Disetujui Menjadi UU, Begini Materi Muatan UU TPKS
Terbaru

Disetujui Menjadi UU, Begini Materi Muatan UU TPKS

Seperti mengatur pengkualifikasian jenis tindak pidana seksual, hukum acara yang komprehensif, pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan, hingga restitusi dan kompensasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Suasana rapat paripurna dalam pengesahan RUU menjadi UU. Foto: RES
Suasana rapat paripurna dalam pengesahan RUU menjadi UU. Foto: RES

Resmi sudah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disetujui DPR menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (12/4/2022). Sejumlah aturan tertuang dalam draf RUU menjadi bentuk perlindungan hingga penanganan terhadap berbagai bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Lantas apa dan bagaimana materi muatan RUU TPKS yang baru disetujui menjadi UU itu?

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya dalam laporan akhirnya berpandangan UU tentang TPK secara keseluruhan terdiri dari 12 Bab dan memuat 93 Pasal. Bab I mengatur ketentuan umum dengan 25 definisi. Bab II mengatur tindak pidana kekerasan seksual. Bab III mengatur tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPKS. Bab IV mengatur penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Bab V mengatur hak korban, keluarga korban, dan saksi. Bab VI mengatur penyelenggaraan pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak di pusat dan daerah. Bab VII mengatur pencegahan, koordinasi dan pemantauan. Bab VIII mengatur partisipasi masyarakat dan keluarga. Bab IX mengatur pendanaan. Bab X mengatur kerja sama internasional. Bab XI mengatur ketentuan peralihan. Bab XII mengatur penutup.

Baca:

Menurutnya, terdapat 9 cakupan TPKS yang disepakati dalam draf RUU menjadi UU yakni pelecehan seksual non fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain itu, dalam UU TPKS dinyatakan beberapa tindak pidana lain sebagai TPKS yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Meliputi tindak pidana perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak. Kemudian perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak.

“Atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual,” ujarnya.

Tak hanya itu, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan TPKS. Serta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagi Willy, penyebutan 10 jenis TPKS yang diatur dalam UU lain, penting diatur agar hukum acara yang digunakan dalam penanganannya menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Dengan begitu, pasca RUU tentang TPKS disahkan menjadi UU, penanganan setiap perkara TPKS mengacu pada hukum acara yang diatur dalam UU TPKS dengan aturan dasarnya tetap merujuk pada KUHAP.

Willy yang juga Ketua Pantia Kerja (Panja) RUU TPKS itu melanjutkan terdapat perluasan cakupan pelaku dan keadaan korban sebagai alasan pemberatan ancaman pidana 1/3 dari ancaman pidana pokok. Selain itu, ada pula pengaturan restitusi yang sebelumnya sebagai pidana tambahan. Tapi dalam UU TPKS, restitusi diletakkan sebagai bagian dari pidana pokok.

Sementara dalam hal pelaku tidak mampu serta tidak adanya pihak ketiga yang membayar restitusi kepada korban, negara memberi kompensasi sejumlah restitusi yang kurang bayar kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan. Ada pula pengaturan mengenai “dana bantuan korban” sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2).

Selanjutnya, terkait perkara TPKS tak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku yang notabene kategori anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 23. Tak hanya itu, korban diberikan hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya TPKS. Terakhir, soal hukum acara dalam penanganan TPKS diatur secara komprehensif. Mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan menghormati hak asasi manusia, kehormatan, dan martabat serta tidak intimidatif.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawanti mengatakan terobosan yang dibuat pembentuk UU terbilang progresif. Seperti pengkualifikasian jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kemudian pengaturan hukum acara yang komprehensif. Begitu pula pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya TPKS yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. Tak hanya itu, adanya perhatian negara yang besar terhadap penderitaan korban yang diwujudkan dalam bentuk restitusi, kompensasi, hingga penyelesaian perkara tidak dapat dilakukan di luar peradilan. “Kecuali terhadap pelaku anak,” katanya.

Anggota Baleg Luluk Nur Hamidah berharap UU TPKS mampu melindungi korban sampai penyintas yang dikawal semua pihak. Baginya DPR sebagai lembaga politik tak hanya memiliki sense of crisis, tapi mampu mendengar dan mencegah serta menyelamatkan jutaan kalangan rentan menjadi korban kekerasan seksual

“Agar sesegera mungkin DPR membuat gugus tugas kekerasan seksual yang diberlakukan di lingkungan DPR. UU ini tentu menjadi deretan hukum bertaji kalau kita menggencarkan publik” katanya.

Tags:

Berita Terkait