Disebut Untungkan Sjamsul Nursalim, Ini Peran Dorodjatun Versi KPK
Berita

Disebut Untungkan Sjamsul Nursalim, Ini Peran Dorodjatun Versi KPK

Dorodjatun diduga bersama-sama Syafruddin Arsyad Tumenggung hapus hutang Sjamsul Nursalim.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti saat keluar dari gedung KPK usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, Jakarta, Kamis (4/5).
Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti saat keluar dari gedung KPK usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, Jakarta, Kamis (4/5).

Mantan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa melakukan tindak pidana korupsi mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Perbuatan korupsi itu dilakukan secara bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.

 

Peran Sjamsul terlihat jelas dalam surat dakwaan sebagai pihak yang diuntungkan sebesar Rp4,58 triliun dari perbuatan yang diduga dilakukan oleh Syafruddin. Sedangkan Itjih Nursalim, istrinya dalam surat dakwaan disebut beberapa kali mewakili Sjamsul dalam berbagai pertemuan baik dengan BPPN maupun Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

 

Lalu bagaimana dengan peran Dorodjatun?

 

Setelah Syafruddin diangkat sebagai Ketua BPPN pada 22 April 2002, Dorodjatun selaku Ketua KKSK pada 13 Mei 2002 menetapkan keputusan yang diantaranya mempercepat proses penanganan aset AMK (Aset Manajemen Kredit). Kemudian dalam rangka meningkatkan tingkat pengembalian BPPN, seluruh portofolio aset AMK yang masih dalam penanganan litigasi, tetapi belum masuk proses pengadilan wajib diserahkan kepada program penjualan aset AMK.

 

Selanjutnya, dalam keputusan tersebut juga meminta kepada BPPN melakukan langkah seperti aset yang terkait dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dikoordinasikan penanganannya dengan Tim AMI (Aset Manajemen Investasi) yang dibentuk untuk menangani masalah PKPS. Baca Juga: Begini Cara Syafruddin Diduga Perkaya Sjamsul Nursalim Rp4,58 Triliun

 

Dorodjatun pada 7 Oktober 2002 kembali mengeluarkan penetapan yang memutuskan mengenai Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) milik Sjamsul Nursalim. Pertama, kewajiban Sjamsul untuk melakukan pembayaran dimuka sebesar Rp1 triliun. Sjamsul diminta untuk segera menyelesaikan kekurangan pembayaran kewajiban sebesar Rp428 miliar.

 

Kedua, Sjamsul juga diminta untuk segera melakukan penyempurnaan pengalihan aset yang telah diperjanjikan sesuai MSAA. Dan ketiga BPPN diminta untuk melaporkan rincian lebih lanjut mengenai PKPS Sjamsul termasuk pelaksanaan Financial Due Diligance (FDD) dan penyelesaian permasalahan PT Dipasena Citra Darmadja (DCD), perusahaan yang dipegang Sjamsul.

 

Tim AMI BPPN dibantu dengan sejumlah konsultan keuangan menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) dengan jumlah Rp47,258 triliun. Jumlah ini dikurangi aset sebesar Rp18,85 triliun, sehingga besaran JKPS sebesar Rp28,408 triliun. Salah satu aset dari Rp18,85 triliun itu terdiri dari piutang petani tambak sebesar Rp4,8 triliun. Nah jumlah inilah yang belakangan bermasalah karena diduga dihapuskan Syafruddin bersama-sama dengan Sjamsul dan Itjih Nursalim serta Dorojatun.

 

Setelah penanganan piutang petambak beralih ke AMK, sesuai dengan keputusan Dorodjatun selaku Ketua KKSK, Syafruddin memimpin rapat membahas penyelesaian skema hutang petambak PT DCD. Tak hanya itu, dalam rapat dibahas rencana penjualan atas hutang plasma dengan terlebih dulu dilakukan penghapusan hutang petambak sebesar Rp4,8 triliun.

 

Pada 19 Januari 2004, Syafruddin mengirim ringkasan eksekutif mengenai Penyelesaian Hutang Petambak Plasma kepada KKSK yang isinya meminta lembaga itu untuk memperhatikan sejumlah hal. Pertama, penghapusan porsi hutang unsustainable petambak plasma dengan memperhatikan ketentuan dalam PP 17 Tahun 1999. Kemudian BPPN berperan dalam hal memenuhi tanggung jawab sosial sekitar 11 ribu petambak plasma.

 

“Atas usulan BPPN tersebut, KKSK tidak membahas dan tidak mengeluarkan putusan,” kata penuntut umum KPK Amin Nordianto saat membacakan surat dakwaan Syafruddin di Pengadilan Tipikor, Jakarta, kemarin.

 

Setuju hapus hutang

Dorojatun juga hadir bersama Syafruddin dalam rapat terbatas (ratas) dengan Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjadi Presiden RI pada 11 Februari 2004. Dalam rapat tersebut, Syafruddin menerangkan hutang petambak sebesar Rp3,9 triliun, yang bisa dibayar adalah sebesar Rp1,1 triliun. Sisanya Rp2,8 triliun diusulkan untuk di write off (dihapusbukukan).

 

Syafruddin juga menyampaikan kemungkinan untuk dilakukan penghapusan pembukuan di BPPN. Namun tidak melaporkan aset berupa hutang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim terdapat misrepresentasi pada saat penyerahannya ke BPPN. “Atas laporan tersebut, kesimpulan Ratas tidak memberikan keputusan dan tidak mengeluarkan penetapan terkait dengan hutang petambak,” terang Jaksa Amin.

 

Keesokan harinya, Syafruddin kembali mengirimkan ringkasan eksekutif kepada KKSK yang pada pokoknya mengusulkan penghapusan hutang petambak plasma sebesar Rp2,8 triliun sesuai Sidang Kabinet Terbatas. Padahal, dalam sidang itu tidak ada kesimpulan untuk menghapuskan hutang.

 

Disinilah peran Dorojatun terlihat. Meskipun ia juga mengikuti sidang kabinet dan mengetahui tidak ada keputusan menghapus hutang, Dorojatun justru menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta. Nilai ini sama dengan angka Rp1,1 triliun yang dijelaskan Syafruddin dalam rapat terbatas dan juga hutang Rp2,8 triliun dihapuskan.

 

Dengan penetapan nilai hutang maksimal tersebut, maka dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban hutang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda. Dengan adanya keputusan penanganan penyelesaian kewajiban debitur petambak plasma PT DCD, maka keputusan-keputusan KKSK yang memerintahkan porsi unsustainable debt seluruhnya ditagihkan kepada pemegang saham PT DCD dan PT WM yaitu Sjamsul Nursalim tidak lagi berlaku.

 

Begitupula keputusan KKSK yang memerintahkan porsi unsustainable debt dialihkan ke perusahaan inti yaitu PT DCD dinyatakan tidak berlaku. “Padahal Dorojatun Kuntjoro-Jakti telah mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dan diharuskan untuk mengembalikan atau mengganti kerugian kepada BPPN berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK tanggal 29 Mei 2002,” ujar Jaksa KPK lainnya I Wayan Riana.

Tags:

Berita Terkait