Diskursus Serta Pelajaran Berharga dari Pailit dan PKPU Beberapa Perusahaan di 2018
Lipsus Akhir Tahun 2018:

Diskursus Serta Pelajaran Berharga dari Pailit dan PKPU Beberapa Perusahaan di 2018

Isu BUMN kebal pailit masih disuarakan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Di tataran praktik, beberapa kasus pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) BUMN cukup mendapat sorotan sepanjang 2018. Terlebih isu BUMN kebal pailit masih disuarakan. PT Merpati Nusantara Airlines misalnya, menjadi salah satu BUMN yang berhasil lolos dari jeratan pailit di tahun ini.

 

Setelah 4 tahun tersesak akibat beban utang sebesar Rp10,7 triliun dengan besaran aset hanya Rp1 triliun, melalui Putusan No. 04/Pdt.sus/2018/PN Niaga Surabaya, majelis hakim mengesahkan perjanjian Perdamaian PKPU Merpati. Hebatnya, hasil pemungutan suara Merpati padahal tak mencapai kuorum, namun tetap diloloskan dari pailit lantaran majelis mempertimbangkan bahwa Merpati merupakan BUMN yang bergerak untuk kepentingan publik.

 

Terlepas dari pertimbangan itu, tak bisa ditampik Merpati memang berhasil meyakinkan beberapa kreditor untuk bisa restrukturisasi. Opsi yang ditawarkan pun beragam, seperti pembayaran utang secara penuh dan sebagian, opsi perubahan atau konversi utang menjadi penyertaan modal (debt equity swap), pembayaran dengan cicilan (grace period) dalam jangka waktu tertentu serta ‘membujuk’ kreditor untuk menghapus bunga dan denda dari utang pokok perseroan. Dari hasil negosiasi itu, kuasa hukum Merpati, Rizky Dwinanto, mengatakan bahkan pengurangan utang Merpati akhirnya bisa sampai 30% dari jumlah utang sebelumnya.

 

(Baca Juga: Ragam Janji dalam Proposal Perdamaian PKPU Merpati)

 

Tak hanya Merpati yang menguatkan asumsi ‘BUMN masih kebal pailit’. Di tahun-tahun sebelumnya banyak contoh BUMN pailit, namun akhirnya lolos di tingkat Mahkamah Agung (MA). Sebut saja PT Dirgantara Indonesia (Persero) yang pailitnya dibatalkan di tingkat Kasasi dengan Putusan No. 075K/Pdt.Sus/2007, PT Djakarta Lloyd (Persero) yang penolakan pailitnya diperkuat MA di tingkat Kasasi melalui putusan No. 191K/Pdt.Sus/2011, PT Hutama Karya yang pailitnya dibatalkan di tingkat Peninjauan Kembali (PK) pada 31 Maret 1999, PT Iglas, PT Tridarma Wahana dan berderet BUMN lainnya yang bisa dikatakan ‘tak direstui MA’ untuk dipailitkan.

 

Agak berbeda dari kasus-kasus pailit BUMN lainnya, di penghujung September 2018, BUMN PT Kertas Leces resmi menyandang status pailit lantaran sekitar 15 orang pegawai Leces mengajukan pembatalan homologasi. Alasannya, Leces disebut ‘gagal’ memenuhi perjanjian perdamaian yang diteken pada 2015.

 

Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 293 KPKPU disebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan berdasarkan ketentuan BAB III (terkait PKPU termasuk pailit karena gagalnya menunaikan homologasi) maka tidak terbuka upaya hukum, kecuali demi kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung.

 

Sekalipun pihak Leces sempat menyebut akan mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung, tetap saja aset perusahaan kertas Negara itu berupa tanah dan bangunan di daerah Kebayoran Baru dengan luas 623 M2 dengan nilai limit lelang Rp11.492 miliar, akhirnya berhasil dilelang sendiri oleh kreditor separatis Leces, yakni PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) dengan menggandeng Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V pada 11 Desember lalu di Kantor KPKNL Jakarta V.

 

(Baca Juga: Meski Pengadilan Nyatakan Pailit, Aset BUMN Tak Akan Mudah Disita)

 

Selain BUMN, kasus pailit yang ‘didalangi’ batalnya homologasi juga terjadi pada produsen teh terkenal Sariwangi, yakni PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (AEA) dan PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung. PT Sariwangi AEA terlilit utang hingga Rp 1.05 triliun, sedangkan Indorub menyumbang utang dengan nilai Rp33,71 Miliar. Dua perusahaan tersebut akhirnya resmi pailit pasca diterimanya permohonan pembatalan homologasi PT Bank ICBC Indonesia oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Selasa (16/10) lalu.

 

Kabar buruk soal pailitnya Sariwangi sempat memicu kekhawatiran publik di tahun 2018, khususnya para pecinta teh Sariwangi. ‘Ribut-ribut’ soal masih beredarnya produk Sariwangi di Pasaran padahal telah resmi menyandang status pailit, turut memantik rasa penasaran banyak orang.

