Diwarnai Canda Registrasi Nomor HP, Disertasi Dosen Perdata FHUI Ini Dapat Pujian
Utama

Diwarnai Canda Registrasi Nomor HP, Disertasi Dosen Perdata FHUI Ini Dapat Pujian

Hukum kebendaan telah mengalami perkembangan dalam praktek. Hasil kajian promovendus dianggap ‘sesuatu yang baru’, dan ‘out of the box’.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Putusan Bonda yang ‘Mengayun’ Bismar).

 

Meskipun perkara dimaksud berada di ranah pidana, dan hakim tak secara khusus membahas barang, tetapi dengan mengalisis unsur-unsur tindak pidana pasal pencurian dalam KUH Pidana secara tidak langsung hakim mengakui pulsa, misalnya, sebagai  barang. “Itu jenis kebendaan yang awalnya tidak pernah dianggap sebagai benda,” tutur Abdul.

 

Perluasan makna zaak juga terjadi dalam perundang-undangan. Kehadiran UU Pokok Agraria dianggap sebagai langkah awal perkembangan hukum kebendaan. Dalam KUH Perdata dikenal asas accessie atau perlekatan. UU Pokok Agraria justru mengenal asas pemisahan horizontal pada benda tanah. Selain itu, UU Pokok Agraria mengenal pembatasan subjek hukum yang dapat memiliki tanah dengan status hak milik, yakni hanya Warga Negara Indonesia (WNI). Perluasan makna zaak juga bisa dilihat antara lain pada UU No. 4 Tahun 1996 mengenai hak tanggungan, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang bisa kekayaan intelektual, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Pasal 1 angka 4 UU Jaminan Fidusia, misalnya, mendefinisikan benda sebagai segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipoetik.

 

Perkembangan regulasi mengenai kebendaan juga terjadi di Belanda. Rumusan Pasal 555 BW Belanda (Pasal 499 KUH Perdata Indonesia) sudah berubah pada New Burgerlijk Wetboek (NBW). NBW menyebutkan ‘goederen zijn alle zaken en alle vermogensrechten’. Juga disebutkan ‘zaken zijn de voor menselijke beheersing vatbare stoffelijke objecten’. Berdasarkan NBW, istilah barang (goed) memiliki pengertian yang lebih luas dari zaak (benda). Barang adalah semua benda dan semua harta kekayaan; sedangkan zaak adalah objek berwujud yang dapat dikuasai manusia.

 

Berdasarkan perkembangan regulasi itu tampak bahwa informasi yang bersifat elektronik dapat dipindahtangankan, artinya dapat dipindahkan dari pemilik lama kepada pemilik baru. Kemajuan dunia teknologi telah ikut mengubah cara pandang tentang kebendaan dalam kacamata hukum. Menurut Abdul, perkembangan bentuk-bentuk kebendaan secara esensi dipengaruhi dua faktor: praktik bisnis, dan hukum. Praktik bisnis dapat memunculkan suatu kebendaan baru seperti benda digital, benda virtual, dan karbon. Faktor hukum juga berperan melahirkan kebendaan baru. Misalnya, dulu piutang tidak dianggap sebagai benda, tetapi melalui Code Napoleon piutang dipandang sebagai benda.

 

Pada dasarnya, jelas Abdul, keberadaan suatu benda atau kekayaan ditentukan berdasarkan sifat kepemilikan dan/atau penguasannya. Sifat penguasaan terhadap benda bergerak berbeda dari benda tidak bergerak. Terhadap benda bergarak berlaku prinsip siapa yang menguasai benda maka ia dipandang sebagai pemiliknya. Sebaliknya, terhadap benda tidak bergerak (benda tetap) masih memerlukan proses pencatatan. Kepemilikan terhadap benda dijamin oleh hukum, bahwa di pemilik mempunyai kebebasan untuk mengambil manfaat atas kebendaannya.

 

Proses penyerahan (levering) adalah salah satu persoalan dalam hukum kebendaan digital. Abdul berpendapat benda digital tidak dapat ditransaksikan secara anonim. Artinya, transaksi terhadap benda digital yang dilakukan tanpa kejelasan identitas dan objek hukumnya adalah cacat secara hukum karena melanggar prinsip dasar keabsahan perjanjian dalam Pasal 1320 BW.

Tags:

Berita Terkait