Dirugikan Putusan MK, Debt Collector Uji Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia
Utama

Dirugikan Putusan MK, Debt Collector Uji Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia

Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Lebih lanjut, dia menilai pemaknaan frasa “sukarela saat eksekusi" dalam Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 bertentangan dengan prinsip negara hukum yang seharusnya menjamin aturan yang mencegah terjadinya potensi kejahatan. Apabila debitur beritikad baik, debitur harusnya minta restrukturisasi, bukannya justru tidak sukarela menyerahkan barangnya.

Atas dasar alasan itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Selain itu, menyatakan frasa “keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia” tidak dimaknai “sukarela saat mendatangani perjanjian fidusia.”

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Enny Nurbaningsih menyarakan Pemohon untuk mempertegas kerugian konstitusionalnya. “Perlu kemudian dipertegas hak apa sebetulnya yang diberikan oleh konstitusi, yang kemudian menurut anggapan Pemohon hak itu dilanggar atau terciderai. Itu yang belum muncul di sini,” ujar Enny.

Anggota Majelis Panel, Manahan MP Sitompul menyarankan Pemohon untuk memperjelas norma yang diujikan. Sedangkan Anggota Majelis lain, Arief Hidayat meminta Pemohon untuk memperkuat legal standing. "Anda harus memperkuat betul legal standing. Ini lebih diperkuat kalau ada perusahaan finance yang mau ikut dalam permohonan ini. Tapi perusahaan finance ini pun harus menunjukkan ada situasi kondisi yang luar biasa yang menyebabkan Mahkamah harus 'bergeser', itu masukan dalam posita ya,” kata Arief.

Sebelumnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, MK memutuskan sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta (otomatis) memiliki kekuatan eksekutorial. Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

Dalam amar Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 disebutkan “Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap’ inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”

Putusan MK itu intinya memberi tafsir Pasal 15 ayat (1-3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait cidera janji (wanprestasi) dalam eksekusi jaminan fidusia. Awalnya, pasal itu ditafsirkan jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji, penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang) seperti halnya putusan pengadilan yang inkracht.

Kini, sertifikat jaminan fidusia, yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak lagi otomatis memiliki kekuatan eksekutorial. Dalam putusan itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur. Jika tidak terjadi kesepakatan, salah satu pihak dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan ke pengadilan untuk menentukan/memutuskan apakah benar telah terjadinya cidera janji?     

Tags:

Berita Terkait