Dituding Bonaran Conflict of Interest, Bambang Widjojanto Membantah
Utama

Dituding Bonaran Conflict of Interest, Bambang Widjojanto Membantah

Lagipula, penyidikan kasus Bonaran ditentukan dalam forum ekspos, bukan oleh seorang Bambang Widjojanto.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Bonaran Situmeang. Foto: RES
Bonaran Situmeang. Foto: RES

Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang mencium aroma politis dalam penyidikan kasusnya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tersangka kasus suap pengurusan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) ini menuding salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjojanto memiliki konflik kepentingan (conflict of interest).

Bonaran mengatakan Bambang pernah menjadi kuasa hukum dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tapanuli Tengah nomor urut tiga, Dina Riana Samosir dan Hikmal Batubara. Keduanya mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah ke MK.

“Waktu itu, salah satu permohonan Bambang Widjojanto adalah agar saya didiskualifikasi sebagai calon Bupati Tapanuli Tengah. Alasannya, perkara Anggodo Widjojo. Tapi, apa relevansinya perkara itu ditarik ke MK? Makanya MK memenangkan saya, sehingga saya tidak jadi didiskualifikasi,” katanya, Senin (6/10).

Oleh karena itu, Bonaran menganggap penetapannya sebagai tersangka bernuansa politis. Apalagi mengingat keberadaan Bambang yang dahulu pernah menjadi kuasa hukum pemohon dalam sengketa Pilkada Tapanuli Tengah di MK. Bambang merupakan pihak yang berseberangan dengan Bonaran selaku pihak terkait.

Terlebih lagi, Bonaran merasa tidak mengenal Akil dan tidak pernah memberikan uang kepada Akil yang ketika itu menjabat sebagai hakim MK. Untuk membuktikannya, Bonaran membuka isi rekeningnya. Bonaran menegaskan dalam rekeningnya tidak terdapat dana Rp1,8 miliar yang diduga digunakan untuk menyuap Akil.

“Tidak punya saya uang Rp1,8 miliar. Bagaimana saya menyuap Akil? Tapi, yang perlu dicatat, di Pilkada Tapanuli Tengah di MK, lawan saya pengacaranya adalah Bambang Widjojanto yang sekarang jadi Komisioner KPK. Ini kan semut lawan gajah. Saya semutnya, dia gajahnya. Ini nggak benar,” ujarnya.

Kemudian, Bonaran menyatakan penyidik tidak dapat menunjukan satu pun alat bukti yang mengaitkan dirinya dengan penyuapan Akil. Ia menilai tidak ada relevansinya menyuap Akil, karena perolehan suara Bonaran cukup jauh dan Akil bukan majelis panel yang memeriksa sengketa Pilkada Tapanuli Tengah.

Pernyataan ini diamini pula oleh pengacara Bonaran, Tommy Sitohang. Ia menegaskan Akil sendiri sudah pernah mengatakan tidak pernah menerima suap dari Bonaran. “Dia sudah menang, ngapain menyuap? Siapa yang menyuap? Jadi, ada conflict of interest di sini untuk tidak mengatakan ada dendam di sini,” tuturnya.

Sementara, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menampik tudingan conflict of interest dalam penanganan kasus Bonaran. Ia mengaku tidak pernah ada kasus dengan Bonaran berkaitan dengan konteks pidana. Kalaupun ada kasus sengketa Pilkada di MK, ia memastikan itu berkaitan dengan kantor hukumnya.

“Jadi, bukan Bambang Widjojanto sebagai pribadi sendiri. Lagipula, forum ekspos adalah forum yang menentukan suatu pihak layak dinyatakan sebagai tersangka dan kasus itu layak dinaikan ke tahap selanjutnya atau tidak. Itu tidak ditentukan oleh seorang Bambang Widjojanto,” terangnya.

Lebih lanjut, Bambang menjelaskan kasus yang menyangkut Bonaran sama dengan kasus-kasus lain yang menyangkut Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, Walikota Palembang Romi Herton, dan calon Bupati Lebak Amir Hamzah yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka, bahkan ada yang sudah diputus di pengadilan.

Untuk itu, Bambang berpendapat tahapan selanjutnya setelah penetapan tersangka hanyalah persoalan administrasi penyidikan. Ia merasa hal-hal yang selalu dipersoalkan tersangka korupsi biasanya hanya menyangkut persoalan administrasi perkara dan bukan materi perkara substantif yang terkait kasusnya itu sendiri.

Sebagaimana dikutip dalam putusan MK Nomor 32/PHPU.D-IX/2011, Bambang memang pernah menjadi kuasa hukum dari Diana Riana Samosir dan Hikmal Batubara. Keduanya mengajukan permohonan sengketa Pilkada ke MK karena tidak puas dengan KPU Tapanuli Tengah yang menetapkan Bonaran sebagai Bupati terpilih.

Diana-Hikmal memberikan kuasa kepada Roder Nababan, Horas Maruli Tua yang merupakan advokat pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Roder Nababan, Horas Siagian & Associates, serta Bambang Widjojanto, Iskandar Sonhadji yang merupakan para advokat pada Kantor Widjojanto, Sonhadji & Associates.

Berdasarkan  Surat  Kuasa  Khusus  Nomor  SK-WSA/140/III/2011  tanggal 24 Maret 2011, Bambang memberikan Surat Kuasa  Subsitusi  kepada Abdul  Fickar  Hadjar untuk bertindak secara bersama-sama atau sendiri-sendiri. Salah satu yang dipermasalahkan dalam permohonan itu adalah posisi Bonaran dalam perkara Anggodo Widjojo.

Pemohon mendalilkan, Bonaran selaku pihak terkait dapat didiskualifikasi sebagai calon  Bupati dalam penyelenggaraan Pilkada Tapanuli Tengah tahun 2011. Pasalnya, berdasarkan putusan Anggodo, majelis menyebut tindak pidana mencegah atau merintangi proses penyidikan dilakukan Anggodo bersama-sama Bonaran.

Selain itu, dalam putusan Anggodo, terdapat pertimbangan lain yang menyatakan, Anggodo pernah meminta Bonaran agar Ari Muladi bersedia kembali ke keterangannya semula di  Bareskim  Mabes  Polri. Atas permintaan Anggodo, Bonaran menawarkan uang Rp1 miliar kepada Sugeng Teguh Santoso selaku penasihat hukum Ari Muladi.

Namun, MK menilai putusan Anggodo tersebut tidak serta merta membuat Bonaran kehilangan  haknya  menjadi calon  bupati,  mengingat  putusan itu ditujukan  kepada  Anggodo. Selanjutnya, selama proses pencalonan Bonaran, tidak ada bukti yang menunjukan Bonaran pernah dijatuhi hukum pidana.

Dengan demikian, MK menganggap dalil pemohoan tidak terbukti. Majelis hakim yang terdiri dari sembilan orang hakim konstitusi dan diketuai Moh Mahfud MD ini juga menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada Jum’at, 24 Juni 2011. 

Tags:

Berita Terkait