 

Alhasil, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) memberikan klarifikasi bahwa pihaknya telah membeli merek dagang Sariwangi sejak tahun 1989 dan sampai saat ini PT UNVR lah yang memproduksi teh celup Sariwangi sekalipun sebelumnya (sampai awal 2018) sempat bermitra dengan PT Sariwangi AEA (sang pencipta brand). Dengan begitu, bangkrutnya PT Sariwangi AEA tak akan berdampak pada ‘tidak diproduksinya lagi’ teh celup Sariwangi. Setidaknya, dari kasus Sariwangi publik jadi belajar banyak tentang arti pentingnya sebuah ‘brand’.

 

Selain kasus-kasus di atas, masih banyak deretan kasus pailit dan PKPU menarik lain sepanjang 2018, seperti PKPU PT Tiga Pilar Sejahtera (produsen beras maknyus) yang sempat memantik Kericuhan antar direksi (lama dan baru) pada rapat kreditor pertama hingga rapat pencocokan utang piutang, hingga akhirnya terbit SK Ditjen AHU soal perubahan Anggaran Dasar Perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera terkait pengangkatan direksi baru.

 

Di samping itu, kasus pailitnya produsen Amplop Jaya (PT Royal Standard Group) juga cukup mendapat perhatian di tahun ini. Pasalnya, kuorum damai PKPU para kreditor Royal sudah terpenuhi, hanya saja lantaran majelis hakim menilai Royal tak bisa menjamin penyelesaian tagihan dalam PKPU alhasil Majelispun mem-pailitkan Royal.

 

Teks

Dari penjabaran konteks perkembangan KPKPU dalam tataran praktik sebelumnya, sudah mampukah rancangan revisi UU KPKPU mewadahi keseluruhan persoalan tersebut? Dari hasil pemantauan hukumonline sepanjang tahun 2018, perdebatan aturan yang akan dimuat dalam revisi UU Kepailitan cukup menyita banyak perhatian.

 

Bagaimana tidak? Nasib jutaan debitor dan kreditor di seluruh Indonesia bergantung pada ketentuan UU ini, sehingga wajar saja tak hanya sambutan hangat yang diterima Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Kepailitan dan PKPU melainkan juga ‘kritikan pedas’.

 

Sebut saja soal rencana penghilangan Hak Kreditor dalam mengajukan PKPU. Di satu sisi diberikannya kreditor hak untuk PKPU di cap merupakan bentuk kegagalan atas pemaknaan Chapter 11 US Bankcruptcy code, lantaran semangat murni kreditor untuk mendorong restrukturisasi debitor terkontaminasi oleh modus-modus ‘kreditor nakal’ untuk mempailitkan debitor.

 

(Baca: Hak Kreditur Ajukan PKPU: Salah Kaprah Memaknai Chapter 11 US Bankcruptcy Code)

 

Namun di sisi lain, jika kreditor tak diberikan hak mengajukan PKPU maka disebut-sebut dapat menghilangkan ‘daya paksa’ kreditor atas debitor untuk serius melakukan restrukturisasi dan pembenahan atas kondisi perusahaan yang memburuk.

 

Di samping itu, isu lain seperti kedudukan aktif hakim dalam memutus pailit, menyoal eksekusi asset cross border insolvensi hingga kewajiban pendaftaran dan pengawasan Kurator secara online melalui perubahan Permenkumham No. 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus dan lainnya, turut mewarnai diskursus kepailitan sepanjang 2018. Tetap saja, keseluruhan isu tersebut tak lepas dari keretakan gading yang menuai kritikan.

 

(Baca: Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem)

 

Untuk diketahui, setidaknya setelah sekitar 12 issue yang dihasilkan dari pengkajian NA KPKPU di tahun 2017 yang masih dikaji sampai saat ini, muncul pula 10 issue tambahan yang dihasilkan oleh kajian internal Tim NA maupun masukan dari banyak stakeholder dalam forum-forum FGD sepanjang 2018. Berdasarkan penelusuran hukumonline, berikut perbandingan issue KPKPU yang muncul antara 2017 dengan 2018 terkait rencana revisi UU No.37 Tahun 2004:

 

No.

Issue 2017

Issue 2018

1.

Syarat Kepailitan: Perubahan threshold dari 1 kreditur jatuh tempo menjadi 2 jatuh tempo, dan besaran utang minimal ditentukan. (missal 200 juta)

Kewenangan Panitera dalam Pemeriksaan (Pasal 6 ayat (3) dan 224 ayat (6)): yang berhak menolak perkara adalah Pengadilan bukan Panitera.

2.

Pembuktian Sederhana: Mengganti kata ‘harus’ menjadi ‘dapat’ dalam Pasal 8 ayat (4). Agar kepada hakim diberi diskresi untuk menguji bukti dari para pihak

Biaya Kepailitan dan PKPU: Diharapkan ada item biaya yang jelas, sehingga jelas pertanggungjawabannya. Adapun biaya kurator dalam Pasal 17 perlu diperjelas dan rasional.

