,826 miliar. Atas pertimbangan Sudharmawatiningsih dan Antonius, tiga hakim anggota menyatakan beda pendapat.

Hakim anggota Anas Mustaqim menganggap dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP lebih tepat dikenakan kepada Endah. Sementara, hakim anggota Slamet Subagyo dan Sofialdi menyatakan Endah tidak terbukti bersalah melakukan korupsi sebagaimana dakwaan primair, maupun subsidair.

Slamet berpendapat, tempus delicti menjadi penting untuk dipertimbangkan karena Endah dipersalahkan untuk pekerjaan bioremediasi sejak Maret 2006. Padahal, Juli 2005-Februari 2006 dan April 2008-Juni 2010, Endah berada di Amerika Serikat. Endah baru menjabat Manajer Lingkungan SLS dan SLN per 1 Juni 2011.

Selain itu, Endah buhkanlah orang yang menunjuk Team Leader Produksi SLS Kukuh Kertasafari dan melakukan perundingan pekerjaan bioremediasi. Selaku Manajer Lingkungan, tugas Endah tidak berhubungan dengan pekerjaan bioremediasi. Endah hanya menerima laporan yang diteruskan dari tim operasi.

“Penyebutan tempus delicti tidak berdasarkan fakta. Tugas terdakwa juga tidak memiliki keterkaitan dengan pengelolaan limbah dengan cara bioremediasi sehingga tidak ada kewajiban terdakwa untuk memastikan pengelolaaan limbah telah dilakukan secara benar, sesuai SOP, dan ketentuan yang berlaku,” ujar Slamet.

Senada, Sofialdi menyatakan penuntut umum telah melakukan pembuktian keliru dan tidak berdasarkan fakta hukum. Perbuatan Endah yang tidak memberikan saran kepada tim teknis sesuai Kepmen LH No.128 Tahun 2003, dipandang bukan merupakan perbuatan melawan hukum yang patut dipidana.

Berdasarkan PP No.9 Tahun 2005, Kementerian Lingkungan Hidup termasuk Kementerian Negara. Oleh karenanya, Kemen LH hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat interen dan tidak mengikat secara umum.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap Kepmen LH No.128 Tahun 2003, menurut Sofialdi, sanksinya berupa administratif, seperti pencabutan izin. Lebih dari itu, PT CPI telah mengajukan perpanjangan permohonan izin ke Menteri Negara LH. Pengoperasian SBF dapat dilakukan sambil menunggu izin yang sifatnya administratif.

Sofialdi menilai pelaksanaan pekerjaan bioremediasi PT CPI telah memenuhi ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam Kepmen LH No.128 Tahun 2003. “Baik dari permohonan izin, proses pengolahan, persiapan yang telah sesuai rancang bangun, dan kelengkapan lain-lain telah sesuai dengan persyaratan teknis,” terangnya.

Mengenai keterangan ahli bioremediasi Edison Effendi, Sofialdi berpendapat, sudah sepatutnya dikesampingkan. Edison terbukti memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) karena pernah menjadi kuasa dari Direktur PT Putra Riau Kemari untuk mengikuti lelang proyek bioremediasi PT CPI pada tahun 2011.

“Pendapat ahli yang berkepentingan dalam proyek (bioremediasi) karena perusahaan yang diwakilinya kalah dalam pelelangan, maka beralasanlah untuk dikesampingkan. Sedangkan, ahli bioremediasi yang dihadirkan penasihat hukum tidak terlibat dalam proyek, sehingga independensinya tidak perlu diragukan lagi,” tegasnya.

Suara terbanyak
Sofialdi menyatakan Endah tidak terbukti bersalah dan sudah seharusnya dibebaskan. Sofialdi mengingatkan ada tiga hakim yang mengemukakan pendapat berbeda. Sesuai Pasal 182 ayat (6) huruf a KUHAP, apabila musyawarah majelis tidak mencapai pemufakatan, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.

Jika tidak ada suara yang mendominasi, maka berlaku ketentuan Pasal 182 ayat (6) huruf b KUHAP, yaitu putusan diambil menggunakan pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Namun, Sudharmawatiningsih mengatakan, majelis hakim sepakat mengambil keputusan dengan suara terbanyak.

“Oleh karena terjadi perbedaan pendapat majelis, maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, majelis hakim telah bermusyawarah, mengambil keputusan dengan suara terbanyak, yaitu terdakwa telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” katanya.

Menanggapi putusan majelis, Endah bersikukuh merasa tidak bersalah. Sejak awal proyek bioremediasi berjalan, Endah sedang berada di luar negeri. Endah baru menjabat sebagai Manajer Lingkungan tahun 2011 dan tugasnya tdak berkaitan dengan pekerjaan bioremediasi. “Saya masih tetap berjuang demi keadilan,” ujarnya.

Pengacara Endah, Maqdir Ismail menambahkan, tidak seharusnya majelis menggunakan suara terbanyak. Hakim yang sepakat memutus Endah bersalah dengan dakwaan subsidair hanya dua orang, sedangkan satu hakim berpendapat Endah terbukti melakukan dakwaan primair. Kedua pasal ini jelas berbeda unsur-unsurnya.

“Tidak bisa dianggap mereka bertiga setuju dengan dakwaan subsidair. Ini ada perbedaan ancaman hukuman dan perbedaan apa yang terbukti menurut hukum. Mestinya, Rumbi itu bebas. Sesuai Pasal 182 ayat (6) huruf b KUHAP, putusan diambil yang paling menguntungkan untuk terdakwa,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait