Divonis Bersalah, Penulis Surat Pembaca Langsung Banding
Utama

Divonis Bersalah, Penulis Surat Pembaca Langsung Banding

Hakim menyatakan Aseng dan Winny bersalah melakukan fitnah terhadap PT Duta Pertiwi karena dianggap gagal membuktikan tuduhan bahwa PT Duta Pertiwi telah menipu mereka.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Aseng dan Winny kekeuh merasa tidak bersalah dalam perkara ini. Usai pembacaan putusan, mereka kompak langsung menyatakan banding atas putusan hakim.

 

Semua pleidoi rontok

Kekecewaan Hendra boleh jadi makan bertambah ketika hakim menolak semua argumen yang tertuang dalam nota pembelaan (pleidoi) dan eksepsi. Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas pemuatan surat pembaca misalnya. Hakim mengutip pendapat ahli anggota Dewan Pers, Leo Batubara yang menyatakan jika surat pembaca mengandung tindak pidana, maka yang bertanggung jawab adalah redaksi dan si penulis surat pembaca. Artinya, penulis surat pembaca juga bisa dimintai pertanggungjawaban, simpul hakim.

 

Argumen lain yang dimentahkan hakim adalah soal ‘kepentingan umum' yang melandasi pembuatan surat pembaca. Menurut hakim, mengacu pada bukti dan fakta di persidangan, orang yang merasa ‘dirugikan' dalam kasus ‘HGB di atas HPL' tak sebanding dengan orang yang menerima kasus itu. Hanya ada 20 orang. Sementara ribuan orang lainnya tak keberatan.

 

Pada bagian lain, hakim sempat menyinggung mengenai bisa tidaknya suatu badan hukum menjadi korban pencemaran nama baik atau fitnah. Hakim sempat mengutip Putusan MA No 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976. Menurut hakim, berdasarkan putusan itu, suatu badan hukum bisa menjadi korban pencemaran nama baik. Bukan hanya orang pribadi.

 

Sekadar informasi, yang menjadi terdakwa dalam putusan MA itu adalah Koesnin Faqih. Pengadilan Negeri di Jakarta Utara-Timur menghukum Koesnin dengan penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan 7 bulan karena dianggap bersalah melakukan penghinaan ringan sesuai Pasal 315 KUHP. 

 

Bentuk penghinaan yang dilakukan Koesnin adalah mengirimkan surat ke sejumlah relasi Achmad Nasri atau PT Tjahaja Negeri yang isinya adalah Bahwa PT Tjahaja Negeri telah ditutup terdakwa, dan apabila mau menyaksikan kematian PT Tjahaja Negeri tersebut supaya datang, dan juga menyatakan bila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh PT Bank Gemary atau barang-barang tanggungan PT Tjahaja Negeri agar segera diangkut demi keamanan barang-barang tersebut. Sayang, tak disebutkan secara jelas siapa yang disebut sebagai ‘terdakwa' dalam surat Koesnin itu.

 

Atas putusan itu Koesnin mengajukan banding. Di tingkat banding, putusan tingkat pertama dikuatkan. Koesnin lantas mengajukan kasasi.

 

Majelis hakim kasasi yang diketuai Prof Oemar Seno Adji memutuskan untuk membatalkan Putusan PT DKI Jakarta. Hal ini karena berdasarkan UU Darurat No 1 Tahun 1951 jo UU No 1 Tahun 1961, untuk perkara yang menimpa Koesnin tak bisa diajukan banding. Meski begitu, hakim kasasi tetap menghukum Koesnin untuk membayar biaya perkara di semua tingkat peradilan. Pada bagian pertimbangan hukumnya, majelis kasasi tak menyinggung secara eksplisit mengenai bisa tidaknya badan hukum menjadi korban penghinaan.

Tags: