Dituduh Melecehkan Tamu, Karyawan Hotel Dipecat
Berita

Dituduh Melecehkan Tamu, Karyawan Hotel Dipecat

Pihak pekerja menyayangkan tindakan manajemen yang hanya mendasarkan pada testimoni tamu tanpa bukti lain.

CR-12
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta gelar sidang karyawan yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap tamu hotel. Foto: SGP
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta gelar sidang karyawan yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap tamu hotel. Foto: SGP

Perempuan itu bernama Kartini. Usianya mendekati lima puluhan tahun. Cucunya sudah dua. Tapi ia kini harus bolak-balik ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta karena mengurus perselisihan pemutusan hubungan kerja dengan PT Permadani Khatulistiwa Nusantara, perusahaan tempatnya bekerja.

 

PT Permadani Khatulistiwa Nusantara adalah perusahaan pengelola Hotel Four Seasons Jakarta. Di perusahaan itu Kartini bekerja sebagai Spa Therapist sejak Oktober 1997. Kartini dipecat karena dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap tamu hotel.

 

Peristiwa itu bermula ketika pihak manajemen memanggil Kartini pada Januari 2011. Saat itu manajemen menerangkan telah menerima laporan tertulis dari kantor pusat Hotel Four Seasons di Kanada dimana ada testimoni tamu yang mengaku menerima pelecehan seksual saat dipijat Kartini.

 

Kartini membantahnya. Ia mengaku tidak pernah membuat tamu-tamu hotel yang menggunakan jasanya mengeluh. Justru ia mengaku kerap mendapat pujian atas pelayanan yang ia diberikan. Pujian itu, masih menurut Kartini, ditulis oleh para tamu di atas papan white board yang telah disediakan. Jika memang ada keluhan dari tamu, menurut Kartini, pasti ada complain tertulis bagi pekerja, termasuk Kartini. Tak lama setelah itu keluarlah surat skorsing untuk Kartini.

 

Pihak manajemen menyebutkan surat skorsing tertanggal 8 Februari 2011 dilayangkan kepada Kartini. Selama masa skorsing, manajemen membayar gaji pokok pekerja.

 

Namun pihak pekerja menjelaskan bahwa sebelumnya sudah ada surat skorsing yang dilayangkan pada 1 Februari 2011. Setelah itu proses penyelesaian bipartit dilakukan pada 8 Februari 2011 dan 21 Februari 2011. Karena tidak tercapai kesepakatan maka proses penyelesaian perselisihan diboyong ke Sudinakertrans Jakarta Selatan.

 

Selama proses mediasi di Sudinakertrans pihak pekerja tidak hadir. Mediator mengeluarkan anjuran pada 20 Mei 2011 dengan merekomendasikan PHK dan himbauan kepada manajemen membayarkan hak-hak pekerja atas terjadinya PHK. Pasca anjuran itu, pihak pekerja menilai manajemen sengaja menggantung nasib pekerja. Oleh karena itu pihak pekerja mengajukan gugatan perselisihan PHK ke PHI Jakarta.

 

“Kenapa mereka tidak lakukan (gugatan PHK ke PHI,-red), dapat diduga niatnya membuat pekerja ini menderita. Sesudah dia menderita, kita nanti akhirnya menyerah, berapapun diberikan akan diterima. Inikan modus yang biasa dilakukan oleh pengusaha yang tidak punya moral. Sehingga kita berinisiatif melakukan gugatan dan meminta PHK melalui program pensiun dipercepat,” ujar Hamonangan Saragih selaku kuasa hukum pekerja ketika diwawancarai hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (30/11).

 

Saragih menilai bahwa pihak manajemen tidak dapat membuktikan keberadaan surat laporan dari agen yang disebut sebagai mysteri guest itu. Sehingga tuduhan yang dijatuhkan pihak manajemen terhadap Kartini tidak berdasar. Selain itu pihak pekerja juga melaporkan manajemen atas tuduhan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya.

 

Mengingat usia Kartini yang akan memasuki masa pensiun, menurut Saragih tuduhan manajemen itu sesungguhnya ingin memberhentikan pekerja dengan biaya murah. Ia setuju jika skorsing yang dilakukan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Baginya, skorsing adalah salah satu bentuk dari hukuman.

 

Pekerja menuntut agar manajemen membayar uang pensiun dan hak-hak lainnya. Selain itu mereka menginginkan agar pihak manajemen membayar ganti rugi lainnya. Misalnya uang kerugian moril sebesar Rp30 juta. Hal ini dilakukan karena pekerja merasa dirugikan atas tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen.

 

“Nah disitu di pasal 155 (UU Ketenagakerjaan,-red), itukan disebutkan skorsing itu boleh dilakukan oleh pengusaha. Tetapi tetap memberikan apa yang menjadi penghasilan atau pendapatan yang biasa diterima oleh pekerja, nah itukan hilang. Jadi hanya upah saja yang dia dapat. Karena di hotel itu ada uang service, ada tip, itu hilang ketika skorsing itu diberlakukan. Nah skorsing itu hukuman sebenarnya yang notabene skorsing itu adalah diberi kewenangan oleh UU kepada pengusaha. Pengusaha boleh skorsing tapi pekerja tetap dibayar. Semua hak-haknya dikasih,” tukasnya.

 

Kartini tidak menolak untuk di-PHK namun proses PHK yang diinginkan adalah pensiun dipercepat sebagaimana termaktub dalam PKB pasal 53 ayat (1) butir a. Serta UU Ketenagakerjaan pasal 169 ayat (1) butir a yang berbunyi, ‘pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut; menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja’.

 

Kuasa hukum perusahaan, Azimah Sulistyo mengatakan bahwa pihak manajemen mau memenuhi tuntutan pekerja atas pensiun dini. Oleh karena itu pihak manajemen tidak berkeberatan memberi uang kompensasi sebesar Rp39.920.985. Namun pihak pekerja menolaknya. Pasalnya, selain uang pensiun, pekerja juga menuntut diberikan uang kerugian moril sebesar Rp.30.000.000.

 

“Kalau pensiun dini iya. Kan sudah memenuhi tuntutan pekerja. Maksudnya memenuhi tuntutan mereka untuk pensiun dini gitu loch. Tapi untuk yang lain-lainnya sich enggak,” kata dia kepada hukumonline lewat telepon, Rabu (30/11).

 

Dalam berkas jawabannya, pihak perusahaan menerangkan bahwa tamu yang mendapat perlakuan pelecehan seksual adalah agen perusahaan jasa pengendali mutu yang sedang menyamar pada Desember 2010.

 

Kala itu, agen menjalani javanese massage oleh Kartini selama lebih kurang 60 menit. Dalam laporannya, agen menyebutkan bahwa Kartini telah menyalahi aturan standar, yaitu tidak berdiri di belakang tamu ketika ingin melepas kain spa, membiarkan tubuh tamu terlihat tanpa busana ketika menaiki meja terapi, menyarankan tamu untuk tidak menggunakan pakaian dalam, melakukan pemijatan yang berlebihan pada pangkal paha dan beberapa kali menyentuh bagian sensitif.

 

Persidangan Kartini ini sendiri sudah memasuki tahap kesimpulan dan tinggal menunggu putusan hakim.

 

Tags: