Ditakutkan, Larangan Ekspor Mineral Retorika Jelang Pemilu
Berita

Ditakutkan, Larangan Ekspor Mineral Retorika Jelang Pemilu

Pengusaha berharap pemerintah mengendalikan, bukan melarang ekspor.

KAR
Bacaan 2 Menit
Ditakutkan, Larangan Ekspor Mineral Retorika Jelang Pemilu
Hukumonline

Pengusaha mineral khawatirkebijakan larangan ekspor mineral akan mempengaruhi tren pasar dunia. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Agus Suhartono mengatakan,jenis nikel dari Indonesia saat ini tengah menguasai pasaran nikel di dunia. Bila penyetopan ekspor total dilakukan, maka Indonesia tidak bisa lagi menjadi pengendali pasar.

"Kalau sekarang dihentikan, maka 2-3 tahun lagi tren pasar akan berubah. Posisi Indonesia sebagai pengirim bahan berkualitas akan diganti negara lain," ujarnya, Selasa (10/12).

Selama ini Indonesia merupakan pemasok terbesar komoditas nikel. Agus mengaku tak keberatan dengan keharusan dari pemerintah untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian bijih(smelter). Namun di sisi lain, ia berharap pemerintah lebih baik mengendalikan produksi dan ekspor tambang, bukan melarang ekspor.

“Negara-negara yang juga sudah memiliki industri hilir mineral seperti Australia tetap mengekspor bijih mineral. Ini supaya tetap bisa mengikuti dan mengendalikan tren pasar. Bijih mineral di Indonesia terutama nikel, bijih besi, dan bauksit merupakan bahan utama yang diperhitungkan di dunia,” katanya.

Agus mengingatkan, mulai Januari 2014 pasar mineral kemungkinan besar akan dikuasai Eropa. Ia menjelaskan, selama ini negara-negara Eropa banyak menghasilkan mineral jenis nikel sulfat. Jika Indonesia tidak melakukan ekspor, kemungkinan besar tren pasar mineral dunia akan dikuasai Eropa.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengharapkan kebijakan larangan ekspor mineral bukan hanya sebatas retorika. Dia merasa heran hingga kini belum ada realisasi smelter baru. Padahal, aturantersebut yang keluar sejak tahun 2009. Selain itu, kebijakan relaksasi ekspor mineral yang baru-baru ini dijalankan tidak mencerminkan adanya sikap untuk mendukung larangan ekspor pada 12 Januari 2014.

"Kami lihat memang DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk menjalankan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Namun di sini masih ada sedikit keraguan," ucapnya.

Marwan juga menilai dengan berjalannya pesta demokrasi tahun depan, maka posisi tawar untuk menangguhkan kebijakan larangan ekpsor cukup besar. Menurutnya, hal ini terkait dengan situasi menjelang pemilu. Marwan takut nantinya larangan ekspor mineral hanya menjadi retorika.

“Menjelang pemilu ini sikap bisa berubah. Misalnya, menaikkan posisi tawar agar membiarkan ekspor bijih. Takutnya hanya sebatas retorika saja, sementara implementasinya urung dijalankan," tuturnya.

Wakil Direktur Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengingatkan ada dua faktor yang bisa membuat pemerintah batal memberlakukan amanat UU Minerba. Dua faktor itu adalah melemahnya nilai tukar Rupiah dan terjadinya defisit neraca berjalan.

Komaidi meminta agar pemerintah jangan begitu saja menyerah terhadap faktor nilai tukar mata uang dan defisit neraca. Menurutnya, ada solusi yang bisa dilakukan dalam meredam dampak larangan ekspor mineral mentah akibat berkurangnya devisa negara dari sektor itu. Solusi yang ditawarkan yakni dengan melakukan perampingan struktur pemerintahan.

"Kalau jangka panjang, ya konsistenlah pada amanat UU Minerba. Lebaih baik melangsingkan institusi pemerintah sampai lembaga pendukungnya. Kalau dilangsingkan sekitar 150 saja bisa menghemat Rp10 triliun. Ini bisa mengkompensasi pemasukan sektor pertambangan," jelasnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo, mengatakan larangan ekspor mineral mentah bersifat final dan diberlakukan seterusnya sejak awal tahun depan. pemerintah sudah memperkirakan dampak yang ditimbulkan pasca diberlakukannya kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah produk pertambangan tersebut seperti soal pemutusan hubungan kerja serta dampak terhadap pemasukan daerah.

"Janganlah saling menyalahkan. Ini kan mengikuti undang-undang. Menteri keuangan sudah hitung. Industri juga siap-siap," ujar Susilo.

Tags:

Berita Terkait