Dirut Pelindo II Dilaporkan ke KPK
Berita

Dirut Pelindo II Dilaporkan ke KPK

Diduga telah memberikan hadiah kepada Menteri BUMN Rini Soemarno.

ANT
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu laporkan Dirut Pelindo II RJ Lino ke KPK, Selasa (22/9). Foto: RES
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu laporkan Dirut Pelindo II RJ Lino ke KPK, Selasa (22/9). Foto: RES

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu melaporkan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost (RJ) Lino ke KPK. RJ Lino dilaporkan karena diduga telah memberikan hadiah kepada Menteri BUMN Rini Soemarno.

"Saya mau menyampaikan klarifikasi ke KPK perihal dugaan penerimaan gratifikasi dari Dirut Pelindo ke Menteri BUMN dalam bentuk barang. Barang itu perabotan rumah. Dokumennya lengkap di sini," kata Masinton di kantor KPK di Jakarta, Selasa (22/9).

Masinton datang sendiri dengan membawa sejumlah dokumen. Sayangnya, ia tidak menyebutkan apa tujuan pemberian perabotan tersebut oleh RJ Lino ke Rini. Atas dasar itu, Masinton meminta KPK untuk segera memproses laporannya ini. Berdasarkan dokumen yang dimilikinya, pemberian tersebut terjadi pada Maret 2015 lalu.

"Kita minta klarifikasinya tentang informasi dan data ini berkaitan dengan apa. Saya tidak tahu (tujuan pemberiannya) tapi yang jelas UU Tindak Pidana Korupsi (menyebutkan) penyelenggara negara, PNS, tidak boleh memberi atau menerima. Ini pemberinya jelas Dirut Pelindo, yang menerima jelas diberikan ke menteri BUMN, sesuai dengan di dokumen ini," ungkap Masinton.

Pada saat yang bersamaan, Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) berdemonstrasi di depan gedung KPK. JICT juga melaporkan dugaan korupsi perpanjangan konsesi JICT oleh Pelindo II kepada Hutchinson Port Holding (HPH).

"(Kami) melaporkan adanya indikasi tindak kecurangan dalam perpanjangan konsesi JICT. Kami melihat bahwa perpanjangan ini tidak mengikuti UU yang ada. UU No 17 tahun 2008 itu menyatakan konsesi ini harus dilakukan dengan izin dari Kementerian Perhubungan via otoritas pelabuhan," kata Ketua Serikat Pekerja JICT, Nova Sofyan Hakim.

Menurut Nova, harga JICT setara AS$854 juta namun uang pembelian dari HPH hanyalah AS$215 juta. Sehingga hanya memegang saham sebanyak 21 persen, bukan 49 persen seperti yang selama ini dusulkan Dirut Pelindo II RJ Lino. Jika dipaksakan saham menjadi 49 persen maka ada kerugian negara sekitar AS$212 juta.

"Karena ada perbedaan AS$200 juta lebih untuk masalah. Ini jumlah yang cukup besar menurut kami. Penjualan JICT sendiri sekarang hanya dua kali keuntungan JICT sendiri. Jadi dua tahun keuntungan JICT itu setara dengan penjualan JICT saat ini," tambah Nova.

Pihak yang terlibat dalam tindakan itu menurut Nova adalah Dirut PT Pelindo II RJ Lino. "Pak RJ Lino kan yang dari Pelindo yang menandatangani masalah ini. Dan kemudian pak RJ Lino dia tidak melalui Kementerian Perhubungan. Potensi pendapatan yang hilang sampai 2039 itu sekitar Rp30 triliun," ungkapnya.

Selain itu, menurut Nova, ada yang menunjukkan bahwa RJ Lino menerima gratifikasi cendera mata senilai Rp50 juta dari Managing Director Hutchison Canning Fok di Hongkong pada 25 Juni 2015. KPK belum melakukan penyidikan terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan PT Pelindo II meski mengaku menerima pengaduan dan sedang melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) mengenai laporan itu.

Menurut Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi, laporan pengaduan yang diterima KPK berbeda dengan kasus yang saat ini diusut Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.Penyidik Bareskrim pada 28 Agustus 2015 sudah menggeledah kantor Pelindo II di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP-A/1000VIII/2015/BARESKRIM/Tanggal 27 Agustus 2015, semestinya mobile crane yang dipesan 2012 dengan anggaran senilai Rp45 miliar itu seharusnya dikirimkan ke sejumlah pelabuhan seperti Bengkulu, Jambi, Teluk Bayur, Palembang, Banten, Panjang dan Pontianak.Namun sampai saat ini, mobile crane tersebut belum dikirim, dan setelah diselidiki ternyata pelabuhan tersebut tidak membutuhkan barang itu sehingga menimbulkan dugaan korupsi senilai Rp63,5 miliar.

Tags:

Berita Terkait