Divonis 8 Tahun, Ahmad Jauhari Minta KPK Seret Wamenag
Korupsi Al Quran

Divonis 8 Tahun, Ahmad Jauhari Minta KPK Seret Wamenag

Nasaruddin Umar dan sejumlah rekan Jauhari di Kemenag dianggap bertanggung jawab.

NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus korupsi proyek penggandaan Al Quran, Ahmad Jauhari menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta,  Kamis (10/4). Foto: RES
Terdakwa kasus korupsi proyek penggandaan Al Quran, Ahmad Jauhari menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (10/4). Foto: RES
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum mantan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah pada Direktorat Jenderal Bimas Islam, Kementerian Agama, Ahmad Jauhari dengan pidana penjara selama delapan tahun. Majelis juga menghukum Jauhari dengan pidana denda Rp200 juta subsidair enam bulan kurungan.

Ketua majelis hakim Anas Mustaqim menyatakan Jauhari terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam proyek penggandaan Al Quran tahun anggaran (TA) 2011-2012 sebagaimana dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Atas vonis majelis, Jauhari merasa tidak terima dihukum seorang diri. Jauhari meminta KPK turut menyeret rekan-rekannya ke pengadilan, termasuk mantan Dirjen Bimas Islam yang sekarang menjabat Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar. Ia menganggap perbuatan korupsi penggandaan Al Quran merupakan tanggung jawab bersama.

“Kawan-kawan yang terlibat, yang jelas-jelas justru mereka aktor, tentu harus diseret ke pengadilan. Kalau berhenti di saya, pemberantasan korupsi secara substansial tidak berhasil, karena saya tidak punya niat untuk itu. Pemainnya sudah terlihat dari fakta persidangan. Saya duduk di sini karena mereka,” kata Jauhari, Kamis (10/4).

Usai sidang, Jauhari kembali menegaskan siapa saja yang seharusnya turut diseret ke pengadilan. Jauhari menyebut rekan-rekannya di Unit Layanan Pengadaan (ULP), Nasaruddin Umar, dan Sekretaris Jenderal Kemenag Abdul Karim. Ketika itu, Jauhari baru satu setengah bulan menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Jauhari mengaku tidak mengetahui ada permainan dalam lelang penggandaan Al Quran. Pada 28 September 2011, Ditjen Bimas Islam mendapatkan dua peserta lelang dengan penawar terendah. PT Macanan Jaya Cemerlang (MJC) berada di nomor urut satu, sedangkan PT Adhi Aksara Abadi Indonesia (A3I) berada di posisi kedua.

Menurut Jauhari, seharusnya informasi itu bersifat rahasia. Ia baru mengetahui di persidangan jika informasi mengenai posisi PT MJC dan PT A3I bocor karena ada rekan-rekannya di ULP berkomunikasi dengan pihak yang menjagokan PT A3I. Kemudian, orang yang menjagokan PT A3I itu melaporkan ke Anggota Komisi VIII dari Partai Golkar Zulkarnaen Djabar.

“Pak Zul telepon ke Pak Nasaruddin Umar. Dari persidangan kami ketahui, ada telepon Pak Zul ke Pak Nasaruddin saat jagonya Pak Zul akan kalah, karena yang waktu itu leading PT Macanan. Pak Nazaruddin Umar berikan sinyal kepada Mashuri (Ketua ULP/panitia pengadaan). Mashuri kepada Abdul Karim dan Sarisman,” ujarnya.

Jauhari berpendapat penyimpangan dalam lelang penggandaan Al Quran TA 2011-2012 bukan merupakan tanggung jawabnya. Melainkan Mashuri, Sarisman, Abdul Karim, Nasaruddin, Fadh El Fouz, Dendy Prasetya, Vasco Ruseimy, Syamsul Rahman, Rizky Moelyo Putro, Zulkarnaen Djabar, Abdul Kadir Alaydrus, dan Ali Djufrie.

Ia baru mengetahui jika terjadi komunikasi dan pertemuan di antara pihak-pihak tersebut. Ketika ditanyakan, apakah Menteri Agama Suryadharma Ali mengetahui mengenai lelang penggandaan Al Quran? Jauhari tidak mengetahui. Ia menjawab, apabila Abdul Karim dan Mashuri sudah berbicara, kemungkinan arahnya akan ke sana.

Jauhari mempertanyakan, mengapa ia harus bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak dilakukannya. Mengenai adil atau tidak putusan delapan tahun penjara, Jauhari menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Meski demikian, Jauhari masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Sama halnya dengan penuntut umum KMS A Roni.

Terbukti melawan hukum
Dalam pertimbangan majelis, hakim anggota Alexander Marwata menguraikan, Jauhari telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair. Jauhari terbukti secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi, sehingga sesuai penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mengakibatkan kerugian negara Rp27,056 miliar.

