Dirut BPJS Kesehatan Soal RUU Kesehatan: Ada Kemunduran Puluhan Tahun
Terbaru

Dirut BPJS Kesehatan Soal RUU Kesehatan: Ada Kemunduran Puluhan Tahun

Menempatkan posisi BPJS berada di bawah Kementerian bentuk kemunduran puluhan tahun ke belakang. Pengelolaan BPJS melalui regulasi yang ada saat ini sudah tergolong baik.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
 Prof Ali Ghufron Mukti -kedua dari kiri- saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema Urgensi RUU Kesehatan Untuk Indonesia yang Sehat dan Sejahtera, Jumat (17/02/2023) pekan lalu.
Prof Ali Ghufron Mukti -kedua dari kiri- saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema Urgensi RUU Kesehatan Untuk Indonesia yang Sehat dan Sejahtera, Jumat (17/02/2023) pekan lalu.

Pemerintah dan DPR seolah tak pernah berhenti membuat kebijakan yang menuai polemik di masyarakat. Kali ini banyak kalangan menyoroti proses pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentan Kesehatan yang pembentukannya menggunakan metode omnibus law di bidang kesehatan. Maklum, RUU tersebut pun menuai penolakan dari kalangan profesi tenaga kesehatan.

Direktur Utama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti, mengatakan BPJS adalah lembaga negara yang mendapat mandat konstitusi untuk mengembangkan sistem jaminan sosial. Hal itu sebagaimana disebut dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

Mandat konstitusi untuk mengembangkan jaminan sosial itu ditindaklanjuti dengan menerbitkan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kedua beleid itu mengatur BPJS menggelar jaminan sosial tak hanya untuk kesehatan, tapi juga lainnya seperti jaminan hari tua, kematian, kecelakaan kerja, dan pensiun.

“Ini aneh dari berbagai macam jaminan sosial (yang diselenggarakan BPJS,-red) tapi di omnibus law (RUU Kesehatan,-red) yang masuk hanya kesehatan. Ini perlu didiskusikan,” katanya dalam diskusi bertema Urgensi RUU Kesehatan Untuk Indonesia yang Sehat dan Sejahtera, Jumat (17/02/2023) pekan lalu.

Baca juga:

Ghufron menerangkan, sistem jaminan sosial di Indonesia tidak mengikuti model Inggris, Malaysia, dan Australia yang mengandalkan pajak untuk pembiayaan. Hal itu karena pajak di Indonesia belum mumpuni mengingat tahun 2000-an sebelum BPJS beroperasi jumlah masyarakat yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sekitar 2 juta orang. Dengan demikian, menjadi tidak mungkin program jaminan sosial untuk lebih dari 200 juta penduduk Indonesia kala itu pembiayaannya menggunakan pajak.

Alhasil, pembiayaan jaminan sosial di Indonesia menggunakan mekansime kontribusi iuran dari peserta. Bagi peserta yang tidak mampu iurannya ditanggung pemerintah. Dana yang dikelola BPJS Kesehatan dari puluhan sekarang mencapai ratusan triliun. Tapi jelas dana tersebut milik peserta. Ghufron mengaku heran kenapa RUU Kesehatan memposisikan BPJS bertanggungjawab kepada Menteri. Padahal selama ini BPJS bertanggungjawab langsung kepada presiden, mengingat tugas yang dijalankan BPJS adalah mandat langsung konstitusi.

Mantan Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) itu  menceritakan proses evolusi BPJS Kesehatan dimulai sejak 1968 yang ketika itu bernama Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) dan posisinya di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Seiring perkembangan zaman sampai akhirnya berubah menjadi PT Asuransi Kesehatan (Askes) yang berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pemerintah kemudian menerbitkan UU 40/2004 yang mengatur pembentukan BPJS. Kemudian BPJS lahir dengan diterbitkannya UU 24/2011. BPJS beroperasi tahun 2014 dan pelaksanaannya semakin diperkuat Presiden Joko Widodo dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) yang memerintahkan seluruh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah mendukung program BPJS.

“Maka dari itu jika (BPJS Kesehatan,-red) ditarik kembali ke tahun 1968 (berada di bawah Kementerian Kesehatan,-red) maka ini luar biasa kemundurannya puluhan tahun ke belakang,” tegas Ghufron.

Posisi BPJS yang saat ini berada langsung di bawah presiden, menurut Ghufron memberi kewenangan untuk menjalin atau memutus kerjasama dengan lembaga lain secara mudah. Misalnya jika ada RS yang melakukan kecurangan terhadap pelayanan JKN, BPJS Kesehatan bisa langsung melakukan pemutusan kerjasama. Jika berada di bawah Kementerian, maka BPJS harus meminta izin terlebih dulu dari Menteri.

Tata kelola BPJS Kesehatan yang sejak beroperasi 2014 sampai sekarang menurut Ghufron banyak mendapat penghargaan internasional. Bahkan menjadi salah satu rujukan masyarakat internasional dalam pelaksanaan program jaminan sosial. Ghufron pesimis prestasi itu bisa menjadi lebih baik jika BPJS berada di bawah kementerian.

Menurutnya, selama ini kerjasama BPJS Kesehatan dengan berbagai lembaga termasuk Kemenkes berjalan baik. Misalnya membantu menangani Pandemi Covid-19, screening kesehatan yang sekarang Menteri Kesehatan minta dilakukan terhadap 14 jenis penyakit. BPJS Kesehatan juga melakukan sosialisasi untuk upaya promotif dan preventif. Hubungan BPJS dengan mitra pun berjalan baik. Seperti Rumah Sakit, klinik, dan dokter misalnya dalam pembayaran klaim.

“Sejak beroperasi tahun 2014 BPJS Kesehatan selalu defisit, tapi 2 tahun terakhir (keuangan,-red) BPJS Kesehatan positif,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, RUU Kesehatan telah disetujui dalam rapat paripurna menjadi usul inisiatif DPR. Kendati demikian, ada satu fraksi yang menolak RUU Kesehatan. Yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Selain itu, saat penyusunan di tingkat Baleg, sejumlah organisasi profesi tenaga kesehatan menolak  RUU tersebut. Malahan mereka melakukan aksi penolakan di depan Gedung DPR beberapa waktu lalu.

Tags:

Berita Terkait