3.

Automatic Stay: Terhitung sejak permohonan KPKPU didaftarkan di PN Niaga, maka seluruh harta kekayaan debitur berada dalam keadaan stay.

Kurator Kepailitan:

  1. Ketaatan dan keterbukaan informasi oleh kurator dalam menyampaikan laporan 3 bulanan dan memberi kemudahan akses bagi debitor dan kreditor terhadap perkembangan proses pengurusan dan pemberesan.
  2. Ketegasan sanksi bagi kurator yang tidak taat menyampaikan laporan 3 bulanan serta menutup akses informasi bagi debitor dan kreditor.
  3. Fee kurator dibayarkan setelah seluruh kewajiban pelaporan dan pertanggungjawaban Kurator terlah diterima pengadilan

4.

Kreditor Pemegang Jaminan dalam Kepailitan: Diberikan hak eksekusi selama 6 bulan dan setelahnya diberikan kepada kurator.

Kewenangan Hakim Pengawas: Area MA dan Kemenkumham untuk memperkuat fungsi pengawasan kepada kurator. Terkait poin ini, Kemenkumham melalui Ditjen AHU telah mengembangkan sistem pendaftaran dan pengawasan kurator secara online. Direktur Perdata AHU, Daulat H. Silitonga menyebut telah membicarakan hal ini dengan pihak MA dan tidak ada masalah soal itu.

5.

OJK sebagai pemohon: Menyesuaikan kewenangan Bapepam dan sebagian kewenangan BI yang telah beralih ke OJK.

Ketentuan Paksa Badan (Gijzeling): Pasal 95 agar tegas diatur teknis pelaksanaannya selain perbaikan pada kesalahan kutipan pasal yang ditunjuk, tertulis Pasal 98, seharusnya Pasal 97

6.

Kepailitan BUMN/BUMD/BUMDes: Diatur lebih tegas siapa yang dapat menjadi pemohon serta jenis BUMN/BUMD/BUMDes yang dapat dimohonkan pailit atau PKPU.

Prosedur Renvoi: Pasal 127. Supaya tegas diatur adalah kewenangan PN Niaga, serta diatur ketentuan waktu permohonan dan pemeriksaan. Penjelasan pasal tersebut keliru menyebut Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau MA

7.

Kedudukan dan Pengawasan Kurator:  Penambahan ketentuan baru dalam pasal 70, yang memberi kewenangan pengangkatan dan pembinaan kurator kepada Kemenkumham.

Perdamaian: Ada perbedaan perlakuan upaya hukum atas penolakan Pengesahan perdamaian Kepailitan dan PKPU di Pasal 160 ayat (1) dan 285 ayat (4). Pada 160 (1) dapat diajukan Kasasi sedang dalam 285 (4) tidak dapat Kasasi.

8.

Sita kepailitan terhadap sita pidana: Jika telah ada putusan pailit sebelum sita pidana, maka pelaksanaan sita pidana harus atas izin hakim pengawas

Iklan Koran. Pasal 181 (3): karena sudah ada undangan dalam Pasal 181 (2) dan kreditu telah diketahui maka tidak dibutuhkan lagi iklan Koran.

9.

PKPU hanya oleh kreditor: DIhapuskan, kewenangan PKPU diberikan hanya kepada Debitor

Mahkamah Agung memeriksa perkara:

  1. Pasal 196(3), karena MA bukan Judex Factie maka ketentuan harus dihapuskan.
  2. Agar MA lebih taat pada waktu pemeriksaan dan pengiriman berkas

10.

Peringkat Pekerja dan Kreditor lainnya dalam kepailitan: Idealnya UU Kepailitan tegas mengatur peringkat kreditor dan khusus untuk peringkat pekerja agar RUU mengakomodir 2 norma baru dalam putusan MK

Peninjauan Kembali: ketentuan Pasal 296, hendaknya disesuaikan dengan ketentuan Pasal 11 dan 14 UUK. Mengingat kekhususan perkara Kepailitan yang harus cepat pemeriksaannya.

11.

Kepailitan Lintas Batas Negara: Diharapkan UUKPKPU diatur dengan fleksibel untuk menyesuaikan dengan kebijakan Negara lain, RUU diharap mengakui putusan pengadilan asing berdasarkan perjanjian internasional atau resiprokal.

Perubahan Pasal 303: Kewenangan Pengadilan untuk menyelesaikan permohonan kepailitan (ditambahkan dan PKPU) sekalipun terikat perjanjian arbitrase.

12.

Penjualan Harta Pailit: Sebelum penjualan, diharuskan adanya pemberitahuan dari kurator kepada debitor. (issue ini dalam pembahasan 2018 disepakati didrop)

Tags:

Berita Terkait