Alexander mengatakan, sesuai Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada prinsipnya, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), PPK, dan ULP independen dan tidak boleh diintervensi siapapun. Apabila ada pihak yang mengintervensi agar memenangkan perusahaan tertentu, maka semuanya bertanggung jawab.

Berdasarkan fakta dan alat bukti di persidangan, perbuatan Jauhari dianggap majelis telah memenuhi unsur melawan hukum, baik secara formil dan materil. Jauhari bersama-sama Nasaruddin dan Abdul Karim terbukti melakukan pertemuan dengan Fadh, Dendy, Syamsul, Vasco, dan Rizky di ruang kerja Nasaruddin dan Hotel Bidakara.

Alexander menjelaskan, dalam pertemuan itu, turut hadir Ali Djufrie dari PT A3I dengan tujuan untuk memastikan agar pekerjaan penggadaan Al Quran TA 2011-2012 dikerjakan oleh pihak rekanan yang dibawa Fadh. Jauhari juga memerintahkan Mashuri menghubungi pihak rekanan untuk menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan spesifikasi teknis.

Pembuatan HPS dan spesifikasi teknis, lanjut Alexander, seharusnya dibuat sebelum proses lelang. Nyatanya, HPS dan spesifikasi teknis dibuat pasca penetapan pemenang lelang, bahkan setelah pembuatan kontrak. Alhasil, PT A3I dan PT Sinergi Pustaka Indonesi (SPI) ditetapkan sebagai pemenang lelang penggadaan Al Quran TA 2011-2012.

Menurut Alexander, Jauhari telah mengetahui adanya intervensi dari anggota DPR, Zulkarnaen Djabar melalui Fadh dan rekan-rekannya. Atas dasar itu, Jauhari menyetujui perbuatan Mashuri yang menambahkan persyaratan teknis, sehingga menggeser posisi PT MJC dan memenangkan PT A3I dalam proyek penggandaan Al Quran TA 2011.

Dengan ditetapkannya PT A3I sebagai pemenang lelang, Jauhari menandatangani kontrak dan menyetujui kwitansi pembayaran kepada PT A3I. Jauhari juga menandatangani kontrak dan menyetujui pembayaran kepada PT SPI selaku pemenang lelang penggandaan Al Quran TA 2012. PT SPI diketahui masih satu grup dengan PT A3I.

Alexander berpendapat, perbuatan Jauhari lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum ketimbang penyalahgunaan wewenang. Pertama, karena Jauhari sebagai PPK tidak memiliki wewenang untuk memerintahkan Ketua ULP Mashuri meminta bantuan pihak rekanan dalam penyusunan HPS dan spesifikasi teknis.

Kedua, karena Jauhari tidak mempunyai wewenang memerintahkan atau menyetujui penambahan persyaratan teknis mengenai kepemilikan gudang seluas 5000 meter persegi dengan maksud agar PT A3I dan PT SPI ditetapkan sebagai pemenang lelang. Ketiga, karena Jauhari tidak memiliki wewenang menetapkan pemenang lelang.

“Terlebih lagi terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk menerima uang dari Abdul Kadir Alaydrus atau Ali Djufrie sejumlah Rp100 juta dan AS$15 ribu. Padahal, kedua orang tersebut merupakan Direktur PT A3I dan PT SPI yang merupakan pemenang lelang proyek penggandaan Al quran TA 2011 dan 2012,” tutur Alexander.

Dengan demikian, Jauhari telah terbukti memperkaya diri sendiri, sejumlah panitia lelang, PT A3I dengan Direktur Utama Ali Djufrie Rp5,832 miliar, PT SPI dengan Direktur Utama Abdul Kadir Rp21,233 miliar, Mashuri Rp50 juta dan AS$5000, serta PT Perkasa Jaya Abadi Nusantara (PJAN) milik keluarga Zulkarnaen Dendy Prasetia Rp6,75 miliar.

Namun, sebelum menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan sejumlah hal memberatkan dan meringankan. Perbuatan Jauhari yang tidak mengakui terus terang perbuatannya, mencoreng Kemenag, menciderai perasaan umat islam, dan menghambat pemenuhan kebutuhan Al Quran dianggap sebagai hal memberatkan.

Dalam putusannya, majelis tidak lagi mengenakan uang pengganti karena Jauhari telah mengembalikan uang Rp100 juta dan AS$15 ribu kepada KPK. Majelis memerintahkan pengembalian uang itu sudah selayakanya dirampas untuk negara dan disetor ke kas negara sebagai pembayaran uang pengganti yang telah dinikmati Jauhari.
Tags:

Berita Terkait