Soal contempt of court pertama kali dibahas oleh kalangan hakim dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MA di Yogyakarta 23-27 September 2001. Saat itu, muncul gagasan untuk segera mengadakan penelitian mendalam mengenai substansi contempt of court. Kemudian, disepakati pula perlunya langkah-langkah penyusunan RUU contempt of court beserta sosialisasinya ke masyarakat.
Saat itu pula, Rakernas MA berkesimpulan bahwa segala perbuatan, tindakan atau tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan institusi peradilan sudah termasuk kategori contempt of court . Pelakunya bisa saja dari anggota masyarakat, jaksa, polisi, pengacara, atau hakim sendiri.
Berdasarkan naskah akademis yang dikeluarkan MA, ada lima perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan. Pertama, berperilaku tercela dan tidak pantas (misbehaving in court). Kedua, tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders). Ketiga, menyerang integritas dan imparsilitas pengadilan (scandalising the court). Keempat, menghalang-halangi jalannya penyelanggaraan pengadilan (obstructing justice). Kelima, perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan publikasi atau pemberitahuan (subjudice rule).