Dissenting Opinion Putusan RJ Lino, Hakim Sebut KPK Tak Cermat Hitung Kerugian Negara
Terbaru

Dissenting Opinion Putusan RJ Lino, Hakim Sebut KPK Tak Cermat Hitung Kerugian Negara

Ketua majelis hakim Rosmina menyampaikan sejumlah pertimbangan sebagai alasan dissenting opinion.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II R.J. Lino. Foto: RES
Mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II R.J. Lino. Foto: RES

Ketua majelis hakim menyebut KPK tidak cermat saat menghitung kerugian negara dalam perkara dugaan korupsi pengadaan dan pemeliharaan 3 unit Quayside Container Crane (QCC) dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II R.J. Lino.

"Unit forensik akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak cermat dalam menghitung perhitungan kerugian negara," kata ketua majelis hakim Rosmina saat membacakan vonis seperti dilansir Antara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (14/12).

Dalam perkara ini, R.J. Lino divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti melakukan korupsi pengadaan dan pemeliharaan 3 unit QCC pada tahun 2010 di Pelabuhan Panjang (Lampung), Pontianak (Kalimantan Barat), dan Pelabuhan Palembang (Sumatera Selatan).

Namun, Rosmina selaku ketua majelis hakim mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan menyatakan dalam diri R.J. Lino tidak ditemukan niat jahat sehingga tidak dapat dipidana. Meski demikina, R.J. Lino tetap dinyatakan bersalah karena dua orang hakim, yaitu hakim anggota satu Teguh Santoso dan hakim anggota dua selaku hakim ad hoc tipikor Agus Salim meyakini R.J. Lino melakukan korupsi. (Baca: Eks Dirut Pelindo II RJ Lino Divonis 4 Tahun Penjara)

Rosmina menyampaikan sejumlah pertimbangan sebagai alasan dissenting opinion. Pertama, terkait nilai pembayaran pengadaan dan pemeliharaan 3 unit QCC twin lift 61 ton yang disebut jaksa penuntut umum (JPU) KPK mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar 1.997.740,23 dolar AS atau setara sekitar Rp17 miliar.

Perhitungan kerugian negara dalam perkara tersebut dilakukan dua lembaga, yaitu BPK RI dan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK. Berdasarkan hasil perhitungan pembayaran riil yang dilakukan PT Pelindo II kepada HDHM Cina, kata Rosmina, sebesar 15.165.150 dolar AS di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) KPK dan BPK.

Hal tersebut terjadi karena kepada PT HDHM dikenai denda keterlambatan pengiriman barang. Namun, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK menyebutkan jumlah bersih yang diterima HDHM dari Pelindo II atas pelaksanaan pengadaan 3 unit pengadaan QCC adalah 15.554.000 dolar AS.

Rosmina menilai Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak cermat dalam menghitung jumlah kerugian negara. BPK, menurut Rosmina, menghitung kerugian negara dengan cara menghitung selisih nilai pembayaran pembangunan dan pengiriman serta pemeliharan 3 unit QCC dengan nilai realiasi pengeluaran HDHM.

Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memilih untuk (A) menghitung jumlah bersih yang diterima HDHM dari pembayaran Pelindo II, (B) menghitung jumlah pengadaan 3 QCC yaitu nilai HPP di manufaktur di Cina ditambah dengan margin keuntungan wajar dan biaya lain-lain, termasuk biaya pengiriman dan biaya lainnya sampai siap dipakai oleh Pelindo II sehingga jumlah kerugian negara adalah poin (A) dikurangi poin (B).

Menurut hakim Rosmina, di antara metode perhitungan kerugian negara antara yang dilakukan BPK dan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK terjadi perbedaan, yaitu BPK tidak lagi memperhitungkan keuntungan penyedia barang sedangkan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memperhitungkan keuntungan meski kerugian negara disebut timbul akibat adanya penyimpangan-penyimpangan.

Rosmina menyebut tujuan pengadaan barang adalah keuntungan baik penyedia maupun pengguna. Jika pengadaan menyimpang, keuntungan tidak dapat diterima. "Namun, dalam perhitungan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK terdapat perbuatan-perbuatan menyimpang dari peraturan yang berlaku namun tetap kepada penyedia barang diberi hak untuk mendapat keuntungan," kata hakim Rosmina.

Perhitungan keuntungan yang dilakukan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, menurut Rosmina, telah melakukan pelanggaran asas perhitungan kerugian negara, yaitu keuntungan hanya dapat diberikan jika ada pelanggaran.

Oleh karena itu, katanya lagi, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK dilakukan secara tidak cermat dan melanggar asas perhitungan kerugian negara, sehingga perhitungan keuntungan bisa dikesampingkan.

Kedua, Rosmina menyebut penggunaan QCC twin lift membawa keuntungan, baik bagi pengguna jasa pelabuhan maupun pada perusahaan dalam hal ini Pelindo II. Meski terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pengadaan 3 QCC twin lift, menurut dia, substansi penyimpangan tujuan terdakwa adalah mendapat atau mengejar keuntungan PT Pelindo II, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

"Dalam diri terdakwa tidak ditemukan niat jahat melakukan korupsi. Maka, hakim ketua majelis tidak sepakat dengan penuntut umum, hakim anggota I dan hakim anggota II ad hoc. Jika pada diri terdakwa tidak ditemukan niat jahat pengadaan 3 unit QCC, tidak ada pidana tanpa ada niat jahat dan beralasan hukum untuk membebaskan terdakwa," ucap Rosmina.

Bentuk Pengakuan

Sementara, KPK menyebut vonis terhadap RJ Lino sebagai bentuk pengakuan bahwa KPK dapat menghitung kerugian keuangan negara. "Hal ini menjadi langkah maju bagi pemberantasan korupsi bahwa KPK dapat menghitung kerugian keuangan negara dengan tetap berkoordinasi bersama BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) yang memiliki kewenangan tersebut," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri.

Menurutnya, putusan itu menuntaskan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK yang telah memakan waktu hingga lintas 3 periode kepemimpinan KPK karena kendala penghitungan kerugian keuangan negaranya. 

KPK juga mengapresiasi majelis hakim yang telah mempertimbangkan penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Accounting Forensic pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, di mana dalam putusannya, majelis kemudian menilai bahwa perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan negara hingga 1,99 juta dolar AS atau sekitar Rp28 miliar," kata dia.

Putusan majelis hakim, lanjut Fikri, telah menjunjung tinggi azas-azas penegakkan hukum tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. "Yang tidak hanya untuk memberikan keadilan dan efek jera bagi pelaku, namun juga mengedepankan optimalisasi asset recovery yang akan menjadi penerimaan keuangan bagi negara," kata dia.

Tags:

Berita Terkait